[Translate] Hataraku Maou-Sama Volume 9 - Chapter 2 : Pahlawan, Bingung Dengan Kampung Halamannya -2
Kembali ke -> Hataraku Maou-Sama Volume 9 - Chapter 2 Part 1
Chapter 2 : Pahlawan, Bingung Dengan Kampung Halamannya.
“Apa benar tak apa berhenti di sini? Kau sudah memberi kami banyak uang, takkan masalah bahkan jika aku membawamu melewati dua desa lagi menuju kota, kau tahu?”
Tanya kapten karavan pedagang dengan semangat bisnis yang jelas terlihat, terdapat kecemasan dalam nada suaranya.
“Seperti yang bisa kau lihat, Warloski itu tidak punya satupun penginapan untuk disewa petualang, dan desa terdekat, mulai dari Mility, Goff sampai Sloan, mereka masihlah desa terlantar tanpa adanya tanda-tanda perbaikan. Meski kau ingin pergi berziarah, di sana tak ada satupun penduduk yang akan mendengar do'amu, kau tahu?”
Di sebelah jalan yang menuju desa Warloski, Emi turun dari kereta pedagang.
“Tak masalah, terima kasih atas bantuannya selama ini.”
Karena dia bepergian dengan kereta pedagang, Emi bisa menghemat lebih dari satu hari waktu perjalanan.
Menggunakan kecepatan berjalan orang dewasa, dari Warloski menuju Sloan akan butuh waktu setengah hari.
“Dalam beberapa hal, ziarah itu hanya alasan, aku kehilangan seseorang yang penting saat Pasukan Raja Iblis menyerang, jadi selain ziarah, ini juga perjalanan untuk mencari jejak orang itu.”
“.... Aku benar-benar bodoh. Seorang gadis yang berpetualang sendirian ternyata punya alasan seperti itu.”
Si kapten, berada di tempat kusir kereta kuda, melepas topi lebarnya dan menekankannya ke arah dada.
“Aku akan berdoa pada dewa perdagangan agar kau bisa menemukan ingatan dari orang yang penting itu. Tak usah merasa tidak enak, karena kau sudah memberiku banyak uang, anggap saja ini sebagai bagian dari layanan.”
“Kalau begitu izinkan aku berterima kasih atas niat baik anda.”
Emi tersenyum ke arah kapten yang suka melebih-lebihkan tersebut.
“Sampai jumpa, kuharap kita bisa bertemu lagi.”
Si kapten kembali memakai topinya, dan menarik tali kekang kuda agar karavan bisa melanjutkan perjalanannya.
Para pria yang menjadi bagian dari rombongan enam kereta kuda itu melambaikan tangannya ke arah Emi dan menghilang di ujung jalan.
Setelah tidak lagi melihat jejak mereka, Emi menekan dadanya dengan tangan, dan berkata,
“Merasa begitu terguncang, aku benar-benar telah melemah.”
Doa tulus kapten tersebut memberikan kehangatan di hati Emi.
“.... Karena di sini terlalu damai, aku sampai lupa kalau ini adalah Ente Isla.”
Seolah agar tidak melupakan kehangatan tersebut, Emi menghirup napas dalam.
Itu bukan ilusi, dia benar-benar merasa dipenuhi kekuatan.
“Kehangatan hati akan menjadi kekuatan. Sekarang, aku tidak akan kalah dari siapapun.”
Emi memunggungi jalanan menuju desa Warloski dengan semangat tinggi seraya merasakan sihir suci menyelimuti tubuhnya, dan berjalan menuju arah desa Sloan.
Dalam perjalanan sebelumnya, dia hanya bisa bergantung pada cahaya bulan dan bintang ketika berjalan di malam hari.
Namun, saat ini Emi memakai sebuah senter di kepalanya, dan dengan sebuah alat canggih dari peradaban ilmiah bumi di tangan kanannya, yaitu sebuah lampu LED, kedua benda itu memancarkan sinar yang begitu terang untuk menerangi jalanan saat malam.
Ketika Emi berada di desa Sloan, sumber cahayanya adalah kedua benda ini.
Baterai yang terpasang pada lampu LED tersebut adalah alat canggih yang menggunakan energi matahari, sehingga tak perlu khawatir kehabisan energi listrik, dan meski Emi berlebihan menggunakannya sehingga tak ada listrik di malam hari, baterai itu bisa diisi ulang secara manual.
Asalkan kabel dan colokan yang tersedia terhubung, bahkan HP Emi pun bisa diisi ulang. Fitur langkanya adalah lampu bagian depan yang menghadap LED, dapat digunakan di saat yang sama dengan bohlam yang terpasang di sisi bodi utama, yang mana berfungsi sebagai lampu berdiri. Untuk menghemat energi, fakta bahwa ada dua tingkat kecerahan adalah poin plus dalam produk ini.
Ketika berada di hutan lebat, Emi bahkan menggunakan fitur alarm yang terpasang pada alat itu, dan tanpa harus bertarung, dia mengusir binatang liar yang bersembunyi dalam kegelapan hutan seperti serigala, beruang, dan lain sebagainya.
“Ditambah lagi, jika sebuah pemantik api atau pisau diletakkan di belakangnya dan dijual, benda ini pasti akan membuat perubahan dramatis dalam hal berpetualang di Ente Isla.”
Mengucapkan kalimat yang mirip seperti yang ada di saluran belanja televisi, Emi menemukan sebuah reruntuhan kecil di ujung hutan yang mana akan dia lewatkan jika dia tidak teliti.
Emi mematikan lampunya setelah memastikan tujuannya.
Mempertimbangkan adanya perampok atau orang sejenis itu mendiami tempat ini, akan lebih baik kalau Emi tidak menunjukan pergerakannya.
Dan reruntuhan ini berbeda dengan tempat-tempat lain.
Seperti apa yang Emerada khawatirkan, mungkin dia diawasi oleh banyak orang berbahaya.
Emi dengan cermat merasakan udara di sekitarnya dan perlahan melangkah maju, menghabiskan waktu dua kali lipat lebih lama dari yang biasanya ia gunakan.
Dia dengan cepat berada di jarak di mana dia bisa melihat bentuk luar bangunan itu di bawah sinar bulan, dia pun berhenti untuk mengamati keadaan.
“..... Tidak ada orang ya.”
Emi menghela napas dan berbicara.
Dia memang harus bergerak dengan hati-hati, kalau dipikir-pikir, Emi sudah meninggalkan Ente Isla selama lebih dari satu tahun.
Dan para malaikat, iblis, dan orang yang berkaitan dengan Gereja, telah memastikan kalau dia masih hidup setengah tahun lalu.
Dalam jangka waktu selama itu, tak peduli faksi mana, mereka tak akan punya waktu untuk menempatkan pasukan ketika mereka tidak yakin apakah Emi akan datang atau tidak.
Bagaimanapun, sebelum penyerangan Pasukan Raja Iblis, desa ini sama sekali tak memiliki karakteristik khusus apapun, desa ini hanyalah desa petani yang bisa ditemukan di manapun.
Emi, perlahan mendekati jalan, mendapati sebuah lahan datar yang terlihat usang.
Dulunya itu adalah lahan pertanian.
Emi berjalan melewati jalanan kecil yang mengelilingi lahan pertanian tersebut, dan mendekati sebuah bayangan reruntuhan di malam hari.
Akhirnya Emi berdiri di jalan utama yang cukup untuk dilewati sebuah kereta kuda.
“.... Aku pulang.”
Tak satupun suara serangga terdengar, dan tak satupun tikus sawah yang terlihat di tempat ini, seolah waktu di desa ini telah berhenti.
Hanya hembusan angin dingin yang menjawab suara gemetar Emi.
Desa Sloan, dengan tubuhnya sendiri sebagai batu nisan, diam-diam telah membusuk.
“Mama, apa tak masalah masuk ke dalam?”
Tanpa mendapat izin siapapun, Emi berjalan memasuki sebuah rumah yang memiliki kondisi paling baik di dekat jalan dan memasang tenda yang dia bawa.
Ini adalah untuk mengindari agar orang tidak melihat sinar yang dikeluarkan Alas Ramus ketika dia termaterialiasi sekaligus asap ketika dia memasak.
“Tak usah khawatir. Karena.... ini kan rumah milik orang yang mama kenal.”
Emi memperlihatkan sebuah senyum kesepian, dan membuat persiapan makan malam dengan cepat.
Makan malam hari ini adalah pasta sup kentang yang dimasak hingga kering kemarin malam, dan ditemani nasi instan yang dia bawa dari Jepang, Gotou Rice yang terkenal.
Orang-orang normalnya menganggap masakan ini hanya bisa dimasak menggunakan microwave, namun ternyata masakan ini juga bisa dipanaskan dengan air dan dimakan.
Emi menuangkan air ke dalam panci serbaguna dan mendidihkannya menggunakan tungku api khusus kemah yang tidak menghasilkan banyak asap.
Usai menambah air panas untuk merubah pasta kentang menjadi sup, Emi menggunakan air panas yang tersisa untuk memanaskan beras.
Lalu dia mengeluarkan beberapa daging yang telah diawetkan, yang mana bisa bertahan lama, dan menyelesaikan persiapan makan malam.
“Sebagai makan malam ketika pulang ke rumah, ini lumayan juga.”
“Mama, kentang!”
Alas Ramus, disinari oleh cahaya dari lampu, sama sekali tak takut dengan kegelapan di sekelilingnya, dan malah ingin meminum sup kentang yang kelihatannya sangat dia sukai.
“Alas Ramus, apa yang harus lebih dulu kau lakukan?
“Uu... o,oh! Makan!”
“Ya, bagus sekali. Makanlah setelah meniupinya okay?”
Karena ini untuk Alas Ramus, Emi dengan teliti mengatur suhunya, dan seperti biasa, menyuapkan supnya pada Alas Ramus.
“Fu, fu.... ah-um.”
“Bagaimana?”
“Um, enak.”
Makan malam di kampung halaman Emi yang terlantar berlalu dengan damai.
Setelah Alas Ramus mengisi perutnya dengan kentang dan sup, Emi mulai memasak makan malam untuk dirinya sendiri.
Sebagai orang dewasa, Emi sama sekali tak pilih-pilih soal makanannya, jadi dia hanya memakan beberapa roti gandum dan daging yang telah diawetkan, ditambah sup Alas Ramus.
"Mama."
"Hm? Ada apa?"
"Teman mama, kenapa mereka tidak ada di sini?"
"..... Soal itu......."
Emi tahu, teman yang Alas Ramus bicarakan adalah
'seseorang yang dia kenal', yang sebelumnya dia sebutkan, Emi terbatuk sekali dan mengatakan,
"Di rumah ini, seorang kakek bernama Kfar dulu tinggal di sini...."
Dulu, sepasang suami istri berusia sekitar 10 tahun lebih tua dari ayah Emi, Nord, tinggal di sini, Emi bahkan ingat kalau mereka adalah pembicara yang hebat.
"Kalau yang di sana?"
Alas Ramus bahkan tidak menunggu Emi menyelesaikan perkataannya dan menunjuk ke sebuah rumah terlantar yang ada di seberang jendela.
"Ugh... itu rumah nenek Lilina. Dia itu wanita tua yang ahli merajut."
"Kenapa mereka tidak ada di sini lagi?"
"......."
Tujuan apa yang dimiliki Alas Ramus ketika menanyakan pertanyaan ini?
Apa itu hanya pertanyaan polos dari seorang anak kecil? Ataukah dia sedang mencari kebenaran, menunjukan kebijaksanaannya yang terkadang muncul?
"Karena sekelompok iblis yang menakutkan menyerang desa, jadi mereka kabur."
Setelah Emi mendapatkan perlindungan dari Gereja, desa Sloan pun menjadi pengorbanan untuk pasukan Lucifer tak lama setelahnya.
Mempertimbangkan jarak antara desa Sloan dengan titik paling barat di Benua Barat, Holy Saint Ignord, insiden itu mungkin terjadi satu bulan setelah Emi meninggalkan desa.
Namun, desa telah dihancurkan sebelum Emi sampai di Saint Ignord.
Dipengaruhi oleh kebencian, penyesalan, sifat kekanakan, dan terutama waktu, Emi sudah tidak bisa lagi mengingat memorinya pada waktu itu, dan sekarang, dia tidak bisa memastikan kapan tepatnya desa telah dihancurkan.
Tepat ketika Emi menelan memori kelamnya bersama dengan roti yang dia gigit, Alas Ramus mengajukan pertanyaan lain,
"Mama, iblis yang kau maksud, apa itu si Wajah Putih Palsu?"
"Eh?"
"Menakutkan, dan membuat semua orang menangis, apa itu si Wajah Putih Palsu?"
"Bu-bukan dia."
Kenapa nama Gabriel muncul di saat seperti ini?
Tidak, Emi sudah tahu, sebelum mereka berdua memiliki hubungan seperti sekarang ini, Alas Ramus memang memiliki kebencian yang aneh terhadap Malaikat Agung Gabriel, tapi meski begitu, pertanyaan ini masih sangat mendadak.
"Lalu, apa iblis itu, maksudnya malaikat?"
"Uh, erhm, maaf. Mama benar-benar tidak paham apa yang Alas Ramus katakan....."
Selain itu, meskipun sejak awal Alas Ramus tahu mengenai 'malaikat', tapi apa dia mengerti konsep mengenai 'iblis'?
Logikanya, dengan menjadi pedang suci Emi 'Evolving Holy Sword, One Wing', Alas Ramus seharusnya pernah melihat wujud iblis Maou dan Ashiya beberapa kali, tapi walau begitu, sikap Alas Ramus terhadap mereka berdua tetap tidak berubah.
"Apa iblis itu?"
"... Soal itu....."
Emi tak mampu menjawab.
Jika ini setengah tahun yang lalu, Emi pasti bisa berbicara mengenai monster-monser mengerikan ini dengan lancar.
Tapi yang melayang dari dasar ingatannya, adalah apa yang Gabriel katakan sebelumnya.
'Secara biologis, malaikat itu adalah manusia.'
Pertanyaan Susuno, mengguncang ingatan Emi.
'Iblis.... menurutmu, mereka itu apa?'
Raja para Iblis, Satan yang tinggal di Jepang dengan penampilan seperti manusia.
Secara biologis, apa sebenarnya dia itu?
Emi yang sekarang, tak punya jawabannya, jadi dia tidak bisa menjawab pertanyaan Alas Ramus.
"Mama?"
Ada alasan lain yang membuat Emi tak bisa menjawab.
Iblis menakutkan yang telah mengusir orang-orang dari desa, bukanlah siapa-siapa, melainkan Papa yang Alas Ramus kagumi.
Entah sebagai Pahlawan, atau sebagai manusia, saat ini Emi tidak bisa memberitahu Alas Ramus kalau Papanya adalah seseorang yang seharusnya dibenci.
Meski di suatu tempat di hatinya Emi tahu kalau ini tidak akan menguntungkan hidup Alas Ramus, dia tetap tak bisa mengeraskan hatinya di momen yang singkat ini, dan memberitahu putri tercintanya bahwa dia akan memutar bilah pedangnya melawan papa yang ia kagumi.
Ditambah lagi, dalam situasi di mana dia tahu bahwa ayahnya mungkin masih hidup, apakah hal itu memang perlu dilakukan atau tidak, menjadi tidak jelas bagi Emi.
Apapun yang terjadi, jika dia mengkhianati cinta putrinya demi menuntut balas dendam, bukankah Emi akan menjadi makhluk yang sama seperti 'iblis' yang dia benci?
".... Aku merasa sedikit jengkel."
Bahkan di sini, jika dia mengingat wajah idiot Maou yang sangat mengganggu itu, Emi pasti merasakan sesuatu yang berbeda dari rasa kebencian ataupun kemarahan, yaitu sebuah rasa frustasi yang bercampur dengan kecemasan.
"Kalau aku kehilangan kesabaran terhadap orang itu sedikit saja, dia pasti akan membuatku merasa sangat cemas seperti sekarang dan dengan tidak senonoh berbicara soal ambisinya sambil melewati hari-harinya dengan santai, itu menjengkelkan."
"Uu...."
"Dengar Alas Ramus, para iblis itu sangat licik, curang, dan melakukan apapun yang mereka inginkan."
"Licik, curang....?"
"Serius ini, hal bagus apa sih yang Chiho-chan lihat dari pria itu, aku benar-benar tidak mengerti."
"Uu~~ aku tidak mengerti."
Emi yang merasa jengkel terhadap hal-hal sepele ini, menunjukan senyum jahat di bawah cahaya lampu saat dia tiba-tiba memikirkan sesuatu.
"Benar, Alas Ramus, saat kita pulang... minta papa untuk mengajarimu!"
"Papa?"
"Yeah, kau bisa bertanya pada papa 'Apa iblis itu?' Karena papa tahu segalanya, dia pasti akan mengajarimu."
"Aku mengerti."
Sungguh kejam.
Tapi dari sudut pandang Emi, dia memang tidak bisa menerima fakta bahwa dialah satu-satunya orang yang merasa gelisah dengan hubungan antara Alas Ramus dan Maou.
Jika dia tidak membuat Maou ikut memikirkan soal masa depan, maka itu akan jadi tidak adil.
"Saat aku kembali, aku harus memberinya pelajaran."
Ketika memikirkan Maou yang panik karena pertanyaan Alas Ramus, Emi tanpa sadar menyunggingkan sebuah senyum.
"Kapan aku bisa bertemu dengan papa?"
"Sebentar lagi. Kita akan mengadakan pesta untuk Chi nee-san nanti, di saat itu, papa pasti akan datang."
Emi membicarakan janjinya setelah pulang ke Jepang dengan natural tanpa menyembunyikan apapun.
"Meski ini sedikit terlalu awal, tapi ayo tidur setelah membereskan semuanya. Kita masih harus bangun pagi besok."
Emi menyimpan semua barangnya selain tenda, kantong tidur, dan lampu ke dalam tas, membawa Alas Ramus, memasuki tenda, dan membuka kantong tidurnya.
"Halus dan lembut!!"
Alas Ramus masuk ke dalam kantong tidurnya untuk bermain.
"Hey, sudah, berhenti mainnya!"
Akhirnya, Emi juga masuk ke dalam kantong tidur, dan setelah bermain sebentar, dia kemudian mengeluarkan Alas Ramus.
Meskipun dia menunjukan ekspresi tidak senang, setelah Emi mematikan lampu, Alas Ramus dengan patuh berbaring di lengan ibunya untuk bersiap-siap tidur.
"Mama, bacakan cerita!!"
"Cerita ya. Kalau begitu....."
Ini memang bukan pertama kalinya Alas Ramus meminta Emi untuk menceritakan sebuah kisah sebelum tidur, tapi hal ini jarang terjadi.
Beberapa dongeng dan legenda dari bumi terlintas di pikirannya, namun, Emi menggelengkan kepalanya pelan, dan setelah menyalakan lampu dengan setting paling kecil, dia mengatakan,
"Kalau begitu... akan kuceritakan sebuah legenda kuno dari Ente Isla. Ini adalah cerita tentang seorang putri yang ditangkap oleh iblis menakutkan, dan seorang raja muda pergi untuk menyelamatkannya....."
Emi menempatkan tangannya di perut Alas Ramus yang berada di dalam kantong tidur, dan menggerakannya ke atas dan ke bawah dengan gerakan berirama.
Di sudut sebuah desa terlantar yang mana bahkan cahaya bulan tak bisa meraihnya, senja milik 'ibu' dan 'anak' perlahan menjadi semakin larut.
Keesokan paginya, Emi membuka matanya sebelum langit mulai bercahaya terang.
Emi membatalkan wujud Alas Ramus yang masih tertidur dan bergabung dengannya, dia kemudian berjalan-jalan di desa tak terurus itu di bawah matahari yang cerah.
Meskipun tempat ini masih merupakan desa yang sangat sepi, yang bahkan keberadaan binatang kecil pun tak bisa dirasakan, karena Emi pernah mengambil jalan memutar saat perjalanannya dulu dan datang ke sini untuk mengusir binatang liar dan binatang iblis yang mendiami desa, di tempat ini pun hampir tak terlihat pelapukan.
Apa yang mengejutkan adalah, walau pemandangan di sini menjadi sangat berbeda setelah banyak bangunan runtuh, tapi tubuh Emi masih mengingat jalannya dengan jelas.
Rumah Justina berada di arah matahari terbit.
Sinar matahari bersinar dari balik pegunungan nan jauh, dan Emi, seperti ditarik oleh pemandangan itu, melintasi jalan utama dan mencapai lingkar luar desa.
Lalu, karena melihat sesuatu yang tak terduga, Emi mematung.
Pohon, yang beberapa bagiannya dapat dilihat dari sisi lain jalan, adalah tempat di mana Emi menghabiskan makan siang bersama ayahnya yang pergi ke ladang untuk bekerja.
Artinya, ladang gandum yang terlantar di sekitarnya ini adalah....
"Ladang gandum.... milik ayah...."
Saat itu juga, seolah merespon kata-kata Emi, sang fajar mengulurkan tangannya dari balik pegunungan untuk menyinari ladang.
Air mata tanpa sadar mengalir dari mata Emi.
Ladang ini penuh dengan tanaman hijau yang lebat.
Angin pagi pun menggerakkan pemandangan hijau yang menutupi hamparan tanah tersebut.
"Masih hidup.... masih hidup...."
Biji kehijauan mengisi hamparan tanah yang luas.
Mereka adalah gandum.
Dan lahan pertanian ini, jelas-jelas sudah ditelantarkan untuk waktu yang lama.
Pemandangan hijau di depan matanya bercampur dengan gulma tinggi yang tak terhitung jumlahnya, dan kepala gandum yang tertiup angin itu terlihat sangat kurus dan lemah.
Bahkan dengan sudut pandang Emi pun, dia bisa tahu kalau kepala gandum ini tak akan bertahan hingga musim gugur.
Tapi meski begitu, Emi tak bisa menahan keinginannya untuk berteriak ke arah langit pagi dengan matahari terbitnya.
"Mereka masih hidup! Gandum yang ayah tanam masih hidup!!"
Meski mereka telah diinjak-injak oleh para iblis dan kehilangan pengurusnya selama bertahun-tahun, tanaman gandum ini dengan kokoh masih terus bertahan melewati diagenesis.
(T/N : Diagenesis, perubahan fisik dan kimia yang terjadi saat perubahan batu sedimen)
"Apa kau benar masih hidup di suatu tempat sana? Bisakah kita, tinggal bersama lagi....."
Bukti bahwa ayahnya masih hidup ada di hadapannya. Hal yang dia anggap telah hilang setelah mengalami teror dan keputusasaan tepat berada di hadapannya sekarang.
Emi tidak ingin mengalami keputusasaan itu lagi. Apapun yang terjadi, dia akan mempertaruhkan hidupnya untuk melindungi pemandangan ini.
".... Ummm.. Mama? Ada ap, pwah!!"
Teriakan Emi bahkan sampai mengguncang keadaan mentalnya.
Emi langsung mematerialisasi Alas Ramus yang ketakutan karena teriakan yang mengguncang keadaan mentalnya, dan tanpa menghapus air matanya, dia memeluk gadis kecil itu dengan erat.
"Alas Ramus, aku masih bisa berusaha... Aku harus berusaha keras!!"
"Mama.... fwah...."
Emi dengan erat memeluk Alas Ramus yang tiba-tiba terbangun dan nampak masih ingin tidur, dia kemudian buru-buru berlari menuju jalan yang dia ambil untuk sampai ke tempat ini.
Itu karena dia ingin cepat-cepat mengemasi barangnya di rumah Kfar, dan menuju rumah yang dia tinggali bersama ayahnya.
Dan dengan tempat itu sebagai titik awalnya, dia akan menyelesaikan tujuannya kembali ke Ente Isla.
Rumah tempat dia tinggal bersama ayahnya pasti menyembunyikan sesuatu.
Sesuatu yang bisa merubah situasi di Ente Isla saat ini.
Sesuatu yang cukup untuk mengungkap kebenaran di balik misteri Ente Isla dan bumi.
Usai menemukan keajaiban tak terduga ini, Emi pun memendam perasaan yakin tersebut.
"Huuuuh.... Tidak ada apa-apa sama sekali...."
Emi yang konsentrasinya hancur, duduk dengan lesu di tempat yang dulunya adalah dapur.
Saat ini adalah siang di hari ketiga Emi mencari di rumah lamanya.
Hari pertama ketika ia mengetahui bahwa ladang gandum milik ayahnya masih bertahan, Emi merasa sangat tersentuh bahkan sampai menangis, dia melihat hal tersebut sebagai pertanda bagus, dan yakin bahwa dia pasti akan menemukan petunjuk yang bisa menyelesaikan situasi yang saat ini dunia hadapi. Namun, mulai dari saat ia dipenuhi motivasi dan berpindah ke rumah lama yang sangat dia rindukan sebagai titik awalnya, kini tiga hari telah terlewati.
Sampai hari ini, tak ada hasil sama sekali.
Rumah Justina hanyalah rumah petani biasa. Mereka tidak memiliki mansion mewah ataupun tanah yang luas.
Memang ada beberapa tanda kerusakan seperti rumah lain, tapi rumah ini masih bertahan dengan kondisi yang mirip seperti di ingatan Emi.
Dapur tempat dia memasak untuk ayahnya.
Ruang makan tempat dia makan bersama ayahnya.
Ruang keluarga tempat mereka mengawasi api kompor bersama dan tertidur.
Ketika dia melihat ranjang yang ia gunakan saat kecil dulu, Emi bisa merasakan air mata di matanya karena perasaan nostalgia.
Selain menjadi rumah Emi dan ayahnya, Nord, tempat ini juga merupakan rumah ibu Emi yang menyembunyikan pergerakannya dan terlibat dengan manusia Ente Isla dan bumi.... rumah Lailah.
Emi memang tidak tahu banyak hal saat masih ia kecil, benda-benda yang tidak boleh dia sentuh, dan tempat-tempat yang tidak boleh dia masuki, mungkin menyembunyikan beberapa petunjuk.
Tapi setelah sang Pahlawan yang menyelamatkan dunia mencari ke seluruh rumahnya, hal yang ia ketahui adalah fakta bahwa ayahnya memang petani yang sederhana dan bersemangat.
Sejak awal, rumahnya memang tidak memiliki banyak lemari, ataupun rak buku, ataupun furnitur yang bisa menyimpan banyak barang.
Tempat ini bisa saja sudah dijarah oleh bandit setelah menjadi desa terlantar, tanpa mempertimbangkan barang-barang berharga berukuran kecil, tak mungkin ada bandit yang akan sengaja mencuri furnitur besar seperti lemari.
Berpikir jikalau benda-benda itu disembunyikan di tempat seperti loteng atau basemen, Emi pun mulai mencari di tempat-tempat tersebut, tapi pada akhirnya, di loteng, dia hanya bisa menemukan furnitur musiman, ember kosong, dan kendi sekaligus barang-barang lain seperti paku dan sekrup.
Sementara untuk basemen, rumah Emi sejak awal tidak memiliki basemen.
“Di saat seperti ini, seharusnya ada basemen rahasia atau apa gitu....”
Tapi meski dia mengeluh, hal itu tak akan ada gunanya.
Setelah itu, Emi pun mencari di pondok alat pertanian, di belakang kompor, serta di belakang dan di dalam oven, tempat-tempat yang tidak boleh dia dekati sewaktu kecil, tapi selain membuat wajah dan kepalanya dipenuhi jelaga dan kotoran, dia sama sekali tidak menemukan apapun, dan pada akhirnya, saat sedang makan malam....
“Mama kotor sekali.”
Ucap Alas Ramus tanpa ampun, membuat Emi merasa sangat depresi.
“Nah, jika memang benda-benda penting itu disembunyikan di belakang kompor atau di dalam oven, maka orang itu tak mungkin bisa mengambilnya lagi, kan?”
Dengan begitu, satu-satunya cara yang tersisa adalah menyembunyikannya di dalam pohon atau di dalam hutan.
Selama hari kedua, Emi pun memutuskan mencari di buku dan dokumen yang tertinggal di rak buku.
Buku kertas di Ente Isla adalah produk mewah, jadi entah itu kertas kayu, kertas kulit domba, ataupun kertas pohon lontar, benda-benda yang bahkan tidak bisa disebut kertas yang dibuat secara kasar itu juga digunakan untuk menerbitkan dokumen penting, hal itu sama sekali tidak aneh.
Karena tidak ada banyak buku atau dokumen yang tertinggal, Emi mengira kalau dia tidak akan menghabiskan banyak waktu untuk selesai membaca semuanya....
“Mem.... membosankan sekali....”
Meski dia sudah mulai mencari dari pagi, bahkan setelah matahari terbenam pun Emi belum juga selesai membaca semuanya.
Awalnya, Emi merasa sangat tersentuh sampai menangis ketika ia melihat tulisan tangan ayahnya, tapi ia tidak pernah menyangka kalau ayahnya yang disiplin itu akan menggunakan buku catatan mahal untuk meninggalkan sebuah jurnal mendetail.
Sebagian besar isinya berkaitan dengan pertumbuhan gandum dan masalah pekerjaan, tapi karena ayahnya meninggalkan tulisan yang cermat seperti ini, seperti dugaan Emi, beberapa petunjuk pasti tersembunyi di dalamnya, tapi meski begitu, Emi masih tidak bisa mencari mereka dengan santai.
Saat Emi menjadi semakin lelah membaca buku harian pertanian itu, dan hendak memeriksa dokumen kertas kayu dan kertas bulu domba, dia pun menyadari kebanyakan dari mereka adalah sertifikat pembayaran pajak selama 20 tahun, dan selain gandum, banyak sertifikat dan pengajuan ternak tercampur di dalamnya.
“.... Ah, segel pemeriksanya berubah.”
Perubahan mencolok pertama yang dia temukan setelah menghabiskan waktu dua jam adalah cap di atas kertas kayu yang telah berubah, Emi sementara berhenti membaca dan mulai menyiapkan makan malam.
“Hei, Alas Ramus.”
“Ada apa mama?”
Saat ini Alas Ramus sedang meminum sup kaleng instan yang larut ke dalam air panas dengan nikmat, dan Emi, dia bertanya dengan maksud coba-coba.
“Apa kau merasakan tanda fragmen Yesod di sekitar sini??”
“Tidak!”
Jawab gadis kecil itu tanpa ragu, membuat Emi menundukan kepalanya, merasa putus asa.
Meskipun ia hanya setengah serius, tapi rasanya seperti ia sekali lagi dipaksa untuk menghadapi kenyataan yang kejam.
Namun hal itu sudah bisa diperkirakan, jika benar-benar ada reaksi semacam itu di dekat sini, maka Alas Ramus akan menemukannya ketika ia memasuki desa.
Pada akhirnya, meski data yang tertinggal tidak banyak, Emi tetap tidak bisa selesai membaca semuanya dalam satu hari, sampai hari ini, di hari ketiga, dia terus membaca dan menata dokumen-dokumen itu secara berurutan.
“Hmmm... Di sini juga tidak ada hasil.”
Emi yang beralih dari dokumen perdagangan pertanian ke dokumen pemeriksaan wewenang lahan, duduk bersila di sebuah kursi tua.
“Ataukah.... mereka sudah diambil oleh Olba atau Gabriel yang memiliki pemikiran yang sama?”
Emi memindahkan dokumen batas lahan ke atas tumpukan dokumen yang sudah dia baca dan mengambil buku catatan lain.
“Buku harian normal tidak mungkin hanya ini, kan?”
Buku itu mungkin satu-satunya harapan Emi, itu adalah buku harian milik Nord.
Dibandingkan buku harian pertanian, kepadatan tulisan di buku ini sama sekali tidak bisa dianggap tinggi.
Dibandingkan buku harian pertanian yang mencatat tiap hari, buku harian ini paling banyak hanya mencatat seminggu sekali. Daripada menyebutnya buku harian, buku tersebut lebih seperti laporan mingguan.
Selain itu, meskipun kegiatan dan keseharian Emi saat ia masih kecil tercatat di dalamnya, nama ibunya, nama Lailah, nyatanya tak sekalipun disebutkan, dan tanggal di halaman terakhirnya juga sudah berhenti beberapa tahun sebelum Pasukan Raja Iblis menyerang.
“Berdasarkan waktunya, buku harian ini benar-benar tidak mencatat sesuatu yang penting.”
Meskipun itu milik seorang anggota keluarga, pemikiran setelah membaca buku harian orang lain tanpa izin pemiliknya tetap saja terasa tidak normal.
Ingatan ayahnya memang berharga, tapi mengingat waktu yang tertulis di dalam, informasi yang Emi butuhkan jelas-jelas tak ada di sini.
“Masih ada dua hari lagi sebelum Em menjemputku...”
Ruang pencariannya semakin menyempit, menyebabkan Emi menghela napas lemah.
“Sertifikat pengelolaan lahan, ini sertifikat batas lahan pertanian, ini pengajuan untuk penurunan pajak lahan kosong.....”
Emi yang terus menata dokumen, mengelompokan mereka setelah melewati papan kayu satu persatu.
“Sertifikat pembayaran deposit pengelolaan jalan, apa ini? Kartu ucapan tahun baru dari kepala desa ternyata tercampur di tempat seperti ini. Kertas kulit dombanya taruh sini, lalu.... setelah itu surat izin dan hak...”
Seperti seorang pekerja berpengalaman, Emi terus menata dokumen-dokumen tersebut dengan gerakan yang lihai.
“Hak untuk memotong pohon dari hutan secara teratur, izin untuk penggunaan kapak? Mereka bahkan punya benda seperti ini. Berikutnya....”
Emi melihat-lihat dokumen berikutnya sambil mengolah banyak surat izin dan hak yang tidak pernah dia dengar sebelumnya....
“Izin dari raja untuk membangun rumah, izin renovasi, izin pembangunan, ini semua adalah dokumen yang berkaitan dengan rumah. Izin untuk membangun pondok alat pertanian, ini izin untuk membuka lahan pertanian baru.... eh?”
Dan akhirnya berhenti ketika menemukan sebuah kertas kulit domba.
“Seingatku semua dokumen yang berkaitan dengan lahan ada di sini. Apa ini diletakkan di tempat yang salah?”
Mungkin ayahnya membuat kesalahan ketika menatanya?
Dilihat baik-baik, itu adalah dokumen yang dibuat di saat yang sama ketika rumah ini dibangun.
Mungkin karena pada waktu itu penataannya tidak dikerjakan dengan baik, hal ini jadi terlupakan seiring berjalannya waktu.
Ketika Emi memikirkan hal tersebut, dan hendak meletakkan izin untuk membuka lahan pertanian baru itu ke kategori yang berhubungan dengan lahan....
“.... Apa ini?”
Dia menarik napas dan menatap kalimat yang ada di kulit domba tersebut.
“Ini ada di mana?”
Izin untuk membuka lahan pertanian baru, tepat seperti namanya, adalah sebuah dokumen ketika seseorang ingin menggarap lahan pertanian baru, diterbitkan oleh kepala desa dan raja yang menguasai wilayah di mana si pemohon tinggal berdasarkan situasi pajak dan jumlah panennya.
Pembukaan lahan memang dilakukan oleh orang itu senddiri, sisi baiknya adalah orang itu bisa mendapatkan lahan dengan harga yang murah, tapi karena pajaknya berdasarkan luas lahan itu sendiri terlepas dari tingkat kesuburan tanahnya, hal itu juga akan menambah beban pajak.
Jadi jika itu bukan petani yang punya banyak uang, mereka tidak akan membuat pengajuan semacam ini.
Ditambah lagi....
“Kenapa tempat yang dipilih sejauh itu?”
Lahan yang tertera di sana berada di pegunungan sebelah timur desa, dan jaraknya sangat jauh dari lahan lain yang dikelola oleh keluarga Justina.
Setelah mencocokkan peta yang dia dapatkan dari Emerada, Emi pun tahu, bahkan dengan kecepatan berjalan orang dewasa, akan butuh waktu setengah hari dari desa menuju tempat tersebut.
“Hmmmmm?”
Emi buru-buru melihat dokumen yang sebelumnya dia baca.
Dan di tumpukan dokumen untuk hak menggunakan fasilitas irigasi, dia menemukan sebuah izin pembangunan pondok alat-alat pertanian lain, yang terlihat seperti disembunyikan di dalamnya.
Lokasi yang tercacat di atasnya, sama dengan izin pembukaan lahan baru tadi.
"Benar-benar ada tempat seperti itu... aku tak pernah mendengarnya sebelumnya."
Setidaknya dalam ingatan Emi, lahan pertanian milik keluarga Justina semuanya berlokasi kurang lebih 10 menit jauhnya berjalan dari rumah ini, bahkan dengan kecepatan anak kecil.
Selain gandum, ayahnya hanya punya pondok lain di rumah untuk memelihara ayam, dan diambil telurnya untuk dijual.
Lalu, ada apa dengan lahan pertanian yang sepenuhnya berada jauh di luar desa itu? Apa tujuan ayahnya membangun pondok itu?
Emi melompat dan dengan cepat membalik buku harian pertanian yang telah ia baca sebelumnya, lalu pada tanggal yang sama dengan dua dokumen misterius tersebut, dia menemukan catatan tentang operasi di dekat lahan pertanian itu.
Dia membaca kata-kata yang tertulisnya di atasnya dengan wajah penuh antusiasme.
"Tidak ada panen, tidak ada yang ditanam. Tapi...."
Di halaman selang tiga hari setelah penerbitan izin pembangunan pondok alat pertanian itu, sebuah kata yang dia lewatkan saat pertama kali membaca tertulis di sana.
"9... ini nomor 9..."
Awalnya, Emi pikir itu adalah sebuah kesalahan atau catatan sederhana, dan dia tidak memperhatikan arti nomor tersebut, tapi sekarang, pecahan informasi ini menekan Emi.
Sulit membayangkan kalau ini hanya sebuah kebetulan. Karena, Yesod Sephirah yang menjadi inti 'Evolving Holy Sword, One Wing' dan Alas Ramus, adalah Sephirah bernomor 9 di Pohon Kehidupan.
Emi tidak bisa menekan detak jantungnya yang gelisah, dan menekan dada menggunakan tangannya.
"Alas Ramus...."
"... Uh Uhm..."
Sepertinya Alas Ramus sedang tertidur di dalam tubuh Emi.
Tapi dia harus memastikan arti di balik potongan informasi ini dengan cepat.
Emi mendongak menatap langit merah karena matahari terbenam secara refleks.
Emerada akan datang menjemputnya dua hari lagi. Tapi tempat itu berlokasi setengah hari jauhnya berjalan menggunakan kecepatan orang dewasa. Jika ini adalah situasi di mana dia harus melakukan pencarian skala luas, dia mungkin tidak bisa melakukannya tepat waktu sebelum hari yang telah dia sepakati dengan Emerada jika ia berjalan ke sana.
Meski begitu, jika dia menunggu Emerada dan meninggalkanya di sini, itu mungkin akan menyebabkan masalah untuknya karena dia juga harus berkeliling dan mencari informasi di saat yang sama.
".... Sepertinya aku hanya bisa terbang ke sana."
Jika itu hanya terbang, jika dia tidak terbang terlalu cepat, dia mungkin tidak akan terdeteksi oleh musuhnya.
"Pada dasarnya tempat ini bukan Jepang, ada banyak orang di seluruh dunia yang bisa menggunakan sihir suci."
Mantra untuk menyalakan lampu akan digunakan di kota-kota besar saat malam, dan termasuk pembuatan alat sihir sekaligus produksi produk makanan yang telah diberkati seperti yang Suzuno bawa ke Kastil Iblis Sasazuka dulu, sihir suci memang digunakan di banyak area.
Terutama di benua Barat di mana budaya sihir lebih maju daripada benua lain, konsumsi sihir suci mereka setiap tahunnya 30% lebih banyak dibandingkan benua lain.
Mempertimbangkan waktu yang tersisa dan sudut pandang Emerada, daripada merasa bingung apakah sihir suci memang harus digunakan di sini, masalah yang disebabkan oleh lamanya waktu invesatigasi itu sebenarnya lebih besar.
"Dan... aku sudah berjanji dengan Chiho-chan."
Usai mengatakan hal tersebut, Emi menatap jam yang ada di tangan kirinya.
Sampai sekarang, dia memang sengaja menggunakan jam tangan Rilakkuma yang dia sukai.
Ini adalah untuk membandingkan matahari antara di bumi dan di Ente Isla.
Meski ada perbedaan waktu di antara keduanya, tapi lama waktu dalam satu hari antara di bumi dan Ente Isla itu hampir sama, hal ini hanya bisa digambarkan sebagai sebuah keajaiban.
Pada tanggal 12 September di bumi, semuanya berencana mengadakan pesta ulang tahun untuk Chiho dan Emi.
"Aku harus menepati janjiku."
Emi menyimpan kedua informasi tersebut, dan menyimpan peralatan berkemahnya ke dalam tas untuk bersiap meninggalkan rumah.
"Saat aku kembali, aku pasti akan mengambil jalan memutar."
Melewati teras dan menatap halaman yang telah mempertahankan wujudnya dari saat-saat damai itu, Emi menekan bibirnya bebarengan.
Karena Emi rencananya bertemu dengan Emerada di desa ini, dia akan meminta Emerada untuk membuka gate di langit atas rumahnya saat ia kembali.
Saat Emi memikirkan hal tersebut...
"Aku berangkat!"
Dia perlahan melayang di udara, dan hingga desa menjadi semakin jauh dari pandangannya, Emi pun terbang menuju langit timur, tempat tujuan barunya berada.
Berdasarkan peta, tempat yang ditujunya adalah pegunungan besar dengan banyak pohon.
Emi pikir tempat itu hanyalah sebuah lahan yang tidak bisa digarap, tapi saat musim tertentu, sepertinya itu digunakan untuk berburu.
Ada sebuah pemukiman di kaki gunung tersebut, nampaknya itu adalah tempat istirahat untuk mengolah buruan.
Karena perbaikan tidak sampai ke tempat ini, hal tersebut membuat tempat ini jadi tak berpenghuni, tapi di depan sebuah rumah, Emi menemukan peta yang menunjukan jalur pegunungan.
Emi datang ke tempat ini dengan banyak motivasi, beranggapan bahwa ini adalah sebuah lahan tersembunyi. Tapi berdasarkan riwayat pendakian gunung yang ditinggalkan, dia bisa tahu kalau sekelompok besar pemburu akan memasuki gunung selama musim-musim tertentu, membuatnya khawatir jika saja ayahnya berinvestasi dalam bisnis berburu saat jeda musim tanam.
Normalnya, beberapa pondok berburu akan tersebar di sekitar area berburu, asalkan seseorang menjadi manajer di sini, ayahnya pasti bisa mendapatkan sejumlah uang dari asosiasi pemburu.
"Jangan-jangan ayah memang bisa menjalankan bisnis...."
Karena ia sudah bisa memahami hal semacam ini saat ia dewasa, tak disangka melihat perhitungan ayahnya yang hati-hati dan teliti seperti ini, membuat Emi merasakan sebuah perasaan yang kompleks.
"Tapi karena ada izin membangun pondok alat pertanian dan pembukaan lahan baru, itu mungkin tidak ada hubungannya dengan berburu...."
Bisa menemukan informasi yang dapat disebut sebagai petunjuk setelah banyak kesulitan, Emi akan mendaki gunung menuju tempat itu untuk memastikannya.
Emi yang memasuki gunung setelah memikirkan hal tersebut, apa yang dia hadapi adalah jalan setapak yang disebut jalur pegunungan.
Dia memang tidak pernah mengharapkan ada jalur pegunungan rapi seperti yang ada di wisata pegunungan di Jepang, tapi dia juga tidak pernah menyangka akan memasuki hutan di mana seorang amatir tidak mungkin akan tahu apakah mereka sedang naik atau menuruni gunung bahkan saat matahari belum terbenam.
Sekarang memang masih cukup terang, tapi karena wilayah pegunungan ini ditutupi oleh pepohonan dari hutan purba, di dalamnya sangat gelap dan dipenuhi dengan makhluk hidup.
Mungkin karena tidak ada pemburu yang memasuki tempat ini setelah penyerangan Pasukan Raja Iblis, Emi kerap menemui tanaman yang tumbuh di jalan setapak menghalangi jalannya ataupun binatang besar yang tidak akan pernah dia lihat di Jepang muncul di hadapannya, menyebabkan kemajuan pendakian gunungnya melambat secara signifikan.
Meskipun binatang liar sama sekali bukan tandingan Emi, karena ia termasuk pengganggu di sini, Emi lebih memilih menghindari pertarungan dengan binatang tak bersalah sebisa mungkin.
"Mungkin pemandangannnya akan lebih baik kalau dari atas.... ah, sepertinya bukan ide yang bagus."
Emi mengusap keringatnya dan memandang ke atas, lalu menolak pemikiran tersebut.
Cabang dan daun dari pepohonan lebat itu tumbuh subur menutupi langit, dan sangat gelap meski ini masih siang.
Bahkan jika dia terbang ke udara, Emi tidak berpikir bisa melihat keadaan di tanah yang ditutupi oleh pepohonan.
"Apakah aku, bisa menemukannya hari ini?"
Emi yang merasa gelisah, mulai membandingkan peta area luas yang ia dapatkan dari Emerada dengan peta yang mencatat jalur pegunungan.
Pertama, pegunungan ini terlalu besar.
Di tambah lagi, apa yang lebih merepotkan di sini adalah dokumen tersebut hanya menggunakan kata-kata untuk mencatat lokasi lahan itu, dengan peta yang ia miliki sekarang, Emi tidak mungkin bisa menandai lokasi itu dengan akurat.
Begitu matahari terbenam, Emi tidak akan bisa melanjutkan pencarian.
Karena mustahil untuk berkemah di tengah-tengah pegunungan yang dipenuhi binatang liar, Emi hanya bisa kembali ke titik berkumpul yang ada di kaki gunung.
"Setengah jalan pendakian gunung di lereng selatan.... sisi sebelah selatan itu sangat besar, dan jalurnya belum dibersihkan, siapa yang tahu di mana titik tengah pegunungan ini.... tapi kurasa aku sudah mendaki cukup tinggi."
Emi masuk dari sisi sebelah barat, tapi tak ada apapun di pegunungan ini yang akan membuatnya paham batas antara area timur, barat, selatan, dan utara.
Dan kemudian.....
Tanya kapten karavan pedagang dengan semangat bisnis yang jelas terlihat, terdapat kecemasan dalam nada suaranya.
“Seperti yang bisa kau lihat, Warloski itu tidak punya satupun penginapan untuk disewa petualang, dan desa terdekat, mulai dari Mility, Goff sampai Sloan, mereka masihlah desa terlantar tanpa adanya tanda-tanda perbaikan. Meski kau ingin pergi berziarah, di sana tak ada satupun penduduk yang akan mendengar do'amu, kau tahu?”
Di sebelah jalan yang menuju desa Warloski, Emi turun dari kereta pedagang.
“Tak masalah, terima kasih atas bantuannya selama ini.”
Karena dia bepergian dengan kereta pedagang, Emi bisa menghemat lebih dari satu hari waktu perjalanan.
Menggunakan kecepatan berjalan orang dewasa, dari Warloski menuju Sloan akan butuh waktu setengah hari.
“Dalam beberapa hal, ziarah itu hanya alasan, aku kehilangan seseorang yang penting saat Pasukan Raja Iblis menyerang, jadi selain ziarah, ini juga perjalanan untuk mencari jejak orang itu.”
“.... Aku benar-benar bodoh. Seorang gadis yang berpetualang sendirian ternyata punya alasan seperti itu.”
Si kapten, berada di tempat kusir kereta kuda, melepas topi lebarnya dan menekankannya ke arah dada.
“Aku akan berdoa pada dewa perdagangan agar kau bisa menemukan ingatan dari orang yang penting itu. Tak usah merasa tidak enak, karena kau sudah memberiku banyak uang, anggap saja ini sebagai bagian dari layanan.”
“Kalau begitu izinkan aku berterima kasih atas niat baik anda.”
Emi tersenyum ke arah kapten yang suka melebih-lebihkan tersebut.
“Sampai jumpa, kuharap kita bisa bertemu lagi.”
Si kapten kembali memakai topinya, dan menarik tali kekang kuda agar karavan bisa melanjutkan perjalanannya.
Para pria yang menjadi bagian dari rombongan enam kereta kuda itu melambaikan tangannya ke arah Emi dan menghilang di ujung jalan.
Setelah tidak lagi melihat jejak mereka, Emi menekan dadanya dengan tangan, dan berkata,
“Merasa begitu terguncang, aku benar-benar telah melemah.”
Doa tulus kapten tersebut memberikan kehangatan di hati Emi.
“.... Karena di sini terlalu damai, aku sampai lupa kalau ini adalah Ente Isla.”
Seolah agar tidak melupakan kehangatan tersebut, Emi menghirup napas dalam.
Itu bukan ilusi, dia benar-benar merasa dipenuhi kekuatan.
“Kehangatan hati akan menjadi kekuatan. Sekarang, aku tidak akan kalah dari siapapun.”
Emi memunggungi jalanan menuju desa Warloski dengan semangat tinggi seraya merasakan sihir suci menyelimuti tubuhnya, dan berjalan menuju arah desa Sloan.
Dalam perjalanan sebelumnya, dia hanya bisa bergantung pada cahaya bulan dan bintang ketika berjalan di malam hari.
Namun, saat ini Emi memakai sebuah senter di kepalanya, dan dengan sebuah alat canggih dari peradaban ilmiah bumi di tangan kanannya, yaitu sebuah lampu LED, kedua benda itu memancarkan sinar yang begitu terang untuk menerangi jalanan saat malam.
Ketika Emi berada di desa Sloan, sumber cahayanya adalah kedua benda ini.
Baterai yang terpasang pada lampu LED tersebut adalah alat canggih yang menggunakan energi matahari, sehingga tak perlu khawatir kehabisan energi listrik, dan meski Emi berlebihan menggunakannya sehingga tak ada listrik di malam hari, baterai itu bisa diisi ulang secara manual.
Asalkan kabel dan colokan yang tersedia terhubung, bahkan HP Emi pun bisa diisi ulang. Fitur langkanya adalah lampu bagian depan yang menghadap LED, dapat digunakan di saat yang sama dengan bohlam yang terpasang di sisi bodi utama, yang mana berfungsi sebagai lampu berdiri. Untuk menghemat energi, fakta bahwa ada dua tingkat kecerahan adalah poin plus dalam produk ini.
Ketika berada di hutan lebat, Emi bahkan menggunakan fitur alarm yang terpasang pada alat itu, dan tanpa harus bertarung, dia mengusir binatang liar yang bersembunyi dalam kegelapan hutan seperti serigala, beruang, dan lain sebagainya.
“Ditambah lagi, jika sebuah pemantik api atau pisau diletakkan di belakangnya dan dijual, benda ini pasti akan membuat perubahan dramatis dalam hal berpetualang di Ente Isla.”
Mengucapkan kalimat yang mirip seperti yang ada di saluran belanja televisi, Emi menemukan sebuah reruntuhan kecil di ujung hutan yang mana akan dia lewatkan jika dia tidak teliti.
Emi mematikan lampunya setelah memastikan tujuannya.
Mempertimbangkan adanya perampok atau orang sejenis itu mendiami tempat ini, akan lebih baik kalau Emi tidak menunjukan pergerakannya.
Dan reruntuhan ini berbeda dengan tempat-tempat lain.
Seperti apa yang Emerada khawatirkan, mungkin dia diawasi oleh banyak orang berbahaya.
Emi dengan cermat merasakan udara di sekitarnya dan perlahan melangkah maju, menghabiskan waktu dua kali lipat lebih lama dari yang biasanya ia gunakan.
Dia dengan cepat berada di jarak di mana dia bisa melihat bentuk luar bangunan itu di bawah sinar bulan, dia pun berhenti untuk mengamati keadaan.
“..... Tidak ada orang ya.”
Emi menghela napas dan berbicara.
Dia memang harus bergerak dengan hati-hati, kalau dipikir-pikir, Emi sudah meninggalkan Ente Isla selama lebih dari satu tahun.
Dan para malaikat, iblis, dan orang yang berkaitan dengan Gereja, telah memastikan kalau dia masih hidup setengah tahun lalu.
Dalam jangka waktu selama itu, tak peduli faksi mana, mereka tak akan punya waktu untuk menempatkan pasukan ketika mereka tidak yakin apakah Emi akan datang atau tidak.
Bagaimanapun, sebelum penyerangan Pasukan Raja Iblis, desa ini sama sekali tak memiliki karakteristik khusus apapun, desa ini hanyalah desa petani yang bisa ditemukan di manapun.
Emi, perlahan mendekati jalan, mendapati sebuah lahan datar yang terlihat usang.
Dulunya itu adalah lahan pertanian.
Emi berjalan melewati jalanan kecil yang mengelilingi lahan pertanian tersebut, dan mendekati sebuah bayangan reruntuhan di malam hari.
Akhirnya Emi berdiri di jalan utama yang cukup untuk dilewati sebuah kereta kuda.
“.... Aku pulang.”
Tak satupun suara serangga terdengar, dan tak satupun tikus sawah yang terlihat di tempat ini, seolah waktu di desa ini telah berhenti.
Hanya hembusan angin dingin yang menjawab suara gemetar Emi.
Desa Sloan, dengan tubuhnya sendiri sebagai batu nisan, diam-diam telah membusuk.
“Mama, apa tak masalah masuk ke dalam?”
Tanpa mendapat izin siapapun, Emi berjalan memasuki sebuah rumah yang memiliki kondisi paling baik di dekat jalan dan memasang tenda yang dia bawa.
Ini adalah untuk mengindari agar orang tidak melihat sinar yang dikeluarkan Alas Ramus ketika dia termaterialiasi sekaligus asap ketika dia memasak.
“Tak usah khawatir. Karena.... ini kan rumah milik orang yang mama kenal.”
Emi memperlihatkan sebuah senyum kesepian, dan membuat persiapan makan malam dengan cepat.
Makan malam hari ini adalah pasta sup kentang yang dimasak hingga kering kemarin malam, dan ditemani nasi instan yang dia bawa dari Jepang, Gotou Rice yang terkenal.
Orang-orang normalnya menganggap masakan ini hanya bisa dimasak menggunakan microwave, namun ternyata masakan ini juga bisa dipanaskan dengan air dan dimakan.
Emi menuangkan air ke dalam panci serbaguna dan mendidihkannya menggunakan tungku api khusus kemah yang tidak menghasilkan banyak asap.
Usai menambah air panas untuk merubah pasta kentang menjadi sup, Emi menggunakan air panas yang tersisa untuk memanaskan beras.
Lalu dia mengeluarkan beberapa daging yang telah diawetkan, yang mana bisa bertahan lama, dan menyelesaikan persiapan makan malam.
“Sebagai makan malam ketika pulang ke rumah, ini lumayan juga.”
“Mama, kentang!”
Alas Ramus, disinari oleh cahaya dari lampu, sama sekali tak takut dengan kegelapan di sekelilingnya, dan malah ingin meminum sup kentang yang kelihatannya sangat dia sukai.
“Alas Ramus, apa yang harus lebih dulu kau lakukan?
“Uu... o,oh! Makan!”
“Ya, bagus sekali. Makanlah setelah meniupinya okay?”
Karena ini untuk Alas Ramus, Emi dengan teliti mengatur suhunya, dan seperti biasa, menyuapkan supnya pada Alas Ramus.
“Fu, fu.... ah-um.”
“Bagaimana?”
“Um, enak.”
Makan malam di kampung halaman Emi yang terlantar berlalu dengan damai.
Setelah Alas Ramus mengisi perutnya dengan kentang dan sup, Emi mulai memasak makan malam untuk dirinya sendiri.
Sebagai orang dewasa, Emi sama sekali tak pilih-pilih soal makanannya, jadi dia hanya memakan beberapa roti gandum dan daging yang telah diawetkan, ditambah sup Alas Ramus.
"Mama."
"Hm? Ada apa?"
"Teman mama, kenapa mereka tidak ada di sini?"
"..... Soal itu......."
Emi tahu, teman yang Alas Ramus bicarakan adalah
'seseorang yang dia kenal', yang sebelumnya dia sebutkan, Emi terbatuk sekali dan mengatakan,
"Di rumah ini, seorang kakek bernama Kfar dulu tinggal di sini...."
Dulu, sepasang suami istri berusia sekitar 10 tahun lebih tua dari ayah Emi, Nord, tinggal di sini, Emi bahkan ingat kalau mereka adalah pembicara yang hebat.
"Kalau yang di sana?"
Alas Ramus bahkan tidak menunggu Emi menyelesaikan perkataannya dan menunjuk ke sebuah rumah terlantar yang ada di seberang jendela.
"Ugh... itu rumah nenek Lilina. Dia itu wanita tua yang ahli merajut."
"Kenapa mereka tidak ada di sini lagi?"
"......."
Tujuan apa yang dimiliki Alas Ramus ketika menanyakan pertanyaan ini?
Apa itu hanya pertanyaan polos dari seorang anak kecil? Ataukah dia sedang mencari kebenaran, menunjukan kebijaksanaannya yang terkadang muncul?
"Karena sekelompok iblis yang menakutkan menyerang desa, jadi mereka kabur."
Setelah Emi mendapatkan perlindungan dari Gereja, desa Sloan pun menjadi pengorbanan untuk pasukan Lucifer tak lama setelahnya.
Mempertimbangkan jarak antara desa Sloan dengan titik paling barat di Benua Barat, Holy Saint Ignord, insiden itu mungkin terjadi satu bulan setelah Emi meninggalkan desa.
Namun, desa telah dihancurkan sebelum Emi sampai di Saint Ignord.
Dipengaruhi oleh kebencian, penyesalan, sifat kekanakan, dan terutama waktu, Emi sudah tidak bisa lagi mengingat memorinya pada waktu itu, dan sekarang, dia tidak bisa memastikan kapan tepatnya desa telah dihancurkan.
Tepat ketika Emi menelan memori kelamnya bersama dengan roti yang dia gigit, Alas Ramus mengajukan pertanyaan lain,
"Mama, iblis yang kau maksud, apa itu si Wajah Putih Palsu?"
"Eh?"
"Menakutkan, dan membuat semua orang menangis, apa itu si Wajah Putih Palsu?"
"Bu-bukan dia."
Kenapa nama Gabriel muncul di saat seperti ini?
Tidak, Emi sudah tahu, sebelum mereka berdua memiliki hubungan seperti sekarang ini, Alas Ramus memang memiliki kebencian yang aneh terhadap Malaikat Agung Gabriel, tapi meski begitu, pertanyaan ini masih sangat mendadak.
"Lalu, apa iblis itu, maksudnya malaikat?"
"Uh, erhm, maaf. Mama benar-benar tidak paham apa yang Alas Ramus katakan....."
Selain itu, meskipun sejak awal Alas Ramus tahu mengenai 'malaikat', tapi apa dia mengerti konsep mengenai 'iblis'?
Logikanya, dengan menjadi pedang suci Emi 'Evolving Holy Sword, One Wing', Alas Ramus seharusnya pernah melihat wujud iblis Maou dan Ashiya beberapa kali, tapi walau begitu, sikap Alas Ramus terhadap mereka berdua tetap tidak berubah.
"Apa iblis itu?"
"... Soal itu....."
Emi tak mampu menjawab.
Jika ini setengah tahun yang lalu, Emi pasti bisa berbicara mengenai monster-monser mengerikan ini dengan lancar.
Tapi yang melayang dari dasar ingatannya, adalah apa yang Gabriel katakan sebelumnya.
'Secara biologis, malaikat itu adalah manusia.'
Pertanyaan Susuno, mengguncang ingatan Emi.
'Iblis.... menurutmu, mereka itu apa?'
Raja para Iblis, Satan yang tinggal di Jepang dengan penampilan seperti manusia.
Secara biologis, apa sebenarnya dia itu?
Emi yang sekarang, tak punya jawabannya, jadi dia tidak bisa menjawab pertanyaan Alas Ramus.
"Mama?"
Ada alasan lain yang membuat Emi tak bisa menjawab.
Iblis menakutkan yang telah mengusir orang-orang dari desa, bukanlah siapa-siapa, melainkan Papa yang Alas Ramus kagumi.
Entah sebagai Pahlawan, atau sebagai manusia, saat ini Emi tidak bisa memberitahu Alas Ramus kalau Papanya adalah seseorang yang seharusnya dibenci.
Meski di suatu tempat di hatinya Emi tahu kalau ini tidak akan menguntungkan hidup Alas Ramus, dia tetap tak bisa mengeraskan hatinya di momen yang singkat ini, dan memberitahu putri tercintanya bahwa dia akan memutar bilah pedangnya melawan papa yang ia kagumi.
Ditambah lagi, dalam situasi di mana dia tahu bahwa ayahnya mungkin masih hidup, apakah hal itu memang perlu dilakukan atau tidak, menjadi tidak jelas bagi Emi.
Apapun yang terjadi, jika dia mengkhianati cinta putrinya demi menuntut balas dendam, bukankah Emi akan menjadi makhluk yang sama seperti 'iblis' yang dia benci?
".... Aku merasa sedikit jengkel."
Bahkan di sini, jika dia mengingat wajah idiot Maou yang sangat mengganggu itu, Emi pasti merasakan sesuatu yang berbeda dari rasa kebencian ataupun kemarahan, yaitu sebuah rasa frustasi yang bercampur dengan kecemasan.
"Kalau aku kehilangan kesabaran terhadap orang itu sedikit saja, dia pasti akan membuatku merasa sangat cemas seperti sekarang dan dengan tidak senonoh berbicara soal ambisinya sambil melewati hari-harinya dengan santai, itu menjengkelkan."
"Uu...."
"Dengar Alas Ramus, para iblis itu sangat licik, curang, dan melakukan apapun yang mereka inginkan."
"Licik, curang....?"
"Serius ini, hal bagus apa sih yang Chiho-chan lihat dari pria itu, aku benar-benar tidak mengerti."
"Uu~~ aku tidak mengerti."
Emi yang merasa jengkel terhadap hal-hal sepele ini, menunjukan senyum jahat di bawah cahaya lampu saat dia tiba-tiba memikirkan sesuatu.
"Benar, Alas Ramus, saat kita pulang... minta papa untuk mengajarimu!"
"Papa?"
"Yeah, kau bisa bertanya pada papa 'Apa iblis itu?' Karena papa tahu segalanya, dia pasti akan mengajarimu."
"Aku mengerti."
Sungguh kejam.
Tapi dari sudut pandang Emi, dia memang tidak bisa menerima fakta bahwa dialah satu-satunya orang yang merasa gelisah dengan hubungan antara Alas Ramus dan Maou.
Jika dia tidak membuat Maou ikut memikirkan soal masa depan, maka itu akan jadi tidak adil.
"Saat aku kembali, aku harus memberinya pelajaran."
Ketika memikirkan Maou yang panik karena pertanyaan Alas Ramus, Emi tanpa sadar menyunggingkan sebuah senyum.
"Kapan aku bisa bertemu dengan papa?"
"Sebentar lagi. Kita akan mengadakan pesta untuk Chi nee-san nanti, di saat itu, papa pasti akan datang."
Emi membicarakan janjinya setelah pulang ke Jepang dengan natural tanpa menyembunyikan apapun.
"Meski ini sedikit terlalu awal, tapi ayo tidur setelah membereskan semuanya. Kita masih harus bangun pagi besok."
Emi menyimpan semua barangnya selain tenda, kantong tidur, dan lampu ke dalam tas, membawa Alas Ramus, memasuki tenda, dan membuka kantong tidurnya.
"Halus dan lembut!!"
Alas Ramus masuk ke dalam kantong tidurnya untuk bermain.
"Hey, sudah, berhenti mainnya!"
Akhirnya, Emi juga masuk ke dalam kantong tidur, dan setelah bermain sebentar, dia kemudian mengeluarkan Alas Ramus.
Meskipun dia menunjukan ekspresi tidak senang, setelah Emi mematikan lampu, Alas Ramus dengan patuh berbaring di lengan ibunya untuk bersiap-siap tidur.
"Mama, bacakan cerita!!"
"Cerita ya. Kalau begitu....."
Ini memang bukan pertama kalinya Alas Ramus meminta Emi untuk menceritakan sebuah kisah sebelum tidur, tapi hal ini jarang terjadi.
Beberapa dongeng dan legenda dari bumi terlintas di pikirannya, namun, Emi menggelengkan kepalanya pelan, dan setelah menyalakan lampu dengan setting paling kecil, dia mengatakan,
"Kalau begitu... akan kuceritakan sebuah legenda kuno dari Ente Isla. Ini adalah cerita tentang seorang putri yang ditangkap oleh iblis menakutkan, dan seorang raja muda pergi untuk menyelamatkannya....."
Emi menempatkan tangannya di perut Alas Ramus yang berada di dalam kantong tidur, dan menggerakannya ke atas dan ke bawah dengan gerakan berirama.
Di sudut sebuah desa terlantar yang mana bahkan cahaya bulan tak bisa meraihnya, senja milik 'ibu' dan 'anak' perlahan menjadi semakin larut.
Keesokan paginya, Emi membuka matanya sebelum langit mulai bercahaya terang.
Emi membatalkan wujud Alas Ramus yang masih tertidur dan bergabung dengannya, dia kemudian berjalan-jalan di desa tak terurus itu di bawah matahari yang cerah.
Meskipun tempat ini masih merupakan desa yang sangat sepi, yang bahkan keberadaan binatang kecil pun tak bisa dirasakan, karena Emi pernah mengambil jalan memutar saat perjalanannya dulu dan datang ke sini untuk mengusir binatang liar dan binatang iblis yang mendiami desa, di tempat ini pun hampir tak terlihat pelapukan.
Apa yang mengejutkan adalah, walau pemandangan di sini menjadi sangat berbeda setelah banyak bangunan runtuh, tapi tubuh Emi masih mengingat jalannya dengan jelas.
Rumah Justina berada di arah matahari terbit.
Sinar matahari bersinar dari balik pegunungan nan jauh, dan Emi, seperti ditarik oleh pemandangan itu, melintasi jalan utama dan mencapai lingkar luar desa.
Lalu, karena melihat sesuatu yang tak terduga, Emi mematung.
Pohon, yang beberapa bagiannya dapat dilihat dari sisi lain jalan, adalah tempat di mana Emi menghabiskan makan siang bersama ayahnya yang pergi ke ladang untuk bekerja.
Artinya, ladang gandum yang terlantar di sekitarnya ini adalah....
"Ladang gandum.... milik ayah...."
Saat itu juga, seolah merespon kata-kata Emi, sang fajar mengulurkan tangannya dari balik pegunungan untuk menyinari ladang.
Air mata tanpa sadar mengalir dari mata Emi.
Ladang ini penuh dengan tanaman hijau yang lebat.
Angin pagi pun menggerakkan pemandangan hijau yang menutupi hamparan tanah tersebut.
"Masih hidup.... masih hidup...."
Biji kehijauan mengisi hamparan tanah yang luas.
Mereka adalah gandum.
Dan lahan pertanian ini, jelas-jelas sudah ditelantarkan untuk waktu yang lama.
Pemandangan hijau di depan matanya bercampur dengan gulma tinggi yang tak terhitung jumlahnya, dan kepala gandum yang tertiup angin itu terlihat sangat kurus dan lemah.
Bahkan dengan sudut pandang Emi pun, dia bisa tahu kalau kepala gandum ini tak akan bertahan hingga musim gugur.
Tapi meski begitu, Emi tak bisa menahan keinginannya untuk berteriak ke arah langit pagi dengan matahari terbitnya.
"Mereka masih hidup! Gandum yang ayah tanam masih hidup!!"
Meski mereka telah diinjak-injak oleh para iblis dan kehilangan pengurusnya selama bertahun-tahun, tanaman gandum ini dengan kokoh masih terus bertahan melewati diagenesis.
(T/N : Diagenesis, perubahan fisik dan kimia yang terjadi saat perubahan batu sedimen)
"Apa kau benar masih hidup di suatu tempat sana? Bisakah kita, tinggal bersama lagi....."
Bukti bahwa ayahnya masih hidup ada di hadapannya. Hal yang dia anggap telah hilang setelah mengalami teror dan keputusasaan tepat berada di hadapannya sekarang.
Emi tidak ingin mengalami keputusasaan itu lagi. Apapun yang terjadi, dia akan mempertaruhkan hidupnya untuk melindungi pemandangan ini.
".... Ummm.. Mama? Ada ap, pwah!!"
Teriakan Emi bahkan sampai mengguncang keadaan mentalnya.
Emi langsung mematerialisasi Alas Ramus yang ketakutan karena teriakan yang mengguncang keadaan mentalnya, dan tanpa menghapus air matanya, dia memeluk gadis kecil itu dengan erat.
"Alas Ramus, aku masih bisa berusaha... Aku harus berusaha keras!!"
"Mama.... fwah...."
Emi dengan erat memeluk Alas Ramus yang tiba-tiba terbangun dan nampak masih ingin tidur, dia kemudian buru-buru berlari menuju jalan yang dia ambil untuk sampai ke tempat ini.
Itu karena dia ingin cepat-cepat mengemasi barangnya di rumah Kfar, dan menuju rumah yang dia tinggali bersama ayahnya.
Dan dengan tempat itu sebagai titik awalnya, dia akan menyelesaikan tujuannya kembali ke Ente Isla.
Rumah tempat dia tinggal bersama ayahnya pasti menyembunyikan sesuatu.
Sesuatu yang bisa merubah situasi di Ente Isla saat ini.
Sesuatu yang cukup untuk mengungkap kebenaran di balik misteri Ente Isla dan bumi.
Usai menemukan keajaiban tak terduga ini, Emi pun memendam perasaan yakin tersebut.
XxxxX
"Huuuuh.... Tidak ada apa-apa sama sekali...."
Emi yang konsentrasinya hancur, duduk dengan lesu di tempat yang dulunya adalah dapur.
Saat ini adalah siang di hari ketiga Emi mencari di rumah lamanya.
Hari pertama ketika ia mengetahui bahwa ladang gandum milik ayahnya masih bertahan, Emi merasa sangat tersentuh bahkan sampai menangis, dia melihat hal tersebut sebagai pertanda bagus, dan yakin bahwa dia pasti akan menemukan petunjuk yang bisa menyelesaikan situasi yang saat ini dunia hadapi. Namun, mulai dari saat ia dipenuhi motivasi dan berpindah ke rumah lama yang sangat dia rindukan sebagai titik awalnya, kini tiga hari telah terlewati.
Sampai hari ini, tak ada hasil sama sekali.
Rumah Justina hanyalah rumah petani biasa. Mereka tidak memiliki mansion mewah ataupun tanah yang luas.
Memang ada beberapa tanda kerusakan seperti rumah lain, tapi rumah ini masih bertahan dengan kondisi yang mirip seperti di ingatan Emi.
Dapur tempat dia memasak untuk ayahnya.
Ruang makan tempat dia makan bersama ayahnya.
Ruang keluarga tempat mereka mengawasi api kompor bersama dan tertidur.
Ketika dia melihat ranjang yang ia gunakan saat kecil dulu, Emi bisa merasakan air mata di matanya karena perasaan nostalgia.
Selain menjadi rumah Emi dan ayahnya, Nord, tempat ini juga merupakan rumah ibu Emi yang menyembunyikan pergerakannya dan terlibat dengan manusia Ente Isla dan bumi.... rumah Lailah.
Emi memang tidak tahu banyak hal saat masih ia kecil, benda-benda yang tidak boleh dia sentuh, dan tempat-tempat yang tidak boleh dia masuki, mungkin menyembunyikan beberapa petunjuk.
Tapi setelah sang Pahlawan yang menyelamatkan dunia mencari ke seluruh rumahnya, hal yang ia ketahui adalah fakta bahwa ayahnya memang petani yang sederhana dan bersemangat.
Sejak awal, rumahnya memang tidak memiliki banyak lemari, ataupun rak buku, ataupun furnitur yang bisa menyimpan banyak barang.
Tempat ini bisa saja sudah dijarah oleh bandit setelah menjadi desa terlantar, tanpa mempertimbangkan barang-barang berharga berukuran kecil, tak mungkin ada bandit yang akan sengaja mencuri furnitur besar seperti lemari.
Berpikir jikalau benda-benda itu disembunyikan di tempat seperti loteng atau basemen, Emi pun mulai mencari di tempat-tempat tersebut, tapi pada akhirnya, di loteng, dia hanya bisa menemukan furnitur musiman, ember kosong, dan kendi sekaligus barang-barang lain seperti paku dan sekrup.
Sementara untuk basemen, rumah Emi sejak awal tidak memiliki basemen.
“Di saat seperti ini, seharusnya ada basemen rahasia atau apa gitu....”
Tapi meski dia mengeluh, hal itu tak akan ada gunanya.
Setelah itu, Emi pun mencari di pondok alat pertanian, di belakang kompor, serta di belakang dan di dalam oven, tempat-tempat yang tidak boleh dia dekati sewaktu kecil, tapi selain membuat wajah dan kepalanya dipenuhi jelaga dan kotoran, dia sama sekali tidak menemukan apapun, dan pada akhirnya, saat sedang makan malam....
“Mama kotor sekali.”
Ucap Alas Ramus tanpa ampun, membuat Emi merasa sangat depresi.
“Nah, jika memang benda-benda penting itu disembunyikan di belakang kompor atau di dalam oven, maka orang itu tak mungkin bisa mengambilnya lagi, kan?”
Dengan begitu, satu-satunya cara yang tersisa adalah menyembunyikannya di dalam pohon atau di dalam hutan.
Selama hari kedua, Emi pun memutuskan mencari di buku dan dokumen yang tertinggal di rak buku.
Buku kertas di Ente Isla adalah produk mewah, jadi entah itu kertas kayu, kertas kulit domba, ataupun kertas pohon lontar, benda-benda yang bahkan tidak bisa disebut kertas yang dibuat secara kasar itu juga digunakan untuk menerbitkan dokumen penting, hal itu sama sekali tidak aneh.
Karena tidak ada banyak buku atau dokumen yang tertinggal, Emi mengira kalau dia tidak akan menghabiskan banyak waktu untuk selesai membaca semuanya....
“Mem.... membosankan sekali....”
Meski dia sudah mulai mencari dari pagi, bahkan setelah matahari terbenam pun Emi belum juga selesai membaca semuanya.
Awalnya, Emi merasa sangat tersentuh sampai menangis ketika ia melihat tulisan tangan ayahnya, tapi ia tidak pernah menyangka kalau ayahnya yang disiplin itu akan menggunakan buku catatan mahal untuk meninggalkan sebuah jurnal mendetail.
Sebagian besar isinya berkaitan dengan pertumbuhan gandum dan masalah pekerjaan, tapi karena ayahnya meninggalkan tulisan yang cermat seperti ini, seperti dugaan Emi, beberapa petunjuk pasti tersembunyi di dalamnya, tapi meski begitu, Emi masih tidak bisa mencari mereka dengan santai.
Saat Emi menjadi semakin lelah membaca buku harian pertanian itu, dan hendak memeriksa dokumen kertas kayu dan kertas bulu domba, dia pun menyadari kebanyakan dari mereka adalah sertifikat pembayaran pajak selama 20 tahun, dan selain gandum, banyak sertifikat dan pengajuan ternak tercampur di dalamnya.
“.... Ah, segel pemeriksanya berubah.”
Perubahan mencolok pertama yang dia temukan setelah menghabiskan waktu dua jam adalah cap di atas kertas kayu yang telah berubah, Emi sementara berhenti membaca dan mulai menyiapkan makan malam.
“Hei, Alas Ramus.”
“Ada apa mama?”
Saat ini Alas Ramus sedang meminum sup kaleng instan yang larut ke dalam air panas dengan nikmat, dan Emi, dia bertanya dengan maksud coba-coba.
“Apa kau merasakan tanda fragmen Yesod di sekitar sini??”
“Tidak!”
Jawab gadis kecil itu tanpa ragu, membuat Emi menundukan kepalanya, merasa putus asa.
Meskipun ia hanya setengah serius, tapi rasanya seperti ia sekali lagi dipaksa untuk menghadapi kenyataan yang kejam.
Namun hal itu sudah bisa diperkirakan, jika benar-benar ada reaksi semacam itu di dekat sini, maka Alas Ramus akan menemukannya ketika ia memasuki desa.
Pada akhirnya, meski data yang tertinggal tidak banyak, Emi tetap tidak bisa selesai membaca semuanya dalam satu hari, sampai hari ini, di hari ketiga, dia terus membaca dan menata dokumen-dokumen itu secara berurutan.
“Hmmm... Di sini juga tidak ada hasil.”
Emi yang beralih dari dokumen perdagangan pertanian ke dokumen pemeriksaan wewenang lahan, duduk bersila di sebuah kursi tua.
“Ataukah.... mereka sudah diambil oleh Olba atau Gabriel yang memiliki pemikiran yang sama?”
Emi memindahkan dokumen batas lahan ke atas tumpukan dokumen yang sudah dia baca dan mengambil buku catatan lain.
“Buku harian normal tidak mungkin hanya ini, kan?”
Buku itu mungkin satu-satunya harapan Emi, itu adalah buku harian milik Nord.
Dibandingkan buku harian pertanian, kepadatan tulisan di buku ini sama sekali tidak bisa dianggap tinggi.
Dibandingkan buku harian pertanian yang mencatat tiap hari, buku harian ini paling banyak hanya mencatat seminggu sekali. Daripada menyebutnya buku harian, buku tersebut lebih seperti laporan mingguan.
Selain itu, meskipun kegiatan dan keseharian Emi saat ia masih kecil tercatat di dalamnya, nama ibunya, nama Lailah, nyatanya tak sekalipun disebutkan, dan tanggal di halaman terakhirnya juga sudah berhenti beberapa tahun sebelum Pasukan Raja Iblis menyerang.
“Berdasarkan waktunya, buku harian ini benar-benar tidak mencatat sesuatu yang penting.”
Meskipun itu milik seorang anggota keluarga, pemikiran setelah membaca buku harian orang lain tanpa izin pemiliknya tetap saja terasa tidak normal.
Ingatan ayahnya memang berharga, tapi mengingat waktu yang tertulis di dalam, informasi yang Emi butuhkan jelas-jelas tak ada di sini.
“Masih ada dua hari lagi sebelum Em menjemputku...”
Ruang pencariannya semakin menyempit, menyebabkan Emi menghela napas lemah.
“Sertifikat pengelolaan lahan, ini sertifikat batas lahan pertanian, ini pengajuan untuk penurunan pajak lahan kosong.....”
Emi yang terus menata dokumen, mengelompokan mereka setelah melewati papan kayu satu persatu.
“Sertifikat pembayaran deposit pengelolaan jalan, apa ini? Kartu ucapan tahun baru dari kepala desa ternyata tercampur di tempat seperti ini. Kertas kulit dombanya taruh sini, lalu.... setelah itu surat izin dan hak...”
Seperti seorang pekerja berpengalaman, Emi terus menata dokumen-dokumen tersebut dengan gerakan yang lihai.
“Hak untuk memotong pohon dari hutan secara teratur, izin untuk penggunaan kapak? Mereka bahkan punya benda seperti ini. Berikutnya....”
Emi melihat-lihat dokumen berikutnya sambil mengolah banyak surat izin dan hak yang tidak pernah dia dengar sebelumnya....
“Izin dari raja untuk membangun rumah, izin renovasi, izin pembangunan, ini semua adalah dokumen yang berkaitan dengan rumah. Izin untuk membangun pondok alat pertanian, ini izin untuk membuka lahan pertanian baru.... eh?”
Dan akhirnya berhenti ketika menemukan sebuah kertas kulit domba.
“Seingatku semua dokumen yang berkaitan dengan lahan ada di sini. Apa ini diletakkan di tempat yang salah?”
Mungkin ayahnya membuat kesalahan ketika menatanya?
Dilihat baik-baik, itu adalah dokumen yang dibuat di saat yang sama ketika rumah ini dibangun.
Mungkin karena pada waktu itu penataannya tidak dikerjakan dengan baik, hal ini jadi terlupakan seiring berjalannya waktu.
Ketika Emi memikirkan hal tersebut, dan hendak meletakkan izin untuk membuka lahan pertanian baru itu ke kategori yang berhubungan dengan lahan....
“.... Apa ini?”
Dia menarik napas dan menatap kalimat yang ada di kulit domba tersebut.
“Ini ada di mana?”
Izin untuk membuka lahan pertanian baru, tepat seperti namanya, adalah sebuah dokumen ketika seseorang ingin menggarap lahan pertanian baru, diterbitkan oleh kepala desa dan raja yang menguasai wilayah di mana si pemohon tinggal berdasarkan situasi pajak dan jumlah panennya.
Pembukaan lahan memang dilakukan oleh orang itu senddiri, sisi baiknya adalah orang itu bisa mendapatkan lahan dengan harga yang murah, tapi karena pajaknya berdasarkan luas lahan itu sendiri terlepas dari tingkat kesuburan tanahnya, hal itu juga akan menambah beban pajak.
Jadi jika itu bukan petani yang punya banyak uang, mereka tidak akan membuat pengajuan semacam ini.
Ditambah lagi....
“Kenapa tempat yang dipilih sejauh itu?”
Lahan yang tertera di sana berada di pegunungan sebelah timur desa, dan jaraknya sangat jauh dari lahan lain yang dikelola oleh keluarga Justina.
Setelah mencocokkan peta yang dia dapatkan dari Emerada, Emi pun tahu, bahkan dengan kecepatan berjalan orang dewasa, akan butuh waktu setengah hari dari desa menuju tempat tersebut.
“Hmmmmm?”
Emi buru-buru melihat dokumen yang sebelumnya dia baca.
Dan di tumpukan dokumen untuk hak menggunakan fasilitas irigasi, dia menemukan sebuah izin pembangunan pondok alat-alat pertanian lain, yang terlihat seperti disembunyikan di dalamnya.
Lokasi yang tercacat di atasnya, sama dengan izin pembukaan lahan baru tadi.
"Benar-benar ada tempat seperti itu... aku tak pernah mendengarnya sebelumnya."
Setidaknya dalam ingatan Emi, lahan pertanian milik keluarga Justina semuanya berlokasi kurang lebih 10 menit jauhnya berjalan dari rumah ini, bahkan dengan kecepatan anak kecil.
Selain gandum, ayahnya hanya punya pondok lain di rumah untuk memelihara ayam, dan diambil telurnya untuk dijual.
Lalu, ada apa dengan lahan pertanian yang sepenuhnya berada jauh di luar desa itu? Apa tujuan ayahnya membangun pondok itu?
Emi melompat dan dengan cepat membalik buku harian pertanian yang telah ia baca sebelumnya, lalu pada tanggal yang sama dengan dua dokumen misterius tersebut, dia menemukan catatan tentang operasi di dekat lahan pertanian itu.
Dia membaca kata-kata yang tertulisnya di atasnya dengan wajah penuh antusiasme.
"Tidak ada panen, tidak ada yang ditanam. Tapi...."
Di halaman selang tiga hari setelah penerbitan izin pembangunan pondok alat pertanian itu, sebuah kata yang dia lewatkan saat pertama kali membaca tertulis di sana.
"9... ini nomor 9..."
Awalnya, Emi pikir itu adalah sebuah kesalahan atau catatan sederhana, dan dia tidak memperhatikan arti nomor tersebut, tapi sekarang, pecahan informasi ini menekan Emi.
Sulit membayangkan kalau ini hanya sebuah kebetulan. Karena, Yesod Sephirah yang menjadi inti 'Evolving Holy Sword, One Wing' dan Alas Ramus, adalah Sephirah bernomor 9 di Pohon Kehidupan.
Emi tidak bisa menekan detak jantungnya yang gelisah, dan menekan dada menggunakan tangannya.
"Alas Ramus...."
"... Uh Uhm..."
Sepertinya Alas Ramus sedang tertidur di dalam tubuh Emi.
Tapi dia harus memastikan arti di balik potongan informasi ini dengan cepat.
Emi mendongak menatap langit merah karena matahari terbenam secara refleks.
Emerada akan datang menjemputnya dua hari lagi. Tapi tempat itu berlokasi setengah hari jauhnya berjalan menggunakan kecepatan orang dewasa. Jika ini adalah situasi di mana dia harus melakukan pencarian skala luas, dia mungkin tidak bisa melakukannya tepat waktu sebelum hari yang telah dia sepakati dengan Emerada jika ia berjalan ke sana.
Meski begitu, jika dia menunggu Emerada dan meninggalkanya di sini, itu mungkin akan menyebabkan masalah untuknya karena dia juga harus berkeliling dan mencari informasi di saat yang sama.
".... Sepertinya aku hanya bisa terbang ke sana."
Jika itu hanya terbang, jika dia tidak terbang terlalu cepat, dia mungkin tidak akan terdeteksi oleh musuhnya.
"Pada dasarnya tempat ini bukan Jepang, ada banyak orang di seluruh dunia yang bisa menggunakan sihir suci."
Mantra untuk menyalakan lampu akan digunakan di kota-kota besar saat malam, dan termasuk pembuatan alat sihir sekaligus produksi produk makanan yang telah diberkati seperti yang Suzuno bawa ke Kastil Iblis Sasazuka dulu, sihir suci memang digunakan di banyak area.
Terutama di benua Barat di mana budaya sihir lebih maju daripada benua lain, konsumsi sihir suci mereka setiap tahunnya 30% lebih banyak dibandingkan benua lain.
Mempertimbangkan waktu yang tersisa dan sudut pandang Emerada, daripada merasa bingung apakah sihir suci memang harus digunakan di sini, masalah yang disebabkan oleh lamanya waktu invesatigasi itu sebenarnya lebih besar.
"Dan... aku sudah berjanji dengan Chiho-chan."
Usai mengatakan hal tersebut, Emi menatap jam yang ada di tangan kirinya.
Sampai sekarang, dia memang sengaja menggunakan jam tangan Rilakkuma yang dia sukai.
Ini adalah untuk membandingkan matahari antara di bumi dan di Ente Isla.
Meski ada perbedaan waktu di antara keduanya, tapi lama waktu dalam satu hari antara di bumi dan Ente Isla itu hampir sama, hal ini hanya bisa digambarkan sebagai sebuah keajaiban.
Pada tanggal 12 September di bumi, semuanya berencana mengadakan pesta ulang tahun untuk Chiho dan Emi.
"Aku harus menepati janjiku."
Emi menyimpan kedua informasi tersebut, dan menyimpan peralatan berkemahnya ke dalam tas untuk bersiap meninggalkan rumah.
"Saat aku kembali, aku pasti akan mengambil jalan memutar."
Melewati teras dan menatap halaman yang telah mempertahankan wujudnya dari saat-saat damai itu, Emi menekan bibirnya bebarengan.
Karena Emi rencananya bertemu dengan Emerada di desa ini, dia akan meminta Emerada untuk membuka gate di langit atas rumahnya saat ia kembali.
Saat Emi memikirkan hal tersebut...
"Aku berangkat!"
Dia perlahan melayang di udara, dan hingga desa menjadi semakin jauh dari pandangannya, Emi pun terbang menuju langit timur, tempat tujuan barunya berada.
Berdasarkan peta, tempat yang ditujunya adalah pegunungan besar dengan banyak pohon.
Emi pikir tempat itu hanyalah sebuah lahan yang tidak bisa digarap, tapi saat musim tertentu, sepertinya itu digunakan untuk berburu.
Ada sebuah pemukiman di kaki gunung tersebut, nampaknya itu adalah tempat istirahat untuk mengolah buruan.
Karena perbaikan tidak sampai ke tempat ini, hal tersebut membuat tempat ini jadi tak berpenghuni, tapi di depan sebuah rumah, Emi menemukan peta yang menunjukan jalur pegunungan.
Emi datang ke tempat ini dengan banyak motivasi, beranggapan bahwa ini adalah sebuah lahan tersembunyi. Tapi berdasarkan riwayat pendakian gunung yang ditinggalkan, dia bisa tahu kalau sekelompok besar pemburu akan memasuki gunung selama musim-musim tertentu, membuatnya khawatir jika saja ayahnya berinvestasi dalam bisnis berburu saat jeda musim tanam.
Normalnya, beberapa pondok berburu akan tersebar di sekitar area berburu, asalkan seseorang menjadi manajer di sini, ayahnya pasti bisa mendapatkan sejumlah uang dari asosiasi pemburu.
"Jangan-jangan ayah memang bisa menjalankan bisnis...."
Karena ia sudah bisa memahami hal semacam ini saat ia dewasa, tak disangka melihat perhitungan ayahnya yang hati-hati dan teliti seperti ini, membuat Emi merasakan sebuah perasaan yang kompleks.
"Tapi karena ada izin membangun pondok alat pertanian dan pembukaan lahan baru, itu mungkin tidak ada hubungannya dengan berburu...."
Bisa menemukan informasi yang dapat disebut sebagai petunjuk setelah banyak kesulitan, Emi akan mendaki gunung menuju tempat itu untuk memastikannya.
Emi yang memasuki gunung setelah memikirkan hal tersebut, apa yang dia hadapi adalah jalan setapak yang disebut jalur pegunungan.
Dia memang tidak pernah mengharapkan ada jalur pegunungan rapi seperti yang ada di wisata pegunungan di Jepang, tapi dia juga tidak pernah menyangka akan memasuki hutan di mana seorang amatir tidak mungkin akan tahu apakah mereka sedang naik atau menuruni gunung bahkan saat matahari belum terbenam.
Sekarang memang masih cukup terang, tapi karena wilayah pegunungan ini ditutupi oleh pepohonan dari hutan purba, di dalamnya sangat gelap dan dipenuhi dengan makhluk hidup.
Mungkin karena tidak ada pemburu yang memasuki tempat ini setelah penyerangan Pasukan Raja Iblis, Emi kerap menemui tanaman yang tumbuh di jalan setapak menghalangi jalannya ataupun binatang besar yang tidak akan pernah dia lihat di Jepang muncul di hadapannya, menyebabkan kemajuan pendakian gunungnya melambat secara signifikan.
Meskipun binatang liar sama sekali bukan tandingan Emi, karena ia termasuk pengganggu di sini, Emi lebih memilih menghindari pertarungan dengan binatang tak bersalah sebisa mungkin.
"Mungkin pemandangannnya akan lebih baik kalau dari atas.... ah, sepertinya bukan ide yang bagus."
Emi mengusap keringatnya dan memandang ke atas, lalu menolak pemikiran tersebut.
Cabang dan daun dari pepohonan lebat itu tumbuh subur menutupi langit, dan sangat gelap meski ini masih siang.
Bahkan jika dia terbang ke udara, Emi tidak berpikir bisa melihat keadaan di tanah yang ditutupi oleh pepohonan.
"Apakah aku, bisa menemukannya hari ini?"
Emi yang merasa gelisah, mulai membandingkan peta area luas yang ia dapatkan dari Emerada dengan peta yang mencatat jalur pegunungan.
Pertama, pegunungan ini terlalu besar.
Di tambah lagi, apa yang lebih merepotkan di sini adalah dokumen tersebut hanya menggunakan kata-kata untuk mencatat lokasi lahan itu, dengan peta yang ia miliki sekarang, Emi tidak mungkin bisa menandai lokasi itu dengan akurat.
Begitu matahari terbenam, Emi tidak akan bisa melanjutkan pencarian.
Karena mustahil untuk berkemah di tengah-tengah pegunungan yang dipenuhi binatang liar, Emi hanya bisa kembali ke titik berkumpul yang ada di kaki gunung.
"Setengah jalan pendakian gunung di lereng selatan.... sisi sebelah selatan itu sangat besar, dan jalurnya belum dibersihkan, siapa yang tahu di mana titik tengah pegunungan ini.... tapi kurasa aku sudah mendaki cukup tinggi."
Emi masuk dari sisi sebelah barat, tapi tak ada apapun di pegunungan ini yang akan membuatnya paham batas antara area timur, barat, selatan, dan utara.
Dan kemudian.....
---End of Part 2---
Lanjut ke -> Hataraku Maou-Sama Volume 9 - Chapter 2 Part 3
Baca Semua Volume -> Index Hataraku Maou-Sama All Volume
Translator : Zhi End Translation...
0 Komentar