Baca Light Novel Hataraku Maou-Sama Volume 9 - Chapter 2 (Part 1) Bahasa Indonesia

[Translate] Hataraku Maou-Sama Volume 9 - Chapter 2 : Pahlawan, Bingung Dengan Kampung Halamannya -1


Baca Light Novel Hataraku Maou-Sama Volume 9 - Chapter 2 Bahasa Indonesia


Chapter 2 : Pahlawan, Bingung Dengan Kampung Halamannya.

"Apa yang kau rencanakan?"

Satu set barang dikirim ke kamar di mana Emi ditempatkan, dia memandang benda itu dan bertanya dengan suara tegas.

"Kau masih tidak tahu setelah melihat mereka?"

Pria itu menunjuk barang yang ada di meja dengan ekspresi santai di wajahnya.

"Menyuruhku mempersenjatai diri dengan lengkap, Olba, apa kau ingin bunuh diri?"

Salah satu Uskup Agung Gereja yang dulunya memerangi Raja Iblis Satan bersama dengan Emi, namun, sekarang dia adalah musuh Emi, Olba Meyers. Apa yang dia bawa adalah sebuah pedang bermata dua, dan sebuah set armor yang memberikan perlindungan ke seluruh tubuh.

Selain itu, desain armor tersebut bukanlah desain milik Afashan di mana Emi sekarang ditahan, melainkan milik Saint Aire di Benua Barat.

"Tentu saja, aku punya alasan melakukannya. Mulai besok, kami akan memintamu untuk pindah ke ibu kota, Azure Sky Canopy."

Emi mengernyit.

"Apa kau ingin aku bertemu dengan Unifying Azure Emperor? Aku dengar Afashan menyatakan perang terhadap dunia demi pedang suci, apa kau memintaku menyerahkan 'Evolving Holy Sword, One Wing' untuk menghentikan perang?"

Emi baru sekali bertemu dengan Unifying Azure Emperor di masa lalu.

Emi ingat kalau orang itu adalah seorang kaisar tua yang mana tidak akan aneh jika dia meninggal kapan saja.

Olba mengangkat dagunya dan menjawab pertanyaan Emi dengan sebuah seringai.

"Hm, bisa dibilang kalau kau hampir tepat sasaran."

"Haah?"

"Oh ya Emilia, kau masih ingat kalau jarak antara Fangan dan Azure Sky Canopy itu tidak dekat kan? Dan kita masih tidak bisa menggunakan 'gate', sihir khusus ini untuk pergi ke tempat itu dalam sekali perjalanan. Jika gadis kecil pedang suci itu perlu sesuatu, sebaiknya kau gunakan kesempatan hari ini untuk meminta pelayan menyiapkannya. Kita akan berangkat pagi-pagi sekali besok."

Setelah mengatakan hal tersebut, Olba membelakangi Emi tanpa pertahanan apapun dan meninggalkan kamar.

Emi membayangkan adegan di mana dia mengangkat pedang dan menusuk punggung itu, meski kenyataannya dia hanya diam menunggu Olba mengunci pintu kamar.

"Apa yang sebenarnya.... dia rencanakan?"

Setelah tenang, Emi berjalan menuju pedang dan armor yang Olba tinggalkan.

"Hanya pedang dan armor biasa ya."

Karena dia tidak tahu telah diapakan benda itu, Emi tidak berani menyentuhnya dengan sembrono.

Tapi meski dia mengamati detailnya dengan cermat, Emi tidak bisa menemukan keanehan apapun, armor dan pedang itu terlihat seperti barang yang diberikan kepada komandan pasukan di Saint Aire, yang mana dianggap sebagai barang yang sangat bagus bahkan di antara barang berkualitas tinggi.

Sebagai salah satu anggota kesatria, sebelum Emi mempelajari cara menggunakan 'Evolving Holy Sword, One Wing' dan Armor Pembasmi Kejahatan, ada saat di mana dia menggunakan armor yang memiliki desain serupa.

"Pedangnya sudah diasah. Dan ini tidak terlihat seperti replika. Sebenarnya apa tujuan orang itu?"

Mengingat alasan Emi dibawa ke sini, setelah mendapatkan senjata-senjata ini, tidak akan aneh jika Emi membuat keributan di pelabuhan militer Fangan, mustahil Olba tidak tahu mengenai hal ini.

Emi membenci keadaan mentalnya yang lemah, karena itu membuatnya tidak mampu melakukan hal-hal seperti itu, Olba tidak hanya memberikan benda-benda itu kepada Emi, dia bahkan ingin Emi pergi ke Ibu kota kerajaan, Azure Sky Canopy lewat darat.

Ini membuat Emi teringat perjalanan ketika ia berkelana untuk memerangi Raja Iblis Satan.

Pada waktu itu, Emi, Olba, Emeralda, dan Alberto juga mendarat di pelabuhan militer Fangan, sebagai titik awal mereka di Afashan.

Pada waktu itu, Benua Timur masih berada di bawah kendali Ashiya alias Alsiel, Emi ingat betul waktu itu mereka bergerak dengan sangat hati-hati dan menghabiskan waktu seminggu untuk mencapai ibukota kerajaan, Azure Sky Canopy.

Kali pertama mereka mengunjungi Ibukota kerajaan, Azure Sky Canopy, karena mereka harus segera pergi ke sisi timur benua dari Azure Sky Canopy, mereka tidak bisa bertarung dengan Alsiel...

"Ini sangat membuang-buang waktu, kenapa dia ingin aku yang memakai perlengkapan penuh untuk pergi ke Azure Sky Canopy?"

Setelah menatap helm armor tersebut selama beberapa saat, Emi menghela napas dalam dan merosot ke tempat tidurnya.

"Andai aku tahu kalau semuanya akan jadi seperti ini, ketika aku pertama kali memulai perjalanan, aku seharusnya tidak meninggalkan negosiasi dan menyerahkan tugas yang membutuhkan kekuatan otak kepada Em dan Olba, aku seharusnya menggunakan otakku juga...."

Emi berbicara pada dirinya sendiri dengan jengkel, dan menyatakan kalau ia sudah menyerah.

Emi memang tidak kompeten jika menyangkut pemikiran dan informasi pertarungan, dalam hal kekuatan politik dan kemampuan negosiasi, Em dan Olba, yang merupakan spesialis dalam hal ini, berada satu tingkat di atasnya.

Dengan demikian, Emi dan Alberto berarti bertanggung jawab untuk tugas yang membutuhkan kekuatan bertarung.

Dan kerugian dari susunan ini, telah menunjukkan wujudnya di Jepang.

Saat ini, Emi sudah bisa merasakannya dengan jelas, dibandingkan dengan Maou, penafsirannya terhadap berbagai hal memang terlalu dangkal.

"Raja Iblis itu boss, dan Pahlawan itu kontraktor ya."

Sang Pahlawan teringat suatu memori.

Sebelum Suzuno menjadi rekan Emi, Ashiya menggunakan penjelasan tentang pegawai dari suatu perusahaan yang sedang bersaing untuk menjelaskan hubungan Maou dan Emi kepada Rika.

"Rasanya itu sudah lama sekali... waktu itu Alas Ramus juga belum ada."

Emi berbaring di ranjang, dan menatap ke arah langit-langit dengan linglung.

"Aku ingin kembali ke Jepang....."

"Mama...?"

Alas Ramus, dalam keadaan bergabung, memulai percakapan dengan ibunya seolah merasa khawatir.

Emi sedikit tersenyum....

"Jangan khawatir, mama sudah tidak apa-apa."

Dan mengatakan hal tersebut untuk menenangkan putri kecilnya.

"Benarkah?"

"Yeah, karena Alas Ramus ada bersamaku."

Jawab Emi dengan samar, dia kemudian bangkit dan menatap ke arah botol air yang diletakkan di sebelah pintu masuk kamar.

Karena alasan yang tak diketahui, di sana terdapat dua botol air.

Kumpulan partikel hitam terkumpul di dasar salah satu botol.

Beberapa hari ini, Emi memang sengaja membiarkan botol air yang berisi partikel hitam itu, dan mencoba mempertahankan kebencian di dalam hatinya yang semakin melemah.

"Tapi karena hal sepele inilah... aku tidak bisa bertarung. Mengabaikan tujuan Olba.... apa aku benar-benar bisa bertarung?"

Partikel hitam yang ada di dasar botol air tersebut, membangkitkan ingatan Emi ketika dia kembali ke Ente Isla.


XxxxX


Begitu melihat cahaya di sisi lain 'gate' yang berwarna pelangi tersebut, Emi merasa kekuatan yang menarik tangannya tiba-tiba menjadi lebih kuat.

Dia ditarik masuk. Tapi itu bukan oleh teman yang ada di depannya. Dunia di sisi lain gate lah yang menariknya.

Sesaat setelahnya, suara unik di dalam gate, yang bagaikan berbagai suara bising yang berputar-putar, menghilang, dan Emi bisa merasakan sebuah dengungan di telinganya.

Angin kuat bertiup ke seluruh tubuhnya, Emi bisa merasakan gaya tarik gravitasi terhadap tubuhnya.

"Ugh.... ehhhhh?"

Begitu matanya terbuka, Emi berteriak keras.

Karena posisinya terlalu tidak terduga.

Tubuhnya jatuh ke bawah, ditarik oleh gravitasi.

Satu detik, dua detik, lima detik, sepuluh detik, dua puluh detik.... tak peduli berapa lama waktu terlewati, Emi terus jatuh ke bawah karena tarikan gravitasi.

"Ke-kenapa kita ada di udara.... uhuk!!"

Emi yang berteriak sambil bernapas di udara yang tipis, sedikit tersedak.

Ditambah lagi, oksigennya begitu tipis. Emi yang tidak bisa tenang, melihat lautan awan di bawahnya.

"Aku tidak tahu di mana tempat yang tidak bisa dilihat siapapun~~"

Teman Emi, yang membimbing Emi di dalam gate, berbicara dengan santainya dari samping.

"Jadi kupikir, jika itu tempat yang tinggi seperti ini~ kita mungkin tidak akan ketahuan oleh siapapun~"

"Meski begitu, apa ini tidak terlalu terlalu tinggi?"

Sepertinya, pintu keluar gate ini terbuka di langit yang cukup jauh dengan daratan.

Emi yang jatuh tak terkendali, melihat langit berselimut bintang di atas lautan awan.

"Ah...."

Di antara banyak bintang, dia menyadari dua bulan yang bersinar terang, mengamati Emi dari atas.

Bulan merah dan bulan biru.

Dua bulan misterius yang tidak ada di langit bumi.

Seumur hidupnya, langit inilah yang paling akrab dengan Emi.

"Emilia~~ Kita akan segera memasuki lapisan awan~! Hati-hati dengan mata dan telingamu~"

Sensasi memburu sesaat itu membuat Emi hampir melupakan dirinya, tapi Emi langsung kembali tersadar karena peringatan temannya dan memandang lapisan awan di bawahnya.

"Fu!"

Setelah menyesuaikan posisinya di udara, Emi menutup matanya dan masuk ke dalam lapisan awan dengan kepala terlebih dahulu.

Suara bising angin dan awan terdengar di sebelah telinganya, tapi dibandingkan dengan saat ia melewati gate, hal ini hanya terjadi dalam sekejap.

Emi dengan cepat menembus lapisan awan, dan suara di sekitarnya, kembali berubah.

Setelah membuka matanya, apa yang dia lihat adalah.....

"... Ente Isla..."

Mengisi sudut mata Emi, adalah air mata yang terbentuk untuk membasahi matanya yang kering karena angin kencang.

Emi memikirkan hal itu dalam benaknya, tapi apa yang tidak bisa dihindari tetap tak bisa dihindari.

Semenjak Emi memulai perjalanannya sebagai Pahlawan, keadaan yang terus menyeretnya, daripada disebut tetap sama, itu malah berkembang menjadi masalah yang lebih rumit dan lebih kacau.

Tempat ini sekarang bukanlah tempat di mana Emi bisa hidup dengan aman.

Meski begitu, daratan yang terbentang luas di hadapannya....

"Aku..... pulang..."

.... masihlah rumah yang sangat dia rindukan, sampai dia pernah menangisinya dalam mimpi.

"Emilia~~"

Kehangatan milik temannya menggenggam tangan Emi yang tanpa sadar terbentang.

Teman Emi yang membimbingnya kembali ke rumah, teman baiknya yang tergantikan, Emerada kini tersenyum ke arah Emi.

"Selamat datang kembali~~"

"Yeah."

Emi mengusap air matanya yang sudah tidak bisa dia sembunyikan dengan tangannya yang bebas.

Baca Light Novel Hataraku Maou-Sama Volume 9 - Chapter 2 Bahasa Indonesia


"Ahaha~~ sepertinya kita harus menemukan tempat untuk mengurusi baju-baju kita~~"

Bahkan jika Emerada tersenyum kering, Emi dan bajunya tetap tidak akan bisa kering.

Mereka tidak hanya basah.

Mereka bahkan penuh dengan lumpur.

"... Hah, untungnya barang bawaan kita tidak apa-apa..."

"Ma-maafkan aku~! Aku tidak pernah menyangka~~ kalau akan ada rawa besar seperti ini saat kita mendarat~"

Emerada menundukan kepalanya dan meminta maaf berulang kali.

Sebuah reaksi energi yang begitu besar akan terproduksi, saat sebuah gate dibuka, alasan kenapa Emerada mengatur pintu keluar gate di tempat tinggi seperti itu adalah untuk meminimalisir kemungkinan terdeteksi oleh orang lain.

Meskipun tugas membuka tutup gate dilakukan oleh 'Pena Bulu Malaikat' yang ibu Emi --Lailah tinggalkan, dan bukan dengan mantra Emerada, fakta bahwa ini akan menciptakan reaksi sihir suci yang begitu besar, tetap tidak akan berubah.

Bahkan ketika mereka mulai terjun bebas setelah gate tertutup, sampai mendekati tanah, Emerada tetap tidak mengizinkan Emi untuk menggunakan mantra terbang.

Alasan kenapa mereka memilih datang di malam hari, adalah untuk meminimalisir kemungkinan orang lain melihat mereka jatuh dari ketinggian, cahaya yang terpancar saat menggunakan mantra terbang, mungkin juga bisa menyebabkan kecurigaan dari prajurit dan kesatria yang berada di kota terdekat.

Mempertimbangkan situasi politik di Ente Isla saat ini, mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun mengenai kembalinya Emi, Pahlawan Emilia, ataupun tindakan sembunyi-sembunyi orang penting dari Kekaisaran Saint Aire, Emerada.

Dari mulai terjun hingga hampir mendekati tanah, sampai akhirnya merapalkan mantra saat mereka hampir mendarat di permukaan tanah, semuanya masih dianggap berjalan lancar.

Karena terbang menghabiskan sihir suci dalam jumlah yang cukup besar, mereka pun berencana mendarat di daratan dengan cara meluncur, tapi masalahnya adalah, hutan tempat mereka mendarat, memiliki sebuah rawa, dan Emi sekaligus Emerada mendarat di tepi rawa tersebut.

Semuanya sudah terlambat ketika mereka menyadari rawa tersebut dan dengan panik mulai mencoba terbang, tekanan angin akibat meluncur, membuat lumpur menempel pada tubuh mereka berdua, dan pada akhirnya, Emi dan Emerada hanya bisa menghilangkan lumpur berbau tajam itu sambil berdiri di tengah hutan yang gelap.

".... Tapi ini juga cukup bagus. Kalau dipikir dengan cara yang berbeda, setelah kita memiliki bau dari hutan ini, mungkin para binatang buas tidak akan menyerang kita, dan tasku pun juga tak apa.... lihat, senter dari Jepang tidak akan rusak hanya karena hal ini."

Emi mengeluarkan senter dari dalam tas besarnya yang sudah ia siapkan untuk perjalanan dan mencoba menyalakannya,

"Maaf~~!!"

Emerada, dipenuhi lumpur, masih menundukan kepalanya dan meminta maaf di bawah sinar putih LED.

"Tidak apa-apa. Lupakan soal diriku, apa kau tak masalah seperti ini, Em? Itu jubah resmi kan?"

Emi, meletakkan senter di dahinya, bertanya kepada Emerada.

"Uu.... anggap saja aku tak sengaja jatuh ketika sedang memeriksa lahan pertanian~"

Meski alasan ini sedikit dipaksakan, tapi tak ada artinya membantah hal tersebut.

"Oiya, kira-kira di mana ini?"

"Hm~ biar kupikir dulu.... augh... lengket."

Emerada mengeluarkan peta dari dalam jubahnya dan mengerang setelah mendapati petanya dipenuhi dengan lumpur.

Itu adalah peta yang merinci semua kekuatan negara terkuat di Benua Barat sekaligus, menunjukan bagian timur asal negara Emi dan Emerada, Kekaisaran Suci Saint Aire.

“Kampung halaman Emilia, Sloan, ada di sini~~berarti kita seharusnya ada di hutan ini sekarang~~”

Setelah menunjuk ke sebuah area di peta, Emerada dengan cepat menggerakkan jarinya ke arah barat daya di atas kertas itu.

“Kalau kita berjalan mengikuti jalan ini, kita akan menemui beberapa kota dan desa besar~”

Usai menjelaskan sambil menggerakkan jarinya....

“Aku tidak yakin apakah ini termasuk beruntung atau tidak beruntung~~, tapi di antara kota-kota itu, tidak ada yang memiliki skala yang sama seperti saat sebelum perang~~”

Emerada sedikit menurunkan volume bicaranya.

Sebelum perang, mengacu pada saat sebelum penyerangan Pasukan Raja Iblis.

“Kalau begitu....”

“Benar~ kota terbesar yang ada di sekitar sini, kota Cassius~~ memang dibangun dengan kecepatan yang cukup cepat karena tempat itu memiliki seorang pendeta yang bekerja sama langsung dengan Gereja~~ tapi desa dan kota di sekitarnya~~ relatif masih sama~”

“Masih sama?”

Emi membelalakkan matanya kaget.

“Bagaimana mungkin? Seingatku desa ini memiliki guild kereta kuda dan peternakan kuda militer, jadi seharusnya kan cukup makmur?”

Emi menunjuk sebuah desa yang berdekatan dengan Sloan.

Emerada menggelengkan kepalanya.

“Kami menemukan sesuatu dalam salah satu penyelidikan kami~”

“Ya?”

“Meski sulit mengatakan hal ini pada Emilia~ setelah kota di sekitar sini diserang oleh Pasukan Invasi Barat yang dipimpin oleh Lucifer~~ mereka kehilangan banyak penduduk~~”

“Jangan khawatir, aku sudah menata perasaanku terkait masalah itu. Lalu?”

“Ya~ lalu~ saat Alberto dan aku bertemu dengan Emi, pendeta di kota Cassius terlihat berturut-turut membeli hak kepemilikan dan pengembangan lahan sekitar~~”

“Karena itu dibeli oleh pendeta, maka itu artinya Gereja yang mengatur pembangunannya kan? Selain itu, apakah itu mungkin? Pembangunan itu seharusnya adalah pekerjaan negara yang memiliki lahan tersebut... dalam hal ini, Saint Aire kan?”

Gereja, dengan markas yang berada di area paling barat di Benua Barat, memiliki pengaruh ke seluruh dunia dan tidak hanya terbatas di Benua Barat saja, di samping menjadi agama terbesar di Ente Isla, kekuatannya juga ditunjukan oleh ratusan juta pemeluknya.

Meski tidak aneh bagi seorang Penyelidik tingkat atas memiliki wewenang yang lebih besar dibandingkan keluarga raja dari sebuah negeri kecil, karena Saint Aire memiliki kekuatan nasional yang cukup untuk menentang Gereja secara langsung, seharusnya Gereja tidak bisa ikut campur ke dalam masalah ini secara sepihak.

Setidaknya, di negeri yang ada di Saint Aire, keadaan di mana Gereja mengabaikan wewenang negeri tersebut dan membeli desa sekitar demi pembangunan seperti kota Cassius, seharusnya tidak mungkin terjadi.....

“Cara mereka sangat cerdik~”

Menurut penjelasan Emerada, para pemilik lahan yang sekarat karena penyerangan pasukan Lucifer, selain sebagian besar desa, batas-batas lahan mereka juga menjadi tidak jelas.

Setelah Raja Iblis Satan dan Pasukan Raja Iblisnya terusir akibat pertarungan akhir yang terjadi di Benua Utama, untuk memulai pembangunan di area ini, Saint Aire memanggil para imigran baru dari dalam negeri.

Jadi di saat yang sama, mereka mengirim pedagang-pedagang yang bisa mengangkut semua bahan-bahan untuk pembangunan dan kesatria yang bertanggung jawab mengomandoi garis depan ke lokasi.

“Karena kota Cassius memiliki pendeta yang bekerja sama langsung dengan uskup Gereja~~ sejak awal pihak Gereja memang ambil bagian dalam urusan perbaikan melalui tawar-menawar~~ setelah itu, mereka memperoleh wewenang untuk mengawasi sepenuhnya urusan perbaikan di sekitar kota Cassius~”

Gereja membangun kota Cassius dengan kecepatan yang sangat cepat, dan dengan alasan memperbaiki dinding kota, mereka memperluas wilayah kota.

Selain itu, mereka juga menjual hak pindah ke wilayah kota Cassius yang baru, kepada para penduduk desa terdekat dengan harga yang murah.

Bagi imigran baru, dibandingkan ke desa-desa yang ada di pinggiran wilayah, pindah ke sebuah kota besar dengan pendeta yang langsung bekerja sama dengan uskup Gereja, itu berarti prospek masa depan yang lebih cerah.

Lalu apa yang terjadi setelah pembangunan berbagai kota dan hak imigrasi tersebut?

Pada akhirnya, itu 'berubah', semua orang yang berimigrasi ke sana adalah orang yang berhubungan dengan Gereja.

Situasi saat ini memang seperti itu, dan pada kenyataannya, pembangunan itu sama sekali tidak mengalami kemajuan.

“Tu-tunggu sebentar. Lalu apa yang dilakukan para kesatria Saint Aire? Entah itu di kota Cassius atau desa terdekat, seharusnya ada orang-orang dari pasukan kesatria kan? Dan bahkan jika Gereja memiliki wewenang utama untuk ikut urusan ini, hal-hal yang bisa mereka lakukan masihlah terbatas meski wewenangnya ada di tangan mereka, tanah ini tetap tanah milik Saint Aire....”

“.... Ini sangat memalukan~~” Gumam Emerada.

“Wilayah ini, semuanya berada di bawah kekuasaan hukum si bajingan Pepin~~”

“Bajingan.... eh?”

Sebuah umpatan tiba-tiba keluar dari bibir cantik milik Emerada, membuat Emi terkejut.

“Ugh, Pepin yang kau bicarakan ini maksudnya Jenderal Pepin dari Kesatria Kekaisaran Saint Aire kan?”

“Tak usah memanggilnya Jenderal Pepin, panggil saja dia Pepin si sampah~~”

“... Ada apa Em, apa kau tidak menyukai orang itu?”

Pepin Magnus, yang memimpin Kesatria Kekaisaran Suci Saint Aire, adalah orang yang berdiri di puncak Kesatria di Saint Aire.

Emi pernah bertemu dengannya ketika dia menyelamatkan Kaisar Saint Aire, tapi karena dia hanya sedikit berinteraksi, Emi bahkan tidak bisa mengingat namanya dengan jelas.

Tapi dari nada bicara Emerada, temannya, yang tidak biasanya secara terbuka menunjukan emosinya, terlihat sangat membenci orang itu.

“Waktu itu, kenapa Lucifer tidak membunuh jenderal tikus got itu~~”

“Eh, Em?”

“Apa yang paling kubenci adalah~~ di antara para kapten kesatria yang dikirim untuk pembangunan tersebut, orang yang dipilih untuk bertugas di area yang dikuasai oleh Gereja ~~ kelihatannya adalah bawahan yang dilatih oleh Pepin si tikus got itu~~”

“Be-begitu ya.”

“Pengawasan kota Cassius yang dilakukan oleh Kesatria Saint Aire itu penuh celah~~ setelah orang itu menerima suap, dia tidak hanya menyetujui rencana berdasarkan instruksi Gereja~~ bahkan keadaan imigrasi di desa terdekat pun dirusak~~ si limbah Pepin itu, untuk mempermudah orang-orang Gereja~~ dia diam-diam mengambil keuntungan seperti seekor tikus~~”

“O-oh....”

“Alasan kenapa rencana pembangunan itu tidak mengikuti rencana awal~~ pasti karena jenderal tua bau itu bermain-main di belakang~~”

“Seberapa besar kau membenci Jenderal Pepin!”

Karena Emerada bisa mengatakannya dengan begitu yakin, pasti si Pepin ini memang bukan orang yang jujur dan tulus, tapi meski begitu, Emi tetap merasa kasihan kepada Jenderal yang Emerada caci ini, yang mana wajahnya tidak bisa dua ingat.

“Tapi sayangnya, jenderal pencuri ini sangat hebat~~ aku tak bisa menangkap ekor rubahnya sedikitpun! Dan akupun tak tahu alasan kesengajaan penundaan pembangunan ini~~ alasanku bisa meninggalkan ibukota kali ini~~ adalah karena aku memakai kedok 'menyelidiki' penundaan rencana pembangunan tersebut~~”

“.... Begitu ya.”

“Lalu~~ masalah terbesarnya~~ anggota si busuk Pepin itu~~ mungkin melakukan tindakan terhadap desa Sloan yang Emilia tuju~~”

Emi sedikit menahan napasnya.

“Bagaimanapun juga, Sloan tetaplah kampung halaman Emilia~ sebuah rencana pembangunan yang  hati-hati telah disusun~~ jadi sudah dipastikan sejak awal kalau pembangunan itu akan dimulai nanti~~ lantas, jika desa Sloan nanti berhasil dipulihkan~~ kita tidak mungkin bisa menilai mana yang tidak wajar~~”

“Jadi tempat itu bisa diawasi oleh Jenderal Pepin atau orang yang terhubung dengan Gereja, ya kan?”

“Benar~ jadi kau harus berhati-hati~~”

Ucap Emerada sambil melipat petanya,

“Dan~~ ini tanda pengenal untuk Emilia pakai~~”

Benda itu juga kotor oleh lumpur, itu adalah lempengan kayu dengan sebuah cap terbakar di atasnya.

"Ini adalah sertifikat identifikasi yang dikeluarkan menggunakan wewenangku. Tapi karena ini diterbitkan oleh Insitut Manajemen Sihir~ mungkin ini akan memberikan kesan buruk terhadap anggota jenderal kejam itu~~"

"Semuanya pasti akan lebih kacau jika ini terus berlanjut, jadi tolong panggil saja dia Pepin meski kau tidak menyukainya."

Emi tersenyum kecut.

"Aku kagum bagaimana kau bisa terus mengatakan hal buruk mengenai Jenderal Pepin. Apa kau tidak takut kecepelosan di depan orang lain?"

"Orang-orang itu juga memanggilku brokoli saat di belakangku~~ anggap saja ini mata dibalas mata~~"

Sepertinya mereka berdua memang tidak cocok sejak lahir.

Ataukah hubungan antara Kesatria Kekaisaran dan Insitut Manajemen Sihir itu memang tidak baik sejak awal?

"Tapi orang ini kok bisa merajalela seperti ini, apa yang terjadi dengan Jenderal Lumark?"

Emerada menjawab pertanyaan Emi dengan ekspresi 'pertanyaan bagus' di wajahnya.

"Benar sekali~~ orang-orang biasanya akan berpikir seperti ini kan~~ jika Jenderal Lumark ada di negeri ini~ hal semacam ini tidak mungkin akan terjadi~"

Ucap Emerada dengan sebuah helaan napas.

"Jenderal Lumark mengajukan diri menjadi wakil Benua Barat untuk Aliansi Kesatria Lima Benua demi pembangunan kembali Benua Utama~~ dan sejak Afashan menyatakan perang terhadap seluruh dunia~ dia harus pergi bolak-balik dari Benua Utama ke Saint Aire~~ dan tidak punya waktu mengurusi konflik internal~"

Jika Pepin Magnus adalah komandan di dalam negeri, maka Heather Lumark adalah komandan di garis depan.

Semenjak dia memulai perjalanannya memerangi pasukan Lucifer, Emi pernah beberapa kali bertemu dengan Lumark dalam pertarungan merebut Benua Utara, dan saat serangan terhadap Kastil Iblis di Benua Utama.

Meski mereka berdua tidak terlalu dekat, Emi yang pernah bertarung bersama Lumark beberapa kali, ingat kalau dia adalah seorang jenderal yang cakap dan jujur.

"Tapi kalau dipikir dengan cara yang berbeda~~ bagi orang bermulut kotor dan bodoh seperti Pepin~~ dia itu tidak bisa melakukan negosiasi eksternal yang hangat dan bagus seperti Jenderal Lumark~~ benar-benar sebuah dilema~~"

Seperti yang diduga, Emerada sangat memuji Jenderal Lumark.

Bagaimanapun, Emi tahu, begitu ia berpisah dengan Emerada setelah ini, akan lebih baik kalau ia menganggap semua orang di sekitarnya sebagai musuh.

"Yeah, aku cukup paham dengan situasi sekarang. Jika sesuatu yang buruk terjadi, aku akan menggunakan sertifikat identifikasi ini.... Ngomong-ngomong..."

"Apa ada yang salah~~?"

"YUSA EMI, ini jelas-jelas nama palsuku kan?"

"Menurutku itu akan lebih mudah dipahami~~"

Jika nama palsunya berbeda dengan nama aslinya, maka akan sulit untuk memalsukannya, tapi rasanya masalah lain akan terjadi jika mereka melakukan ini.

Meski sering dilupakan, tapi Yusa Emi bukanlah nama aslinya.

"Itu..... huuuh, yeah, lupakan, terima kasih."

Meski begitu, saat Emi ingat kalau dia sendirilah yang menamakan dirinya 'Emi' karena namanya 'Emilia', dia merubah cara berpikirnya dan merasa tidak punya hak untuk komplain. Emi dengan hati-hati meletakkan surat izin dengan cap milik pejabat Insitut Manajemen Sihir, Penyihir Kekaisaran, Emerada Etuva ke dalam tasnya.

"Karena aku sudah membuat persiapan untuk berkemah selama seminggu, aku tidak akan mendekati pasar kota Cassius, asalkan aku menemukan penjual baju tua di luar dinding, aku pasti bisa menangani semuanya sendiri. Sertifikat idetifikasi ini benar-benar hanya untuk cadangan."

"Menurutku juga lebih baik begitu~~ dan~~ ini memang bukan uang untuk membeli baju~ ini biaya perjalanan yang kusiapkan untukmu..... Ini adalah koin Airenia~~ asalkan kau mencucinya sedikit....."

Setelah mengangguk sekali, Emerada mengeluarkan sebuah kantong kulit berlumuran lumpur dengan sikap bersalah.

Setelah dia menerimanya, Emi tahu kalau kantong itu ternyata sangat berat.

"Terima kasih... Aku pasti akan membalas kebaikanmu nanti."

"Eh~~?? Tidak masalah~ hal seperti ini tuh bukan apa-apa!"

"Ini masalah perasaan!"

Ini adalah sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan, pemikiran bahwa ia tidak bisa menerima uang secara gratis begitu saja, telah terbakar di dalam hati Emi.

Ditambah lagi, dengan pekerjaan Emi sekarang, untuk koin Airenia seberat ini, entah mereka ditukar dengan mata uang yen Jepang, ataupun dihitung menggunakan nilai koin Ente Isla, jumlah ini bukanlah jumlah yang bisa dengan mudah diterima.

Dengan pemahaman baru mengenai pentingnya dan bobot uang, Emi membersihkan lumpur yang ada di kantong kulit tersebut.

"Tapi bisnis di luar dinding hanya dilakukan saat siang hari.... berharap ada Jeans Mate 24 atau Don Quijote, bisa terlihat kalau aku ini sudah sangat terpengaruh oleh Jepang."

"Apa maksudnya istilah itu~~"

"Mereka adalah toko baju murah yang buka selama 24 jam di Jepang."

"Eh~~ hebat!! Apa di Jepang, orang-orang biasanya membeli saat malam mari~~?"

"Aku tidak pernah melakukannya... Tapi bisnis seperti ini ada karena ada orang yang akan membelinya, kan?"

"Orang-orang Jepang memang pekerja keras~~ punya toko yang buka seharian penuh~ aku tak bisa membayangkan bagaimana toko itu bisa beroperasi~ pada dasarnya, ada orang yang bekerja di waktu seperti itu saja sudah cukup berlebihan~~"

Emi tersenyum kecut dan mengatakan,

"Hal seperti ini takkan bisa dilakukan meski kau ingin menirunya. Itu hanya bisa dilakukan di Jepang."

Berdasarkan pengetahuan umum Ente Isla, orang-orang yang akan keluar malam hanyalah para kesatria yang berpatroli, dan pemabuk serta kriminal yang ditangkap oleh para kesatria itu, tidak peduli seberapa amannya wilayah itu, kalau dia bukan orang yang percaya diri dengan kemampuannya sendiri seperti Emi, seorang wanita berkeluyuran sendiri itu sama saja dengan bunuh diri.

Sebagian besar sistem di Jepang, 99% orang sangat bangga dengan fakta bahwa mereka tidak melakukan tindak kriminal. Karena Jepang adalah negara di mana para penduduknya menanamkan ke dalam hati mereka agar tidak membuat kekacauan dan hidup dengan jujur, mereka bisa mempertahankan situasi ini.

"Sisi sana itu lebih seperti sebuah keajaiban. Karena aku akan pergi sendiri, aku harus terus waspada."

Emi berbicara untuk mengingatkan dirinya sendiri.

"Kapanpun~~ Pahlawan dan rekannya memang tidak bisa tenang ya~~"

"Benar sekali..."

Emerada nampaknya pernah mengatakan kalimat yang sama sebelumnya, Emi menghela napas dalam setelah mendengarnya dan mengatakan,

"Renungan kita berakhir di sini. Em, terima kasih sudah membawaku kemari. Di mana sebaiknya kita bertemu saat akan kembali?"

"Berbicara masalah ini~~ kupikir... sebaiknya Emilia memegang ini~?"

Emi menatap benda yang Emerada serahkan dan menunjukan ekspresi agak rumit.

Pena Bulu Malaikat. Itu adalah harta dari Surga yang bisa memungkinkan seseorang membuka 'gate'.

Dan bulu yang digunakan sebagai bahannya, berasal dari sayap ibu Emi, Lailah.

"Aku tidak memerlukannya."

Meski barang-barang mereka berlumuran lumpur, hanya benda itu saja yang masih memiliki sinar putih cerah, namun Emi tidak merasa bimbang karena benda itu untuk waktu yang lama dan mengembalikannya pada Emerada.

"Walau aku tidak menginginkannya, aku pasti akan menemui beberapa rintangan aneh. Meski presentasenya tidak ada satu dari sepuluh ribu, masih ada satu dari seratus juta kesempatan. Aku serahkan benda itu pada Em dan Albe untuk kalian amankan. Untuk satu dari seratus jutanya, kartu as milik kita harus dibagi sebaik mungkin."

"Aku mengerti~~"

Usai merasa ragu sejenak, Emerada pun menerima penjelasan Emi dan menyimpan bulu itu kembali ke dalam jubahnya.

"Jangan khawatir mengenai tempat pertemuan kita~~ karena aku akan menuju desa Sloan setelah ini~~"

"Apa tidak masalah?"

Emi yang tidak pernah menyangka kalau Emerada akan menyesuaikan jadwal dengannya sampai sejauh ini, balik bertanya,

"Dengan begini~ waktu penyelidikan Emilia akan bertambah~ dan tujuan inspeksiku adalah untuk mengawasi situasi di wilayah ini~ jadi, semuanya akan terlihat lebih alami dan lebih mudah~"

"Aku pasti akan menemukan informasi yang berguna untukmu."

Emi tidak bisa mengangkat kepalanya karena rencana sempurna Emerada.

'Jangan terlalu memaksakan diri~~ aku sudah sering bilang begitu kan? Kau harus tetap tenang, santai, dan bertarung dengan kepala dingin~~'

Dulu, Emerada juga memberi saran kepada Emi yang bimbang seperti itu, secara khusus menggunakan bahasa Ente Isla, Emerada meletakkan jarinya di bibir dan tersenyum cerah kepada Pahlawan yang lebih muda dibanding dirinya, namun telah berkelana dengan membawa nasib seluruh dunia.

Emi menarik napas karena karisma tak terukur di balik ekspresi itu.

Jika itu adalah serangan langsung dari depan, maka kekuatan Emi jauh melebihi Emerada.

Tapi Emerada, selain menjadi penyihir terkuat di dunia, dia juga seorang politikus berpengalaman, seorang prajurit yang bisa menggunakan akal yang tak terukur untuk mengalahkan musuh yang kuat dan memperoleh kemenangan dengan menggunakan kecerdasan.

Emi menyimpan peringatan dari seniornya yang bisa berdiri sejajar dengannya di medan pertarungan ke dalam hatinya.

"Yeah, kau benar."

"Tentu saja!! Apalagi~ tubuhmu bukan hanya milikmu sendiri!"

Emerada berhenti memancarkan aura yang terasa seperti sebuah pedang es, tersenyum dan menunjuk dada Emi.

".... Apa maksudmu?"

"Yang kubilang itu benar kan, Alas Ramus-chan~~?"

"Huuuh... Alas Ramus."

Emi menghela napas, mengulurkan tangannya dan memanggil Alas Ramus.

"Em onee-chan, ada apa?"

"Kau benar-benar~~ manis!"

"Euuuuu??"

Teriakan Emerada membuat Alas Ramus yang termaterialisasi di udara, meringkuk ketakutan.

"Hey, Em, jangan membuatnya menangis lagi!"

Ketika Emerada pergi ke Jepang untuk menjemput Emi, karena dia berteriak dengan sangat antusis saat melihat Alas Ramus yang baru kali pertama ditemuinya, dia membuat Alas Ramus menangis.

"Ahh~~ maafkan aku~ Alas Ramus-chan~ kakak ini tidak menakutkan~~ coba lihat sini~~"

"Uuuuu...."

Emerada mencoba membujuk Alas Ramus dengan nada yang ramah, namun gadis kecil itu masih saja takut.

"Alas Ramus-chan, kau harus mengawasi mama~ jangan biarkan dia memaksakan diri, okay~~?"

"Paksa??"

"Dan juga~~ kau harus mendengarkan kata-kata mama dan jadi anak yang baik, okay~?"

"Anak baik, Alas Ramus adalah anak baik!!"

Alas Ramus mengepalkan tangan kecilnya yang lembut, mengangguk, dan menjawab, menyebabkan kontrol Emerada hancur.

"Kyaaaaa~~ terlalu manis~"

"Eu, uwaahhh."

"Em!!"

Sangat jarang melihat Alas Ramus mendengarkan sesuatu dengan serius, tapi karena Emerada tidak bisa menahan diri, dan mengeluarkan sebuah suara aneh, hal itu membuat Alas Ramus menangis.

"Maaf~"

Emerada menjulurkan lidahnya dengan ekspresi seolah dia sudah menyesal, mengepalkan tangan kecilnya dan mengulurkannya pada Emi.

Melihat hal ini, Emi tersenyum seraya menunjukan ekspresi serius, mengulurkan tangannya dan mengaitkannya dengan tangan Emerada.

'Jangan berpegang pada harapan.'

'Bergeraklah maju!'

'Hanya para pelopor yang bisa bertahan.'

Saat penyerangan Pasukan Raja Iblis di masa lalu, ini adalah slogan pasukan manusia yang dibuat setelah kemenangan pertama mereka melawan Lucifer.

Meski mereka mengalahkan Lucifer, rasa takut yang dibawa oleh Pasukan Raja Iblis di Benua Utama, Timur, Selatan, dan Utara tetap mendarah daging di hati manusia.

Walaupun kemunculan Pahlawan dan pembebasan Benua Barat membawa sedikit harapan, orang-orang di garis depan masih tidak merasa optimis mengenai masa depan mereka hanya karena hal ini.

Di suatu titik, dunia manusia sudah hampir menyerah terhadap kekuatan Pasukan Raja Iblis.

Kemunculan Pahlawan dan serangan balik yang dibawanya, hanya bisa dideskripsikan sebagai sebuah keajaiban. Lalu ketika keajaiban itu masih ada, mereka pasti bisa menyelamatkan dunia.

Jika mereka punya waktu luang untuk berpegang pada harapan, maka mereka harus merubah dunia melalui pertempuran dan bergerak maju.

Itu adalah slogan serangan balik pertama yang para prajurit di Benua Barat teriakkan dalam pertarungan melawan Pasukan Raja Iblis.

Melalui ingatan mereka pada waktu itu, tubuh serta pikiran Emi dan Emerada bisa merasakan kenyataan yang menempatkan mereka di dalam pertempuran.

"Kalau begitu~ Emilia~ kau harus kembali dengan selamat satu minggu lagi~~"

"Yeah, Em juga."

"Em onee-chan pergi."

"Benar... Kini akan jadi perjalanan satu orang... Tidak, perjalanan dua orang dengan Alas Ramus dan aku."

"Alas Ramus, akan jadi anak baik!"

"Kalau begitu tenang ya. Kau harus kembali dulu sebentar."

Emi membersihkan lumpur yang ada di tangannya dan dengan lembut menyentuh kepala Alas Ramus, membatalkan wujudnya.

"... Baiklah, ayo kita pergi ke pasar kota Cassius dulu. Aku perlu beberapa baju."

Sebagian alasannya adalah karena dia berlumuran lumpur, tapi selain itu, baju yang saat ini Emi pakai, adalah baju yang dia beli di Jepang.

Baju yang dia pakai ketika terdampar di Jepang dari Ente Isla tentu saja adalah pakaian yang dia pakai di bawah armornya.

Meski dia bisa meminta Emerada untuk menyiapkannya, tapi teman baiknya itu juga harus menghindari terlihat tidak wajar sebisa mungkin, selain itu, dia juga tidak tahu tindakan apa yang akan dilakukan Jenderal Pepin dan orang-orang yang menentang Emerada.

"Aku sama sekali tidak paham dengan mereka yang ingin merugikan orang lain, bagian mananya dari itu yang menarik?"

Emi pun menghela napas untuk yang kesekian kalinya di hari itu, dan dengan berlumuran lumpur, dia mengambil langkah pertama di hutan yang gelap menuju kampung halamannya.


XxxxX



"Minimarket.... aku ingin minimarket."

Hari kedua setelah kembali ke Ente Isla.

Emi langsung menyerah.

Dia saat ini berada di sebuah kota yang dikembangkan sebagai penginapan di pusatnya, berjarak satu hari berjalan dari sisi timur pasar kota Cassius.

Karena banyak kereta dan pedagang pengelana yang berkumpul di kota ini, berdasarkan skalanya, kota ini sudah bisa dianggap tempat yang penuh dengan aktivitas.

"Umm... eu...."

Alas Ramus tertidur di ranjangnya dengan ekspresi suram.

Dia memang tidak terkena flu atau semacamnya, tapi sepertinya dia tidak senang dengan makanan di sini.

Untuk menyembunyikan fakta bahwa dia bersama seorang anak kecil, Emi pun makan di dalam kamar penginapannya, namun, makanan yang dibungkus di sini, kebanyakan adalah makanan yang tidak cocok untuk anak kecil.

Emi merasa terkejut dengan kepadatan makanan yang ada di kampung halamannya... Saint Aire, Benua Barat.

Makanan yang bisa ditemukan di sini kebanyakan adalah daging, daging, anggur dan daging lagi, dan hanya terkadang saja, sayuran bisa ditemukan. Meski Emi ingin membeli beberapa hidangan olahan, dia hanya bisa menemukan makanan berbahan dasar daging yang akan mengisi perutnya dengan cepat dan terasa sangat asin. Di tempat ini, semua orang memakan makanan ini saat siang hari bersama dengan anggur mereka.

Asalkan dia mau berjalan mengelilingi pasar, ini tidak seperti Emi tidak bisa menemukan buah atau sayuran apapun, namun, rasa mereka tidak seenak buah yang ada di Jepang, meski mereka memiliki bentuk yang serupa, mereka adalah benda yang benar-benar berbeda.

Emi menghabiskan hari pertamanya di penginapan murah yang ada kota dekat pasar kota Cassius, dan setelah berusaha keras mengumpulkan makanan yang mirip dengan yang ada di Jepang, dia menggunakan dapur yang disediakan untuk tamu agar bisa memasak makanan untuk Alas Ramus.

Namun, setelah melihat Alas Ramus, yang saat di Jepang tidak pernah pilih-pilih makanan, mengernyit dan memuntahkan wortelnya hanya dengan satu suapan, Emi sekali lagi sadar, seberapa besar dia telah terpengaruh oleh makanan dan air di Jepang.

Apakah makanan dari kampung halamannya benar-benar seburuk ini? Emi mengambil bahan-bahannya satu persatu, dan jatuh dalam kesuraman.

Di Jepang, seluruh sayuran mereka memiliki rasa yang dalam, pahit manis, dan ringan, sampai-sampai Emi tidak bisa mengerti kenapa anak-anak Jepang sangat pilih-pilih makanan.

Hal ini adalah hasil dari orang-orang yang terlibat dalam pertanian yang terus menerus meningkatkan kualitas karena mereka ingin konsumen memakan makanan yang lezat, namun sayangnya, sayuran di seluruh Saint Aire Benua Barat masih jauh dari kondisi ini.

Wortel yang seratnya akan meninggalkan rasa pahit di gigi, tomat dengan keasamannya yang menggelitik lidah, timun kecil yang rasanya begitu pahit sampai mungkin bisa mengalahkan labu pahit, sekaligus jagung yang lebih kering dari makanan beku. Bahkan Emi yang pernah memakan makanan ini sebelum datang ke Jepang, tetap merasa ragu ketika dia sedang mengunyahnya.

Memang tak masalah jika buah-buahannya saja yang dibeli, namun produk-produk itu harganya sangat mahal di sini.

Emi menerima banyak biaya perjalanan dari Emerada, meski dia ingin makan sesuatu yang setingkat dengan makanan kaleng di supermarket Jepang, harganya hanya akan satu koin perak di sini.

Menyeduh anggur adalah sesuatu yang umum di seluruh Saint Aire, jadi buah berkualitas tinggi di sini, sebagian besar dibeli oleh orang-orang yang berhubungan dengan industri ataupun pemilik lahan.

Para penduduk biasa, paling banyak hanya bisa memakan apel, jeruk, dan buah sejenisnya, buah-buah itu tidak hanya berasa tidak enak (lagi-lagi ini dibandingkan dengan standar Jepang), harga mereka juga beberapa kali lebih mahal dibandingkan sayuran.

Ditambah lagi, jangankan bisa membeli roti potih yang di Jepang seharga 100 yen, di sini, bahkan tidak ada toko roti sama sekali, jadi meski Emi ingin membuat sandwich, dia tidak bisa melakukan apa-apa.

Sebaliknya, item-item yang dianggap produk mewah di Jepang, seperti roti hitam, roti gandum, dan roti gandum hitam, semua itu bisa dibeli di sini, namun, walau sudah ditambah susu dan gula, semua roti-roti itu, yang mana tidak melalui proses fermentasi, tetap memiliki tekstur yang keras dan rasa asam yang kuat, benar-benar berbeda dengan roti yang biasanya Alas Ramus makan.

Alhasil, agar Alas Ramus mau makan, Emi pun terpaksa membuka makanan instan yang dia beli di Jepang sebagai usaha terakhir, membuat Alas Ramus harus merubah jadwal makannya.

Meski dia bisa dengan mudah mengatasi masalah belanja pakaian termasuk bagian Alas Ramus dengan berhati-hati, Emi tidak pernah menyangka ada titik buta yang tersembunyi di area makanan seperti sekarang ini.

Di hari kedua setelah mereka berhasil melewati hari pertama.

Di kota yang ditempati Emi dan Alas Ramus, mereka menghadapi masalah baru yang tidak sempat mereka pikirkan karena cemas berlebihan yang mereka rasakan di hari pertama.

“Toilet itu.... bagaimana bisa jadi sekotor itu.....”

Emi menatap wajah tertidur Alas Ramus, dan mengernyit.

Bagaimanapun, toilet itu memang sangat kotor. Meski Emi tahu kalau di sana tidak akan ada fasilitas kebersihan yang canggih seperti toilet siram, toilet yang dia lihat saat perjalanannya ini memang begitu kotor.

Dan itu tidak hanya kotor.

Mereka memang sangat kotor, tapi mereka tetap tidak gratis.

Tamu penginapan harus membayar ketika mereka menggunakan toilet.

Di samping setiap toilet, terdapat satu orang tua yang dikenal sebagai pengepul biaya, mengawasi semuanya. Biaya normalnya adalah lima koin perunggu, dan yang membuatnya menakutkan adalah, toilet-toilet yang harus dibayar setiap kali digunakan ini, mereka berada di tingkatan di mana sudah dianggap bagus selama ada pintunya.

Tentu saja mustahil tempat seperti ini selalu punya tisu toilet, dan karena mereka sama sekali tidak dibersihkan, tercium bau busuk di sana.

Jangankan dirinya sendiri, Emi benar-benar tidak ingin membawa Alas Ramus ke tempat seperti itu, dan meski ini akan membuat Alas Ramus agak tidak senang, Emi lebih memilih menggunakan popok yang dia beli di sini.

Meski di awal perjalanannya Emi sudah harus menghadapi dua rintangan besar yaitu makanan dan toilet, yang merupakan dua hal yang tak tergantikan dalam kehidupan masyarakat beradab, dia tetap berusaha keras untuk menyiapkan makanan dan berhasil membuat Alas Ramus menghabiskan makan malamnya.

Menumbuk kentang rebus, menambahkan merica yang dia beli sebagai bumbu, dan mencampurnya dengan air panas.

Setelah itu, dia memasukkan jamur yang dipotong dadu, bawang, dan ayam, memanaskan mereka hingga menjadi sup, Emi akhirnya bisa membuat Alas Ramus bilang 'enak'.

Mempertimbangkan tagihan air, biaya kayu bakar, dan penggunaan dapur, jika ini adalah perjalanan bersama orang dewasa, Emi tidak mungkin akan memasak makanan seperti ini, tapi kali ini, tidak ada pilihan lain.

“Minimarket.... microwave.... makanan instan.... mesin penjual minuman.... toko kopi.....”

Emi yang hampir menangis, bersumpah dalam hatinya, begitu dia berhasil mencapai tujuan hidupnya suatu hari nanti dan kembali ke Ente Isla, dia pasti akan membawa kulkas dan microwave.

Ekspresinya saat ini pasti terlihat lesu karena kelemahannya.

Untungnya, penginapan murah ini tidak punya barang mewah seperti kaca yang akan mencerminkan wajahnya, jadi dia tidak akan merasa depresi karena melihat wajahnya.

Kali ini....

“Nona Emi, nona Emi.”

Seseorang yang tiba-tiba mengetuk pintunya, terdengar, membuat Emi terkejut.

Itu adalah suara pemilik penginapan ini.

“Ma-masuk.”

Setelah bangkit dan dengan panik mengikat rambutnya, Emi berjalan menuju pintu dan membukanya dengan waspada. Dia menggunakan tubuhnya untuk menghalangi pemandangan yang ada di dalam kamar.

“Ohh??”

Orang yang berdiri di koridor itu memang pemilik penginapan, orang tua itu tidak menyangka kalau seseorang akan membuka pintu, dan menunjukan ekspresi kaget.

“Ada apa?”

“Ah, i-itu, aku tidak menyangka kau akan membuka pintu....”

“Ah.....”

Emi yang teringat suatu hal, mengutuk kesalahannya sendiri.

Ini bukanlah Jepang. Tak ada seorangpun yang bisa menjamin kalau pemilik penginapan ini adalah orang baik, jika tamunya adalah orang jahat yang menyamar sebagai pemilik penginapan, dalam situasi normal, pasti Emi sudah didorong masuk ke dalam kamar.

Pada dasarnya, bahkan jika ada seseorang di balik pintu, pintu harus dikunci sebelum keamanan bisa dipastikan, Emi tak pernah terpikir kalau dia akan menemui malapetaka di tempat seperti ini karena dia terlalu terbiasa dengan Jepang.

“Erhm, ini soal apa yang kau minta kepadaku kemarin, sepertinya sebuah karavan pedagang akan melewati desa Warloski yang kau bicarakan itu. Setelah aku menyinggung hal ini pada mereka, mereka bilang kalau mereka mengizinkanmu ikut bersama mereka asalkan kau mau membayar.”

“Oh, begitu ya.”

Emi mengangguk.

Desa Warloski berada di dekat kampung halaman Emi, Sloan, sebuah desa yang bisa didatangi dalam waktu setengah hari.

Saat memeriksa ke dalam penginapan, Emi memang tidak menyebut desa Sloan, melainkan bertanya apakah ada imigran atau karavan pedagang yang lewat desa sekitar.

Sementara untuk alasannya bertanya lokasi lain, tentunya agar orang lain tidak tahu tujuan aslinya.

Dari sini, entah dia pergi ke Sloan atau Warloski, dia tetap harus berjalan dengan jarak yang sangat jauh, tapi kalau dia bisa bepergian bersama karavan pedagang yang memiliki kereta kuda, dia akan bisa menghemat banyak waktu.

“Terima kasih. Dan, ini depositnya.”

Emi mengeluarkan dua koin perak yang sudah dia siapkan sebelumnya dari dalam tas, dan menyerahkannya pada si pemilik.

Karena penginapan murah ini tidak memiliki fasilitas keamanan apapun, meski dia berada di depan si pemilik, Emi tidak bisa membiarkan orang lain melihat kantong uangnya.

Dengan sembrono membuka pintu meski dia sudah mempertimbangkan hal ini, Emi benar-benar sangat menyesal.

Dua koin perak memang harga yang cukup tinggi untuk deposit, tapi salah satunya adalah uang tip untuk si bos.

Kau tidak boleh pelit ketika memang harus menggunakan uang, ini adalah pelajaran dari Alberto.

“Yeah, aku paham. Kalau begitu aku akan pergi sekarang.”

Pemilik penginapan itu menggenggam koin peraknya, mengangguk puas dan pergi setelah memberikan sedikit salam.

Emi mengunci pintu kamarnya dan bernapas lega.

“Sulit sekali. Padahal ini adalah sesuatu yang biasa kulakukan.”

Setelah melepas tali yang mengikat rambutnya, Emi perlahan duduk di ranjang, dan dengan hangat mengelus rambut Alas Ramus yang kelihatannya mengalami mimpi buruk.

“Tidak, ini bukan seperti itu. Saat aku benar-benar sendiri.... adalah satu tahun di Jepang setelah aku bertemu Raja Iblis. Sebelum itu, aku selalu.....”

Sejak membangkitkan kekuatannya sebagai Pahlawan hingga saat dia melepaskan Kekaisaran Suci Saint Aire dari cengkeraman Lucifer, entah itu Olba yang sekarang menjadi musuhnya, ataupun para kesatria, mereka selalu menjadi pelindung dan rekan Emi.

Emi bertemu dengan Emerada ketika dia membebaskan Saint Aire dan menjadi sahabat baiknya.

Setelah mengalahkan Lucifer dan membebaskan Benua barat, Emi yang memilih menuju ke Benua Utara, bertemu dengan Alberto di kapal, dia kemudian meminjam ketangkasan serta kekuatannya, dan berhasil menyelesaikan perjalanannya di Benua Utara dan Selatan, yang penuh dengan cuaca yang keras.

Pasukan Alsiel di Benua Timur pun mundur sebelum berhadapan dengan Emi dan yang lainnya dalam pertempuran, dan mereka berempat, dengan dipimpin Emi, menyerang Kastil Iblis di Benua Utama dengan dukungan dari seluruh dunia, lalu Emi terdampar ke dunia di mana kemungkinan bertemu bahaya bisa dibilang cukup rendah, sendirian.

“Meski aku berlagak seperti Pahlawan, pada akhirnya aku memang tidak bisa melakukan apapun sendiri. Aku tidak pernah menyangka kalau aku akan mengkhawatirkan hal ini, dan ini terjadi saat aku sedang berada dalam perjalanan, ini benar-benar tidak lucu.”

“Ah-uh.... uh-hm.”

“Alas Ramus, aku pasti akan memasakkan sesuatu yang lebih enak untukmu besok.”

Emi tersenyum tipis, dan tanpa membangunkan Alas Ramus, dia menjatuhkan diri ke atas ranjang tanpa mengganti baju ataupun melepas sepatunya.

“Naik ke ranjang dengan sepatu, benar-benar tidak beradab.”

Emi teringat saat dia pergi bersama Maou dan Alas Ramus, mereka bertiga waktu itu sedang pergi ke Seiseki-sakuragaoka untuk membeli futon Alas Ramus.

Saat itu, Alas Ramus naik ke atas kursi, dia bilang dia ingin melihat pemandangan di luar, jadi Emi memintanya untuk melepas sepatunya terlebih dahulu....

“Hey, Alas Ramus, jadilah anak baik dan dengarkan apa kata mama.”

“Yang benar saja.... kenapa dia sangat patuh dengan kata-kata papanya.....”

Suara yang tanpa sadar menggema dalam pikirannya, membuat Emi mengerang.

Jika Alas Ramus terserang penyakit karena dia tidak terbiasa dengan makanan ataupun air di sini, maka pria yang menganggap dirinya sebagai ayah itu pasti akan marah dan mengkiritk Emi.

Mampu memikirkan hal semacam ini meski dia sudah menyuruh dirinya untuk berhati-hati, Emi, merasa tidak percaya, menghela napas berat.

“Ayah ya....”

Emi secara terang-terangan mengakui kalau hal ini memang sangat menyakitkan, tapi dibanding sebelumnya, dirinya yang saat ini, benar-benar telah kehilangan rasa benci dan keinginan untuk menantang Raja Iblis.

Sebagian alasannya adalah karena Emi tahu kalau ayahnya masih hidup, sebagian yang lain, adalah karena dia terkadang tidak mampu memahami eksistensi yang disebut Raja Iblis Satan.

Karena mereka sudah melewati beberapa bulan bersama di Jepang, pertanyaan seperti inilah yang akan muncul.....

Karakter, kepribadian, dan pemikiran 'Maou Sadao', datang dari mana semua itu?

Dengan semuanya yang seperti sekarang ini, Emi bahkan mulai mencurigai apakah Maou itu benar-benar Raja Iblis Satan.

Emi memang menganggap orang itu sebagai musuh dan telah mengamatinya dari dekat, dan sekarang, saat Emi kembali ke Ente Isla, dia sangat yakin kalau Maou tidak akan melakukan hal-hal yang jahat di Jepang, kesan Emi terhadap Maou Sadao dan Raja Iblis Satan benar-benar sangat berbeda.

“Setelah aku kembali ke kampung halamanku, aku penasaran apa aku akan mendapatkan kembali kebencianku terhadap pria itu....”

Emi berbicara pada dirinya sendiri saat ia menatap wajah tertidur Alas Ramus.

Entah 'manusia' macam apa Maou sekarang, fakta bahwa Maou adalah orang di balik pasukan Lucifer yang telah menghancurkan kampung halaman Emi, adalah kenyataan yang tak terelakkan.

Dan adapun fakta bahwa ayahnya masih hidup, dia hanya mendengarnya dari malaikat yang tak bisa dipercaya, dan tak ada bukti satupun.

Saat ini, bagi Emi, Maou tetaplah pembunuh ayahnya, musuh yang telah menghancurkan kampung halaman dan semua yang ada di masa kecilnya.

Benar, dia sudah mengatakan hal ini berulang kali.

Keadaan mentalnya benar-benar terguncang karena fakta bahwa ayahnya masih hidup. Ini adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar. Ini benar-benar membuatnya merasa menyedihkan.

“Un.... untuk apa aku bertarung, untuk siapa aku bertarung....”

Begitu pertanyaan yang tak bisa dijawab siapapun itu menghilang dalam kegelapan kamar, kesadaran Emi pun terseret ke dalam dunia mimpi.

---End of Part 1---





Translator : Zhi End Translation..
Previous
Next Post »
1 Komentar