Re:Zero Kara Hajimeru Isekai Seikatsu (WN) Arc 4 - Chapter 51 Bahasa Indonesia

[Translate] Re:Zero Arc 4 - Chapter 51 : CINTACINTACINTACINTACINTACINTACINTAIAKU~




Chapter 51 : CINTACINTACINTACINTACINTACINTACINTAIAKU~

Subaru hanya bisa diam menyaksikan Garfiel si harimau emas hancur berkeping-keping.

Kekuatan cakar binatang itu seharusnya bisa membabat habis kepala sang Penyihir beserta tubuh bagian atasnya. Tak diragukan lagi, bahkan seorang Penyihir pun akan tercabik-cabik oleh serangan telak tersebut.... tapi sayangnya hantaman itu tak pernah mengenai sasarannya.

Menggunakan klon Lewes yang terakhir sebagai batu pijakan, Garfiel melakukan serangan penentuan. Tapi ketika cakarnya sudah berjarak satu inchi dari si Penyihir, Subaru melihat luka Garfiel yang sebelumnya sudah digoreskan oleh sang Penyihir, nampak mulai menggeliat.
Luka yang menggeliat itu... tak lain disebabkan oleh bayangan di kaki sang Penyihir yang merayapi anggota tubuh Garfiel. Ujung bayangan itu merayap masuk ke dalam tubuh Garfiel melalui luka tersebut dan menyebar dengan tujuan melakukan penghancuran, mengoyak daging serta membuat darah terciprat ke mana-mana.

Dan begitulah, tak sanggup menahan tekanan yang menekannya dari dalam, tubuh besar Garfiel meledak.

Dia bahkan tidak bisa melakukan pertahanan paling mendasar melawan metode menginjak-injak kehidupan yang sangat kejam semacam ini.
Tentu seketika itu juga, apa yang dulunya adalah Garfiel kini tersebar ke seluruh tanah lapang membentuk tumpukan kecil potongan daging berwarna merah. Hanya bulu emas yang menempal pada beberapa bekuan darah yang masih membuktikan bahwa Garfiel pernah ada di dunia ini.

"......"

Subaru tak bisa berkata apa-apa.
Beberapa saat lalu, ada lebih dari 20 kehidupan termasuk boneka Lewes yang memenuhi tanah lapang ini. Dan beberapa detik setelahnya, hanya tinggal dua.
Sebenarnya, jika kau menghitungnya dari awal, ada lebih dari seratus kehidupan di Sanctuary. 
Mengingat mereka telah dihisap ke dalam tubuh bayangan itu, kejahatan sanh Penyihir benar-benar terlampau besar. Sungguh tak bisa dimaafkan.

Darah terus mengalir di dalam pembuluh darah Subaru yang mati rasa, dan setiap sel di tubuhnya bersatu membentuk respon yang paling pas untuk kejadian ini.
Itu adalah, emosi paling pertama yang khusus tertuju pada bayangan di depan matanya.... Amarah.

"Aku mencintaimu."

"DIAM!"

"Aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu."

"Kubilang diam!"

Wujud bayangan itu sangat tak jelas yang mana bahkan tingginya pun tak bisa dibedakan. Suaranya juga masih samar seolah keluar dari pengubah suara, mustahil mengetahui apakah itu suara pria atau wanita.

Namun, terlepas dari ketidakpastiannya, rasa cinta yang tersirat dalam suara tersebut sangatlah jelas sampai-sampai membuat jijik.

Dengan cinta yang tak tergoyahkan, setelah menguras habis Sanctuary dan membunuh Garfiel, dia terus mencurahkan cinta, kasih sayang, dan perhatiannya kepada Subaru dengan sepenuh hati.
Itu sungguh menjijikkan dan menyimpang, yang mana malah membuat Subaru ingin muntah.
Subaru bisa merasakan kewarasannya direnggut oleh sang Penyihir. Sebuah emosi bak kegilaan menyeruak, sementara amarah dan rasa benci mendidih di dalam dadanya.

"Aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu."

Berdiri di sana tak bergerak, sang Penyihir terus membisikkan cintanya pada Subaru bak sebuah kutukan.
Terisi dengan kehangatan seolah hendak meleleh, ketidakmampuan sang Penyihir untuk membaca suasana pasti lebih buruk daripada Subaru.
Tidak sadar dengan rasa tak nyaman yang tersirat dari wajah orang yang dia cintai, sang Penyihir terus menunjukan cintanya yang bertepuk sebelah tangan.

Cinta ini benar-benar memuakkan.
Dan apa yang paling membuat Subaru marah adalah,

"Aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku."

"......"

"Aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu...... Subaru-kun."

".... Jangan panggil aku begitu!!"

Mendengar akhir dari kalimat tersebut, Subaru berteriak, dikuasai oleh amarah.
Setiap bagian kecil dari suara itu, gerakan itu, dan panggilan itu, semuanya benar-benar membuat Subaru merasa terganggu.

"Siapa yang memberimu izin untuk memanggilku begitu... Jangan bercanda! JANGAN BERCANDA!!"

Keakrabannya saat berada di sisi Subaru.
Rasa sayang yang tertanam dalam panggilannya.
Rasa cinta yang berdiri tegak di jarak di mana kau bisa menyentuhnya.
Hanya ada satu orang di dunia ini yang diizinkan untuk memanggilnya begitu.

..... Dan itu tentunya bukan Penyihir yang saat ini ada di hadapannya.

"Kau hanyalah seorang Penyihir yang kotor, jadi jangan pernah membuatku tertawa. Hanya ada satu orang yang memiliki hak untuk memanggilku begitu. Dan aku tidak akan membiarkan orang lain memilikinya. Tidak... bahkan jika itu hanya sehelai rambut, sepotong sel, ataupun hanya setitik kotoran di bawah kuku jariku, aku tidak akan pernah mengizinkanmu....!"

"......"

Geram, marah, Subaru mengungkapkan emosi yang berputar-putar di dalam dirinya. 
Bahunya bergerak naik turun seirama dengan napasnya saat Subaru menatap Penyihir yang ada di depannya. 

Seorang musuh yang tak mungkin dia kalahkan jika melawannya.
Seorang monster yang memakan sebagian dunia ini. Yang mana barusan melenyapkan Garfiel tanpa meninggalkan satu apapun. Penyihir di antara para Penyihir.
Ia adalah bencana terhebat yang menelan seluruh kehidupan ke dalam bayangan, tanpa minat lain selain terus membisikkan cinta gilanya pada satu orang.

Fakta bahwa dia berani menghadapi monster semengerikan itu bahkan membuat Subaru sendiri terkejut.
Itu pasti karena otaknya sudah tak peduli dengan dirinya sendiri, pikir Subaru.
Jika Penyihir itu mau, dia bisa saja menghisap Subaru ke dalam rawa bayangan itu dalam sekejap. Atau bisa juga dia menusuk Subaru dengan ujung bayangannya dan menggunakannya sebagai pupuk tanah dalam bentuk pertunjukan kembang api berdarah, seperti layaknya dengan Garfiel.
Namun, meski mengetahui hal tersebut, kenapa hatinya sama sekali tidak goyah ketika menghadapi Penyihir itu? Mungkin itu karena, jauh di dalam lubuk hatinya, Subaru tanpa sadar percaya pada sang Penyihir.

Kemudian....

"......"

".... tak bergerak?"

Pulih dari ledakan emosinya barusan, Subaru tak bisa berkata apa-apa ketika reaksi yang dia perkirakan akan muncul dari si Penyihir tak keluar satupun.
Tanpa Subaru sadari, bisikan cinta layaknya kutukan... rasa sayang yang terus tercurah bahkan ketika Garfiel hancur berkepung-keping, kini telah berhenti.
Ya berhenti.

Pengikisan yang dilakukan oleh bayangan sang Penyihir terhadap tanah lapang yang Subaru pijak nampaknya juga mulai melambat.... atau lebih tepatnya, berhenti sepenuhnya. Menjauhkan dirinya dari sensasi tak menyenangkan yang berasal dari bayangan di bawah kakinya, Subaru mencari tempat yang hanya sedikit ditutupi bayangan dan pindah ke sana.
Dia terus menatap si Penyihir ketika melakukan hal tersebut, tapi tak ada reaksi apapun.
Sang Penyihir hanya diam berdiri di sana dengan tangan menjuntai, tubuhnya ditutupi oleh bayangan tebal yang mampu membelokkan cahaya serta menyembunyikan ekspresinya dari pandangan.
Dia nampak dipenuhi dengan celah, yang mana jika Subaru nekad berlari ke arahnya dan melayangkan sebuah pukulan, sang Penyihir mungkin akan jatuh.

"Kenapa tiba-tiba kau..... mungkinkah itu karena apa yang kukatakan?"

'Mustahil' pikir Subaru, sambil mengernyit menyadari ketidakmampuannya untuk menyangkal hal tersebut.

Sulit dipercaya kata-kata Subaru bisa memiliki efek sebesar itu, tapi mengingat titik di mana kata-kata dan gerakan sang Penyihir berhenti, maka tak ada penjelasan lain lagi.
Meskipun itu tidak membuat kemungkinan tersebut jadi lebih mudah diterima.

"Jika penolakanku bisa membuatmu sampai jadi begini....."

Mungkin, jika sebelumnya dia berteriak seperti tadi, Garfiel dan yang lainnya mungkin masih bisa selamat.
Sekarang setelah Emilia, Ram, Lewes, Otto dan bahkan Garfiel yang mencoba melindunginya kehilangan nyawa di tangan Penyihir itu, maka sudah tak ada alasan bagi Subaru untuk tetap hidup.
Echidona beberapa saat lalu telah memberitahunya kalau tak ada batas bagi Return by Death. Dan, meskipun dia tidak sadar dengan sendirinya, dia mungkin sudah mulai merasa puas dengan yang namanya 'Kehidupan'.

Inilah alasan kenapa dia tidak melakukan rencananya untuk menjadi umpan segera setelah Garfiel menolaknya, iya kan?
Melihat sang Penyihir yang begitu terobesesi kepadanya, Subaru seharusnya tahu kalau sikap seperti itu darinya bisa memicu reaksi semacam ini.

"Aku tidak tahu kenapa, tapi.... itu artinya aku adalah kelemahan sang Penyihir, kan?"

Jika semua ini adalah karena obsesinya terhadap Subaru, kemungkinan hal itu terjadi sangatlah tinggi. Masalahnya adalah, bahkan setelah mengetahui hal tersebut, akankah dia punya kesempatan untuk memanfaatkannya? 
Bagaimanapun juga, keadaan di setiap pengulangan yang terjadi di Sanctuary sejauh ini sangatlah berbeda-beda. Mereka membuat Subaru harus bekerja keras untuk menemukan solusi tanpa satupun petunjuk.... tapi jika dibandingkan, perbedaan dengan pengulangan kali ini benar-benar berada di tingkat yang sangat berbeda.

Elsa, Garfiel, dan Kelinci Raksasa saja sudah sulit untuk ditangani, dan jika Penyihir Kecemburuan juga ikut-ikutan, maka itu adalah sesuatu yang sangat mustahil. Hanya memikirkan cara untuk menemukan pola di balik kemunculannya saja sudah cukup untuk membuat motivasi Subaru hancur.
Sebesar itulah ancaman keberadaan sang Penyihir. 
Bahkan rencana yang sudah tersusun rapi pun terasa konyol. Mampu melumpuhkan tekadnya untuk bertarung bahkan sebelum pertempuran dimulai, dibandingkan dengan Paus Putih yang berukuran raksasa, sosok kecil Penyihir itu terasa jauh lebih menakutkan.

"....."

Meskipun Penyihir itu hanya diam berdiri di sana, Subaru bisa merasakan hatinya menjadi layu.
Sang Penyihir sama sekali tidak punya niat untuk bergerak. Dia juga sama sekali tidak ambil pusing dengan kekacauan yang terjadi di dalam kepala Subaru.
Dia hanya berdiri di sana, tenggelam di dalam dunianya sendiri.

Waktu terus berlalu dalam kebimbangan.
Napasnya, jantungnya yang berdetak kencang, sensasi keringat hangat yang mengucur di dahinya, semuanya memberitahu Subaru berlalunya waktu.

Meskipun mereka terus menatap satu sama lain, tak ada satu solusi pun yang akan datang nantinya. Dan ketika Subaru menarik napas dalam berniat mengambil tindakan....
sebuah pemikiran terlintas di pikirannya. Itu adalah.....

“....Mungkinkah.... ini karena pesta teh Echidona?”

“....!”

“Aku membeberkan semua informasi terlarang ketika aku berada di Bentengnya... kupikir karena tidak ada hukumannya, berarti aku diizinkan untuk mengatakannya di sana, tapi.....”

…..Bagaimana jika tidak?

Bagamana jika sang Penyihir tidak pernah memberikan izin pada Subaru untuk mengungkap soal Return by Death? Bagaimana jika dia melihat Subaru membeberkan kata-kata terlarang itu dan mencoba memberikan hukuman seperti biasanya?
Bagaimana jika, karena tidak bisa masuk ke pesta teh Echidona, dia memilih untuk memberikan hukuman yang berbeda?
… Bagaimana jika inilah kebenaran di balik bencana yang menimpa Sanctuary?

“Sungguh betapa egoisnya dirimu....?”

Apa semua pembantaian ini adalah karena dia tidak bisa memberikan hukuman pada Subaru?
Apa dia pikir dia punya hak? Dengan menunjukan kekuatannya yang begitu besar, kepada siapa dia mencoba untuk pamer?

“Aku mencintaimu.”

Di sini, pemikiran Subaru sepertinya telah sampai ke satu sudut kebenaran.
Sang Penyihir yang masih berwujud sebuah siluet, tiba-tiba melanjutkan kelakuannya yang menjijikkan. Dia mengalihkan mata serta apa yang terlihat seperti kepalanya, dan terus melanjutkan gumamannya yang seperti kutukan.

Bisikan itu seolah memicu pergerakan sang bayangan, kegelapan pun sekali lagi mulai mengikis permukaan tanah. Merasa sepatunya tenggelam ke dalam rawa bayangan tersebut, Subaru dengan cepat melompat dari tanah tempatnya berpijak.

“Ada apa denganmu.... saat aku menyebutkan nama gadis lain, seketika itu juga kau langsung jadi bersemangat, oy!!”

“Aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu.”

“Tak peduli berapa kalipun kau menggumamkan hal itu, aku takkan pernah mencintaimu! Tempat nomor satu dan dua di hatiku sudah terisi penuh. Takkan ada ruang bagi seorang Penyihir untuk masuk ke dalamnya.”

Saling bertukar omongan... meskipun satu-satunya kata yang keluar dari mulut sang Penyihir hanyalah ungkapan cinta yang monoton.
Tapi ketika Subaru merasakan denyutan emosi akibat dari provokasinya, pipi Subaru pun membentuk sebuah seringai jahat. Membuat ornag lain geram adalah keahlian Subaru, dan sekaranglah saatnya untuk menguji apakah itu juga bekerja pada Penyihir.

“Jika kau dengan entengnya terus mengulang kata 'aku mencintaimu', itu pasti sangat murahan.”

“Aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu' aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu.”

“Kata 'aku mencintaimu' pertama yang kudapatkan di dunia ini.... punya kekuatan yang sanggup membuat seorang manusia sampah bercita-cita menjadi seorang pahlawan, kau tahu!”

Cinta yang cukup untuk membuat seorang pengecut yang hanya tahu cara untuk melarikan diri, bisa berani menghadapi masa depan ketika dia sudah hampir menyerah, dan cinta itu terus memberinya kekuatan, tidak hanya sekali, tapi berkali-kali.
Seperti itulah kekuatan, kemuliaan, dan keagungan cinta yang sesungguhnya.

“Jadi semua bisikan cintamu itu tak sedikitpun masuk ke telingaku. Khususnya, ketika kau melakukan tindakan yang sangat kejam hanya karena kau cemburu. Tak ada satupun hal yang kusukai darimu.

“Aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu.”

“Jika aku harus mencintai seorang Penyihir sepertimu....”

“Aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu.......”

Apa yang harus dia katakan untuk membuat Penyihir ini sakit hati? Dengan kemampuannya untuk membuat orang lain jengkel, Subaru tahu betul apa itu.
Dan kemudian, dengan sebuah senyum kejam dan mata penuh penghinaan,

“Jika aku memang harus mencintai seorang Penyihir, Echidona dan Penyihir lain jauh lebih pantas dicintai daripada dirimu.....”

“......”

Saat dia mengucapkan kata-kata tersebut, kutukan sang Penyihir akhirnya berhenti.
Dan.....

“......a”

Pandangan Subaru dan juga dunia, seketika tertelan ke dalam kegelapan.


XxxxX


Bayangan mendekat dengan momentum dan massa yang begitu luar biasa, sementara Subaru hanya diam menyaksikannya.

Tangan-tangan hitam yang keluar dari kaki si Penyihir terlihat sangat mirip dengan tangan tak terlihat milik Petelgeuse. Serupa tapi tak sama, meski Subaru bisa dengan mudah menghindari tangan tak terlihat milik Petelgeuse begitu ia melihatnya, tangan-tangan sang Penyihir mendekat dengan kecepatan yang hampir mustahil untuk dihindari.

Dan kemudian, seketika itu juga, mata Subaru melihat dirinya dikelilingi oleh bayangan dan diangkat ke atas puncak pohon, sebelum ditarik kembali ke bawah menuju ke hadapan sang Penyihir dengan kecepatan yang lebih cepat dibandingkan terjun bebas.
Keseluruhan proses serangan itu terjadi begitu cepat melebihi apa yang bisa diproses kesadaran Subaru, dan pergolakan organ dalam tubuhnya akibat perubahan ketinggian yang tiba-tiba seketika membuat Subaru muntah.

"Ough... hu...gh."

Tak bisa membuat kesadarannya tetap terjaga, pandangan Subaru terasa berputar-putar.
Kakinya tidak berpijak pada tanah, dan seluruh tubuhnya terasa diselimuti oleh sesuatu yang lembut dan seperti kain. Meskipun ikatannya tidak terlalu kencang, pergerakan Subaru sepenuhnya tertahan, dan dia tidak bisa menemukan satupun titik di mana dia bisa melepaskan diri.

Dia berusaha meronta dari ujung jari tangannya hingga ujung kaki, tapi hanya bagian atas lehernya saja yang mampu mematuhi perintahnya, sementara bagian tubuh yang lain sudah menyerah pada bayangan yang kini menyelimutinya.
Kemudian, saat pandangannya menjadi semakin jelas, tenggorokan Subaru membeku saat dia melihat bayangan yang begitu besar di hadapannya.

......Di depan matanya, benar-benar tepat di depan mata Subaru, sang Penyihir berdiri di jarak yang sangat dekat di mana Subaru hampir bisa merasakan napasnya.

Menangkap Subaru di dalam selubung bayangannya, sang Penyihir menatap Subaru dari jarak yang begitu dekat seolah sedang melubangi kulit Subaru.
Kepala Subaru terangkat di posisi di mana dia tidak akan bisa menghindari tatapannya. Mungkin dia bisa, jika dia menutup matanya, tapi entah kenapa, bahkan hal itu pun tak bisa dilakukan ketika matanya sudah bertemu dengan mata sang Penyihir Kecemburuan.

"Aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu."

Kata demi kata, sama seperti sebelumnya, sang Penyihir terus mengungkapkan kata cintanya.
Mendengar kata-kata itu, meski sudah dibuat terdiam, keinginan untuk memberontak sekali lagi menggelora di dalam diri Subaru.
Menyalurkan kekuatan ke tangan dan kakinya yang tak bisa bergerak, Subaru membuka lebar matanya dan menatap tajam sang Penyihir. Lantas, dia pun membuka mulutnya untuk melanjutkan kembali rangkaian caciannya,

"Ini bukan masalah jarak. Masalahnya adalah kau tidak berarti apa-apa di hatiku....."

"Aku mencintaimu aku mencintaimu..... Cintai aku."

Mendengar jawaban Subaru, terdapat jeda di antara suara sang Penyihir.
Subaru mengernyitkan dahinya dan berkedip, bertanya-tanya apakah dia sudah salah dengar. Dan melihat reaksi Subaru, sang Penyihir pun sedikit mengangkat kepalaya,

"Cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku..... Cintai aku."

Tiba-tiba merinding, untuk pertama kalinya Subaru merasakan teror yang sesungguhnya dari sang Penyihir.

Hatinya yang dikuasai oleh amarah dan keinginan untuk memberontak.... tiba-tiba ditelanjangi begitu saja di hadapan panggilan sang Penyihir.

Bertekad untuk tidak goyah tak peduli apa yang dia lakukan maupun katakan, Subaru memaksa dirinya untuk tetap kuat.
Menghadapi sang Penyihir Kecemburuan, Subaru rasa dia harus mencoba memahami akar penyebab dari kegigihannya.

Tapi keberanian yang amat kecil dan kesimpulan yang terlampau gegabah itu seketika hancur menjadi debu. 

Sesat. Menyimpang. Gila. Cinta yang gila. Jahat. Pembunuh. Penyihir.

Paham kalau bisikan cintanya tidak akan mendapatkan jawaban, kali ini si Penyihir memilih meminta cinta dengan cara paksa. Daripada disebut serakah, itu lebih pantas disebut cinta yang dangkal.
Dan di sini, Subaru menyadarinya.

Sang Penyihir menginginkan Natsuki Subaru, tapi dia sama sekali tidak melihat Subaru.

Apa yang sang Penyihir lihat bukanlah Subaru, melainkan cangkang bernama Natsuki Subaru. Dia hanya mendambakan tampilan luar Subaru, dan ingin dicintai oleh tampilan luar Subaru. Entah perasaan Subaru nantinya murni atau tidak, hal itu tidaklah penting bagi sang Penyihir.
Mencintai Natsuki Subaru dan dicintai oleh Natsuki Subaru.
Itulah keinginan sang Penyihir Kecemburuan dan alasannya menghancurkan dunia.

Itu sama sekali tidak masuk akal.

Paham sampai sejauh ini, pertanyaan di dalam diri Subaru kembali ke tempat awal.
Yaitu, kenapa sang Penyihir begitu terobsesi padanya?

Mereka tidak pernah bertemu ataupun bicara sebelumnya. Bahkan, inilah pertama kalinya mereka benar-benar bertatap muka satu sama lain.
Lalu kenapa da begitu cinta pada Subaru?
Subaru sama sekali tidak mengerti. Ini sangat tidak masuk akal. Memang cinta adalah sesuatu yang tidak bisa diukur dengan akal sehat, tapi cinta sang Penyihir benar-benar berada di level yang berbeda.

“..... Cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku cintai aku.”

Sang Penyihir salah mengira cinta yang dangkal sebagai cinta sejati.
Kemungkinan, jika Subaru mengatakan kata-kata itu, sang Penyihir mungkin akan melepaskan ikatannya.
Jika itu adalah Subaru yang licik, penuh tipu daya dan berpikir secara realistis, dia mungkin akan menjawab ungkapan cinta sang Penyihir dengan jawaban yang berlebihan dan membuat lawan bicaranya malu-malu.
Tapi,

“....Aku membencimu.”

“......”

“Aku tidak akan pernah mencintaimu.”

Mengungkapkan penolakan dari dalam lubuk hatinya, Subaru menolak permintaan sang Penyihir Kecemburuan.

“.....”

Mendengar jawaban tersebut, sang penyihir sekali lagi terdiam.
Tak banyak manusia yang berkali-kali bisa menghempaskan harapan sang Penyihir seperti ini. Subaru merasa memperoleh sedikit rasa kepuasan dari fakta tersebut. 
Dan kemudian, ketinggian Subaru perlahan mulai menurun.

Diselimuti oleh bayangan, tubuh Subaru yang awalnya terangkat ke udara perlahan-lahan mulai turun ke tanah. Tapi itu bukan berarti dia sudah lepas.
Masih dalam keadaan tertahan mulai dari ujung kakinya, Subaru diseret ke bawah kaki sang Penyihir.... sedikit demi sedikit, tertelan ke tengah pusaran.

Sadar kalau dia tidak bisa mendapatkan hati Subaru, sang Penyihir memutuskan untuk menelannya. Sebuah pemikiran yang dangkal dan sangat masuk akal.
Kini, ketika seluruh bagian kakinya mulai dari lutut ke bawah tertelan dalam bayangan, dengan pikiran yang sedang disiksa oleh teror kehilangan panca indera, sebuah keraguan tiba-tiba terlintas di pikiran Subaru.

Jika dia ditelan seperti ini, tak diragukan lagi dia akan kehilangan nyawanya.
Jadi kalau dipikir-pikir, mungkin tak apa menyerah di sini. Menyambut 'Kematian', akan menjadi perlawanannya yang terakhir terhadap sang Penyihir. Jadi mungkin tak masalah jika dia membiarkan dirinya tertelan begitu saja.
Namun,

….. Seluruh kematiannya sejauh ini adalah berkat kekuatan sang Penyihir, tapi jika sang Penyihir sendiri yang membunuhnya, akankah dia bisa kembali lagi?

“.....!”

Saat dia menyadari hal ini, Subaru mulai melakukan perlawanan yang agak terlambat. Dengan tubuh bagian bawahnya yang sudah ditelan oleh bayangan, perlawanan semacam itu sungguhlah naif dan sia-sia. Namun dia tak punya pilihan selain berusaha.
Kalau dipikir-pikir, sebelum muncul pertanyaan apa dia bisa kembali atau tidak, dia bahkan tidak yakin apakah ditelan oleh sang Penyihir benar-benar akan membunuhnya. Bagaimana jika dia malah menjadi bagian dari sang Penyihir setelah ditelan oleh bayangan itu dan menghabiskan keabadian tanpa diizinkan untuk mati?
Di waktu yang selama itu, semua tekad dan ketetapan hatinya saat ini pasti akan memudar, dan kemudian berpihak pada sang Penyihir. Subaru tidak cukup yakin untuk bilang kalau hal itu tidak akan terjadi. Oleh karena itulah dia tidak boleh membiarkan dirinya ditelan.

Kemungkinan terburuk, dia harus melakukan bunuh diri dengan menggigit lidahnya sebelum dia jatuh ke tangan sang Penyihir.... tapi,

“......uu, huh?”

Tekad itu seketika dihentikan oleh sebuah sensasi hangat di dadanya.

Merasakan sensai panas di bagian kiri dadanya, Subaru merunduk melihat apa yang terjadi. Dan di sana, dia melihat sebuah cahaya yang berasal dari sensasi panas tersebut, menembus kegelapan yang menyelimuti tubuhnya.
Apa yang lebih mengejutkan lagi adalah, dari asal cahaya tersebut, bayangan sang Penyihir perlahan lenyap seakan-akan sedang meleleh.

“Ini......”

Sebelum otaknya bisa memproses apa sebenarnya luapan cahaya tersebut, Subaru memutar tubuhnya, menggunakan cahaya itu untuk merobek selubung bayangan yang menyelimutinya. Jangkauan pergerakannya melebar saat ia merobek selubung bayangan tersebut, dan memastikan tangannya sudah  lepas, dia segera meraih sumber cahaya itu.
Menggenggam benda itu di antara ujung jari-jarinya, apa yang dia ambil dari dadanya adalah sebuah serbet yang berkibar tertiup angin.... dengan sebuah sulaman kucing abu-abu di atasnya. Itu adalah sapu tangan milik Petra.

“Kenapa..... Ah lupakan!!”

Mengesampingkan pemikirannya untuk nanti, Subaru mengayunkan tangannya bersama dengan sapu tangan tersebut. Mematuhi kenginan Subaru, kain yang seharusnya lembek itu menjadi keras, dan dengan ketajaman sebuah pisau, sapu tangan itu pun memutus ikatan antara sang Penyihir dengan tanah di bawahnya.

"......"

"Woah! Kalau benda ini..... baiklah!!"

Subaru menusukkan sapu tangan tajam itu ke arah kegelapan yang menelan bagian bawah tubuhnya.
Menenggelemkan ujung tajam sapu tangan itu ke dalam bayangan, sesaat sang bayangan berusaha menelan sang cahaya, namun, tanpa suara apapun, seketika bayangan itu meledak.
Dengan bayangan yang kini tercerai-berai, apa yang tersisa sekarang adalah kaki Subaru yang berpijak pada tanah.

Hampir terjatuh ke belakang, Subaru memastikan kedua kakinya masih ada di sana. Kemudian, menyiagakan sapu tangan itu di pinggangnya, Subaru menatap kain yang bersinar tersebut.
Sapu tangan sulaman milik Petra. Sulit membayangkan perasaannya untuk Subaru bisa punya keajaiban semacam ini. Tapi di sini, pemikiran Subaru beralih ke seseorang yang pasti sudah melakukan sesuatu terhadap sapu tangan ini.

"Si Echidona itu.... apa dia sudah tahu kalau hal ini akan terjadi?"

'Hanya untuk jaga-jaga.' Subaru hampir bisa menebak apa yang dikatakan Penyihir berambut putih tersebut.
Di dunia mimpi, saat pesta teh selesai, Echidona telah mengambil sapu tangan ini sebagai bayarannya. Dia tidak pernah memikirkan apa yang akan terjadi jika sebuah benda yang ada di dunia nyata di berikan kepada orang lain di alam mimpi.... tapi jika ini adalah hasil campur tangannya, berarti mempengaruhi kenyataan dari dalam mimpi adalah sesuatu yang mungkin untuk dilakukan.
Kalau begitu,

"Kurasa aku harus berterima kasih padanya... karena memberiku sesuatu yang bisa kugunakan untuk melawan sang Penyihir."

"......"

Menghadapi fakta bahwa bayangannya telah dihancurkan, sang Penyihir hanya diam berdiri di sana. Melihat celah tersebut, Subaru menarik napas pendek, menerjang ke samping sang Penyihir.....

"Lengah adalah sebuah kesalahan!!"

.....dan menusukkan sapu tangannya ke arah sang Penyihir yang sedang terdiam. Si Penyihir tak bergerak sedikitpun. Tapi bayangan di kakinya menerjang membentuk pertahanan, mengaktifkan apa yang disebut Garfiel sebagai 'baju' pelindung.

".... Rrruuaaghhh."

Namun, hal itu tidak bisa menghentikan cahaya dari sapu tangan tersebut.
Layaknya sebuah belati tajam, sapu tangan itu menembus 'baju' pelindung tersebut, menusuk sisi wajah sang Penyihir.... dan terkena telak.

".... Kena kau!!"

Sensasi di tangannya membuat Subaru ingin menangis bahagia, Subaru lantas berbalik, menggunakan momentum yang sama untuk melancarkan tusukan lain ke arah sang Penyihir.....

"......eh?"

Tapi saat dia melihatnya, dia berhenti.
Sang Penyihir berdiri di sana, tak bergerak, menatap ke arah Subaru. Tusukan ke arah sisi wajahnya terkena telak, membuat tudung bayangan terkelupas dan menunjukan wajah yang tersembunyi di baliknya.

Itu adalah gadis berambut perak yang sangat Subaru kenal, dengan mata kosong menatap ke arah Subaru.

"Emilia...?"

Dia tidak merespon panggilan Subaru. Tapi semuanya kini mulai kembali bergerak.
Selubung bayangan pun kembali. Kegelapan di bawah kakinya yang sebelumnya berhasil ia lenyapkan sekali lagi mengikat tubuh Subaru, dan kali ini, dia mengikat Subaru tanpa ampun, membuatnya menjerit.

Bayangan itu menahan erat Subaru mulai dari bagian kanan iganya hingga seluruh tubuh bagian kirinya.
Hanya tangan kanannya yang masih membawa sapu tangan saja yang masih bisa bergerak, meskipun gerakannya sangat terbatas.

Dan begitulah, Subaru yang tak bisa bergerak, sedikit demi sedikit ditarik ke dalam lautan bayangan. Tanpa ragu sedikitpun, kali ini jauh lebih cepat dari yang terakhir kali.
Pertama adalah bagian bawah tubuhnya, dan kemudian bahu kirinya juga, sampai kepala dan bagian kanan dadanya saja yang masih berada di atas tanah. 
Berusaha keras mengangkat kepalanya dan menahan tubuhnya yang terus tenggelam,

"Emilia, Emilia? Kenapa..... kenapa!?"

Ketika Subaru melihatnya menghilang dari Makam dan Sanctuary diselimuti oleh kegelapan, Subaru pikir dia sudah ditelan oleh sang Penyihir.
Kalau begitu, paling tidak perlawanannya terhadap sang Penyihir sejauh ini memiliki makna.

... Tapi kenapa malah dia yang mengenakan selubung bayangan itu dan menyerang Sanctuary?

Subaru tidak tahu jawabannya. Emilia pun juga tidak akan menjawabnya. Dia sama sekali tidak melihat Subaru. Tatapan kosong yang tak pernah terlihat sebelumnya terpancar dari matanya yang berwarna ungu, dan Subaru tidak yakin apakah kesadarannya masih ada di sana atau tidak.
Bahkan tak ada cukup waktu untuk mencaritahu.

"Gh, u, ah...."

Tubuhnya terseret semakin dalam.
Dia tidak bisa merasakan apapun dari tubuhnya yang sudah tenggelam. Kalau hanya mati rasa saja mungkin tidak terlalu buruk, tapi fakta bahwa bahkan sensasi keberadaannya pun juga ikut hilang memaksa Subaru untuk menilai kembali bahaya akibat tenggelam di sini.

Memastikan bahwa sapu tangan itu masih ada di tangan kanannya, yang mana merupakan satu-satunya bagian tubuh yang masih bisa bergerak, Subaru pun membulatkan tekadnya.
Penyihir berambut putih sekali lagi terlintas dalam kepala Subaru.
Dia ingin sekali menarik kembali pernyataannya yang sebelumnya, dan sebaliknya, memberikan komplain terhadap Penyihir itu.

"Apa si kampret Echidona itu sudah tahu kalau semuanya akan jadi seperti ini....?"

Jika benar begitu, Subaru pasti akan sangat tersentuh dengan kebaikannya, bahkan sampai menitikkan air mata.
Air mata darah tentunya.....

.... Subaru menutup matanya, dan ketika ia membukanya kembali, ia langsung menusukkan sapu tangan tersebut ke tenggorokannya.
Ujung yang tajam mengoyak dagingnya dan menciptakan lubang di bagian vital tenggorokan Subaru. Darah mengalir melewati batang tenggorokan dan masuk ke dalam paru-parunya, mewarnai kesadarannya dengan warna merah.

Bunuh diri. Sang Penyihir Keserakahan memberinya senjata adalah untuk hal ini.
Benda itu bukan untuk melawan sang Penyihir Kecemburuan. Dia tahu kalau percakapan mereka di pesta teh itu pasti akan melepaskan sang Penyihir. Dan di sini, dia meminta bayarannya.

"...."

Melihat Subaru melakukan bunuh diri, untuk pertama kalinya emosi selain cinta meledak di dalam diri sang Penyihir.
Tapi, tenggelam dalam darahnya sendiri, Subaru yang hampir kehilangan kesadaran tentu tidak menyadari hal itu. 

Hanya saja, melihat rona kesedihan di wajah gadis yang sangat dia kenal, entah apa yang ada di dalamnya, hal itu tetap membuat hati Subaru sakit sebaimana sebelum-sebelumnya....

Tenggorokan Subaru kini telah dipenuhi dengan darah, membuatnya kesulitan untuk menyusun kata-kata. Tapi meski begitu, Subaru tetap berbicara, bukan pada makhluk palsu yang bersemayam di cangkangnya, melainkan kepada si gadis.

"Aku, pasti....."

..... akan menyelamatkanmu.

Dan kemudian, Natsuki Subaru pun mati.

---End---



Baca Semua Chapter -> Index Re:Zero Arc 4


Translator : Zhi End Translation...
Previous
Next Post »
17 Komentar
avatar

Akhirnya Yang Di Tunggu ^_^ ..... Makasih Min Untuk Re Zeronya Di Tgg Chapter Selanjutnya Hehehehe. Saya Akan Bantu Sebisanya Untuk Promosi Web Ini Di Sosmed Min...Re Zeronya Kencengin Ya Min Hehhehehe

Balas
avatar

Mantap min. Tgl rilisnya kpan lagi ya?

Balas
avatar

nicee akhirnya keluar jugaa ty min
ditunggu update an selanjutnya tp ya jangan lama lama hehe

Balas
avatar

Mantap, yg ditunggu2 keluar juga. tapi nunggu lagi deh chapter 52 nya -_-

Balas
avatar

Update terus miinn.. gk sabar nunggu kelanjutannya

Balas
This comment has been removed by the author. - Hapus
avatar

Di tunggu chatper 52 dst nya min

Balas
avatar

Kapan Lanjutanya mimin

UP UP UP

Balas
avatar

subarasi .... arigatogizaimaseee

Balas