Baca Light Novel Hataraku Maou-Sama Volume 6 - Prolog Bahasa Indonesia

[Translate] Hataraku Maou-Sama Volume 6 - Prolog




Baca Light Novel Hataraku Maou-Sama Volume 6 - Prolog Bahasa Indonesia


Prolog.

Pemandangan dihiasi langit berkabut merah.

"Sungguh hidup yang amat pendek." 

Dengan pemikiran yang masih belia nan rapuh, dia menyerah terhadap segalanya.

Pandangannya berangsur-angsur menjadi semakin buram, seolah menegaskan pada dia yang sudah tidak bisa menggerakkan satupun jarinya, kalau dia akan segera menghilang.

Dia tidak takut akan kematian. Bagi seseorang di usia serapuh dirinya, dia bahkan tidak memiliki kesadaran untuk merasa takut.

Ketika membicarakan usia, klannya bukanlah klan yang memiliki usia pendek. Faktanya, orang tuanya hidup selama 100 tahun atau bahkan lebih.

Akan tetapi, di dalam huru hara kekerasan, tak ada artinya memiliki umur yang panjang.

Merah, merah, merah, segalanya bermandikan warna merah, menyebabkan dunia yang awalnya sudah berwarna marah, bahkan menjadi semakin memerah, dan dia tertelan oleh warna merah tersebut.

Meski tak ada rasa takut ataupun kesedihan, ada satu hal yang dia rasakan mengenai takdir ini....

".... Uuu...."

Penyesalan yang begitu mendalam.

Jiwa yang saat ini berada di dalam tubuhnya, apakah jiwa itu ada hanya untuk diinjak-injak oleh orang lain sampai mati? Apakah memang layak bagi semua anggota klannya yang hidup sampai hari ini, sampai saat ini, untuk mati dalam kematian yang tidak wajar?

Dia baru sadar akan 'dirinya' sendiri, dia baru saja mampu mengingat semua yang telah 'dia' lewati, kehidupan ini, seperti awan yang menghilang di langit, seperti angin yang berhenti bertiup, seperti batu pasir yang saat ini menyerap darahnya, semuanya pasti akan memudar dengan sendirinya dan tak memiliki nilai sama sekali.

Kenapa jiwanya turun di tempat semacam ini?

Jika kelahiran kembali dan memudarnya jiwa yang tak berarti adalah sebuah prinsip alami, lalu kenapa hal itu harus terjadi pada jiwa yang berada di dalam tubuhnya?

Langit merah sedikit demi sedikit menjadi redup.

Tidak seperti darah merah yang menetes di tanah, sebuah benda transparan dan misterius tercermin di dalam matanya.

Seketika itu juga, mengabaikan langit merah, tanah merah, angin merah, ataupun tubuh sekarat di dekatnya yang dia dia warnai dengan warna merah, sesuatu yang cukup untuk membuat semuanya menepi, mengendalikan jiwa pemuda tersebut.

Langit hitam yang terbentang tak berujung saat ini terlihat memiliki titik-titik cahaya yang bersinar di dalamnya. Di samping itu, ada dua benda bulat besar yang melayang di sana.

Tempat itu sepertinya adalah tempat di mana banyak jiwa berkumpul. Mungkin berikutnya dia akan menuju ke tempat itu.

Benda itu memiliki warna yang bisa menenangkan orang lain dan daya tarik yang sulit untuk digambarkan. Warna itu melampaui segala sesuatu yang membuat pemuda itu bermandikan warna merah dan menarik perhatiannya di saat yang bersamaan.

Tapi dia yang tidak dapat menggerakkan tubuh maupun jiwanya, sama sekali tidak bisa mengulurkan tangannya ke arah benda itu. Meski tempat yang memungkinkan tubuh dan jiwanya untuk beristirahat itu terlihat sangat bisa dijangkau.

Cahaya yang melayang di langit sekali lagi mulai menjadi buram.

".... huuh, berada di sana mungkin bukanlah hal yang bagus, lo? Menurutku di dunia ini tak ada istilah yang lebih mencurigakan selain 'Utopia'."

Pemandangan di depan mata pemuda itu dengan cepat berubah kembali menjadi merah.

Meskipun seluruh tubuhnya sakit dan kesadarannya mulai memudar, dia masih bisa mendengar suara itu dengan jelas.

"Walau berbagai hal bisa dengan gampangnya berubah karena perbedaan pendapat, tapi aku benar-benar merasa kalau warna merah di sini memang sangat cantik."

".... tapi... merah itu menakutkan."

"Oh? Menakutkan, menakutkan ya? Meski ini adalah pertama kalinya aku melihat iblis yang menangis, tapi aku tidak pernah menyangka akan ada iblis yang menangis dan mengatakan kalau warna yang menutupi hampir seluruh Dunia Iblis itu menakutkan."

Karena suara itu bisa terdengar, artinya seseorang saat ini sedang berada di sisinya. Meskipun dia sudah akan mati, terbaring tanpa pertahanan di tanah masih membuatnya merasa takut.

Karena dia masih merasa takut, itu berarti hatinya masih ingin terus hidup, dan itu berarti hatinya masih berharap agar hidupnya bisa terus berlanjut.

Dengan pandangannya yang buram, dia terus melihat sosok 'musuh' tersebut, tapi disangka, 'orang' yang menatapnya itu berdiri.

Perawakan orang itu tidak terlalu berbeda dengan dirinya yang masih muda, tidak, mungkin bahkan lebih ramping dibandingkan dirinya. 'Musuh' yang penampilannya tidak pernah terlihat itu, sedikit tersenyum dan berbicara,

"Apa kau tahu warna apa yang kau lihat tadi?"

Menanggapi pertanyaan 'musuh', dia tidak yakin apa alasannya, namun dia mengangguk tanpa ragu. Paling tidak jiwanya sudah kembali sehingga cukup baginya untuk mengangguk.

Setelahnya, rambut 'musuh' itu memancarkan warna yang sangat mirip dengan warna yang ingin dia ketahui.

"Itu berarti kau masih ingin memahami dunia. Sekaligus memahami sisi lain dari warna merah yang sangat kau takuti itu."

Dalam sekejap, dia diselimuti oleh sebuah sinar redup, dan rasa sakit di tubuhnya pun mulai memudar.

"Siapa namamu?"

".... Satan."

Meskipun itu adalah nama yang sangat biasa, tapi si 'musuh' tetap mengangguk dengan sikap yang berlebihan.

"Nama yang bagus."

Benarkah? Itu adalah nama yang sama yang pernah menguasai tempat ini dulu. Tak ada gunanya menggunakan nama itu pada anak sekarat dari klan yang lemah, nama itu tidak memiliki rasa keadilan sedikitpun.

"Nanti akan kuberikan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dunia. Itu akan membuatmu mengerti kecantikan di dalam warna merah darah yang kejam ini."

Setelah orang itu selesai berbicara, dia menyunggingkan sebuah senyum, dan hal itu begitu membekas di dalam jiwa pemuda tersebut.

"Warna yang kau lihat disebut....."


---End of Prolog---





Translator : Me..
Previous
Next Post »
0 Komentar