[Translate] Re:Zero Arc 4 - Chapter 35 : Kitab Milik Si Gadis
Kembali ke -> Re:Zero Arc 4 - Chapter 34
Chapter 35 : Kitab Milik Si Gadis.
Tertutup di setiap sisinya, ruangan tersebut dipenuhi bau buku tua yang mencekik.
Melangkah melewati pintu yang terbuka, diserang oleh pemandangan dan bau tersebut, mulut Subaru terbuka tanpa suara ketika dia sadar, meski setengah detik lebih lambat, bahwa dia telah melangkah di lantai yang bukan merupakan tempat yang dia harapkan....
..... Dan keterlambatan ini berujung fatal.
"Perpustakaan Terlarang?"
Dia mencapai tempat yang tidak bisa dia temukan saat mencarinya ke seluruh mansion. Waktu yang tidak tepat dan kesempatan yang tak terduga ini menciptakan ruang hampa di hati Subaru, mencuri waktunya sebelum pintu tertutup di belakangnya.
"......!"
Seolah didorong oleh angin dari luar, tubuh Subaru terhisap masuk ke dalam Perpustakaan. Dengan momentum yang sama, pintu pun tertutup, mengirimkan angin dingin yang menggelitik tengkuk Subaru.
Menoleh ke arah suara keras itu, memastikan bahwa ruang ini telah terpisah dengan lorong, Subaru akhirnya mengerti.
Kenapa Perpustakaan Terlarang terbuka untuknya di sini, dan kenapa pintunya tertutup?
"Bu-buka...!!"
Meraih knob pintu, Subaru menyadari kondiri tangan kanannya, dan mengulurkan tangan kirinya. Jari-jari penuh darahnya memutar knob dengan kuat, menghasilkan suara gemerincing di udara, tapi meski knobnya berputar, hal itu tidak memberikan pengaruh apa-apa pada pintu. Lengkingan knob pintu yang sia-sia hanya membuat kecemasan Subaru menjadi semakin parah.
".... Tak peduli seberapa keras kau berusaha, itu tak ada gunanya, kau tahu."
Sebuah suara melayang masuk ke telinga Subaru dari belakang ketika dia sedang bergulat mati-matian dengan pintu.
Berbalik dan menyandarkan punggungnya pada pintu, dia melihat seorang gadis di kedalaman Perpustakaan, menatap ke arahnya dengan tatapan dingin dan acuh tak acuh.
Rambut keriting panjang berwarna krem dan gaun mewah. Tubuh kecil nan manis, namun memberikan kesan seperti sedang jengkel. Dia adalah gadis yang Subaru kenal.
"Beatrice...."
"Kau terlihat cukup menyedihkan. Kau bisa mengotori lantai Perpustakaan, jadi jangan banyak bergerak..."
"Buka pintunya, SEKARANG! BIARKAN AKU KELUAR, SEKARANG!!"
Melihat Beatrice menatap luka-lukanya dengan dingin, Subaru berteriak, mengabaikan semua yang gadis itu katakan. Tidak menghiraukan perintah Beatrice untuk 'tidak menyebarkan darah ke mana-mana', Subaru mengayunkan tangan kanannya yang berdarah-darah,
"Kenapa, kenapa kau baru muncul sekarang? Kenapa? KENAPA BARU SEKARANG? BIARKAN AKU KEMBALI! CEPAT! SEKARANG JUGA!!"
".... Dan, kira-kira apa yang akan kau lakukan begitu kau kembali, hah? Bahkan jika kau kembali dengan luka-luka yang tak enak dilihat itu, Betty tak tahu apa yang mungkin bisa kau lakukan."
"Aku tahu lebih dari siapapun kalau aku tidak bisa melakukan apa-apa! Tapi itu tidaklah penting!"
Dia tidak ingin kembali untuk menghadapi Elsa, tapi ingin memasuki kamar di mana seharusnya dia berada, kembali ke sisi gadis yang tertidur itu, dan....
"Jika aku berada di Perpustakaan Terlarang, dan Door Crossing diaktifkan.... maka pembunuh itu akan, kamar itu...."
Saat wanita itu sadar kalau Subaru menghilang, si gila itu mungkin akan memiringkan kepalanya. Dan sebelum mencari Subaru yang hilang ke seluruh mansion, dia pasti akan menemukan gadis kesepian yang tertidur di dalam.
Apa yang akan dilakukan pembunuh gila itu ketika menemukan dia yang tertidur tanpa pertahanan.... sama sekali tidak perlu dipikir dua kali.
"ITULAH KENAPA....!."
"Semuanya sudah terlambat, kau tahu."
Subaru, berteriak sekeras-kerasnya seakan ingin melepaskan ketakutannya, seketika dihentikan oleh bisikan Beatrice yang terdengar memilukan.
Melihat dia merendahkan pandangannya dan menggelengkan kepala, sesaat Subaru terpaku. Otaknya mencerna kata-kata Beatrice, pikirannya terhenti.
.....Apa yang dikatakan gadis ini barusan?
"Terlambat.... apa... maksudmu..??"
"Alasan kenapa kau ingin kembali ke ruangan itu... kurasa, sudah tidak ada."
"......"
Menanggapi pertanyaan Subaru yang terputus-putus, Beatrice memberikan jawaban tak berperasaan tersebut.
Tenggorokannya tercekik, matanya terbuka lebar, dan saat dia menyadarinya, dia sudah jatuh berlutut. Bahunya merosot, wajahnya menunduk, dan suara yang sangat tidak menyenangkan menggema di dalam tengkoraknya.
Sakit, sakit, rasa sakit yang telah ia lupakan muncul kembali saat suara itu mengikis kesadaran Subaru. Tak masalah jika semuanya tenggelam dalam suara itu dan hanyut, pikirnya. Dia tidak ingin memahaminya sama sekali. Dia tidak ingin menyadarinya. Namun,
"Luka-lukamu, izinkan aku melihatnya. Mereka terlalu mengerikan, aku tidak tahan melihatnya."
Berjalan ke arah Subaru yang terjatuh di lantai, Beatrice melipat lututnya dan memeriksa luka-luka di tangan kanan, pinggang kiri, dan bahu kanan Subaru, memberinya sebuah tatapan cemooh. Seberkas cahaya redup menyelimuti tangan Beatrice yang dia tekankan pada tanan kanan Subaru yang terluka paling parah.... menggantikan rasa sakitnya, sesuatu yang gatal mengalir di tangan Subaru. Dan, bersamaaan dengan suara air terciprat, struktur dagingnya mulai memperbaiki diri.
Pendarahan pun berhenti, dan perlahan, perlahan, menanggapi cahaya tadi, selaput membran menyebar di atas luka Subaru ketika area yang teriris itu kembali dipenuhi sel yang mempercepat penyembuhan. Namun,
"Akan butuh waktu sampai tanganmu kembali ke bentuk awal, dan kurasa jari-jarimu yang terpotong takkan kembali... Luka di pinggang dan bahumu...."
"....apa-apaan yang kau lakukan."
Sebuah suara tanpa emosi keluar dari mulut Subaru.
Bermaksud menyembuhkan luka-luka Subaru, Beatrice mengernyitkan dahinya, dan membuka telapak tangannya yang memancarkan energi penyembuh, di depan mata Subaru,
"Aku juga tidak menyukainya, tapi aku tidak punya pilihan lain, jadi kurawat luka-lukamu. Kurasa Betty adalah satu-satunya orang di mansion yang bisa menyembuhkan luka selebar ini. Kau seharusnya berterima kasih padaku, kau tahu."
"sembuhkan.... lukaku...? untuk apa....?"
"Kurasa, luka-luka ini akan membahayakan nyawa jika dibiarkan. Dan meski aku tidak peduli apakah kau hidup ataupun mati, aku lebih suka kau tidak mati di sini."
Menutup sebelah matanya, dan mengabaikan kata-kata Subaru sebagai bentuk igauan yang diakibatkan oleh luka-lukanya, Beatrice menggumamkan jawaban dingin tersebut sambil terus melakukan penyembuhan. Tapi,
".......gh."
"Ah."
Merasakan gelombang penyembuh mengubur luka-lukanya, Subaru mengayunkan tangannya yang terluka ke samping, membuat Beatrice memekik kaget.
Dia membebankan berat tubuh pada lututnya yang gemetar, dan berguling ke samping, melukis petak-petak besar di lantai Perpustakaan Terlarang dengan warna merah saat dia menjauhkan diri dari gadis itu, sembari terus menatap tajam wajahnya.
Terengah-engah dengan napas tidak teratur, gerakan panik Subaru melepas logam yang menancap di pinggangnya. Suara gemerincing terdengar ketika dia mendarat di lantai, diikuti suara cairan yang mengalir bebas... suara darah yang mengalir dari lukanya. Mengalir menuruni paha dan menyebar melewati lututnya, darah membanjiri lantai membentuk sungai darah.
Napas Beatrice berhenti melihat pemandangan tersebut, sementara Subaru menggertakkan giginya,
"Aku tidak butuh disembuhkan....! JIKA KAU TIDAK PEDULI APAKAH AKU HIDUP ATAU MATI.... KENAPA KAU REPOT-REPOT MENYELAMATKANKU!?"
"Itu karena... kau terlalu menyedihkan. Aku tidak tahan mellihatnya...."
"Kenapa... Kenapa harus aku? Jika kau ingin menyelematkan seseorang, kenapa kau tidak selamatkan Petra... atau Frederica? Jika kau membantu kami, meski kami tidak bertarung, kami pasti masih bisa kabur.... semuanya bisa jadi lebih baik....!"
Dengan Door Crossing yang memisahkan mereka dari dunia luar, mereka seharusnya bisa tetap berada di luar jangkauan pengejaran Elsa. Jika digunakan dengan cara yang benar, tak ada kemampuan lain yang lebih baik untuk dipakai melarikan diri. Entah itu Petra yang tidak lari sampai di saat-saat terakhir, atau Frederica yang tetap berada di belakang agar mereka bisa kabur, ataupun Rem yang tertidur nyenyak di ranjangnya, semuanya......
"Kau seharusnya bisa menyelamatkan mereka...! Aku ini lemah, aku memang bodoh... tapi kau bisa melakukannya... jadi kenapa kau tidak......!?"
"Kenapa harus Betty.... tak ada alasan bagi Betty untuk menyelamatkan orang-orang yang kau bicarakan itu. Tak ada satupun alasan yang bisa kupikirkan. Itu sama sekali bukan urusanku."
"Kalau begitu...! Kau juga tidak punya alasan untuk menyelamatkanku, kan?"
Melihat Beatrice menggelengkan kepala dengan enggan menanggapi pertanyaannya, Subaru memukulkan tangan kanannya yang masih dalam proses penyembuhan ke lantai.
"Kenapa kau malah menolongku? Kenapa kau malah menyelamatkanku? Apa kau hanya serta merta melakukannya? Apa yang membuatku berbeda dengan mereka? Rem selalu menjadi gadis yang baik, masih ada banyak hal yang ingin dilakukan Frederica... Petra juga masih sangat muda.... mereka jauh lebih pantas diselamatkan daripada diriku. Bukankah hidup mereka juga punya makna.... punya nilai?"
"Nilai? Makna? Kenapa Betty harus menghormati rekaan sombong seperti itu? Kesombonganmu sudah tidak bisa ditolerir, manusia!!"
"Perkataanmu sama sekali tak masuk akal!! Pertama kau tak mau menemuiku ketika aku mencari-carimu, kemudian kau memilih waktu yang genting seperti ini untuk muncul! Jika kau tidak menemukan nilai apapun pada diriku atau pada gadis-gadis itu.... pikirkan saja urusanmu sendiri dan tetaplah mendekam di ruangan ini!"
Kenapa dia baru muncul sekarang, ketika semuanya sudah sangat terlambat?
Dia bisa terus bersembunyi sehingga bahkan Elsa pun takkan bisa mendeteksinya, tapi sekarang, begitu Elsa menyadari ke mana Subaru pergi, keberadaan Beatrice juga akan ikut terungkap.
Kalau sudah begitu, ada kemungkinan di mana gadis ini takkan bisa lari dari pedang si pembunuh itu. Jadi kenapa dia membiarkan Subaru yang sudah sekarat masuk ke dalam Perpustakaan Terlarang?
Kenapa gadis itu baru menyelamatkan Subaru sekarang, ketika dia sudah kehilangan keinginan untuk hidup, dan hanya ingin mati?
"Aku tidak peduli ini apakah kau hanya serta merta melakukannya atau apa, tapi... jika kau ingin menyelamatkanku... jika kau masih punya sedikit keinginan untuk menolongku... maka bunuhlah aku... sekarang..."
"Apa... yang kau bicarakan..."
"SEKARANG! AKU! BUNUH AKU SEKARANG!! Sebelum semuanya ditulis, sebelum semuanya jadi tak bisa diubah! Bunuh aku! BUNUH! BUNUH AKU!!"
Memuntahkan darah bercampur ludah, mencakar lantai dengan tangan kanannya yang cacat dan tangan kirinya yang masih utuh, Subaru meneriakkan permohonannya.
Sebelum alasannya untuk hidup hilang sepenuhnya, dan sebelum kelambanannya membawa dia menuju masa depan yang tak bisa diubah.
Dia berteriak agar kekacauan yang tak berguna, tak berdaya, dan bodoh ini menghilang dari dunia.
Tapi Beatrice tidak bisa mengabulkan permintaannya, tidak bisa menerima teriakan dari dalam jiwa Subaru.
Dia menggelengkan kepalanya, dan dengan ekspresi bingung serta ekspresi tidak nyaman di wajahnya,
"Aku tidak mengerti, aku sama sekali tidak mengerti. Aku sama sekali tidak memahamimu, manusia. Kenapa kau... kenapa kau mengucapkan hal seperti itu sekarang, ketika kau masih hidup?"
"Menyelamatkan nyawaku bukan berarti kau sudah menyelamatkanku! Kehidupan ini bukanlah apa-apa melainkan hanya penderitaan! Itu seharusnya tidak ada di sini, aku seharusnya tak ada di sini... Jika kau bilang kau tidak mau menyelamatkanku...."
Jika dia tidak bisa bergantung pada orang lain, maka dia sendirilah yang akan mengakhiri eksistensinya yang menyedihkan ini....
Melihat napas Subaru tertahan dengan tekad tersebut, Beatrice mengeluarkan sebuah suara pelan,
"Ah."
Dan, ketika suara itu mencapai telinganya, tanpa ragu Subaru menjulurkan lidahnya, lalu...
"........."
Menggigitnya dengan sekuat tenaga, Subaru melakukan aksi bunuh diri.
Sakit yang begitu menyiksa. Sakit yang tingkatannya benar-benar berbeda dengan rasa sakit yang dialami tangan kanannya. Tak peduli seberapa banyak dia mengalaminya, dia tidak pernah bisa tahan dengan hal ini. Tak peduli bagaimana luka yang dialaminya, tak peduli dari bagian tubuh mana rasa sakit itu berasal, itu selalu menjadi rasa sakit yang baru, menyiksa, dan tak bisa ditahan, sebuah rasa sakit yang tak pernah bisa dia biasakan. Di manapun, atau kapanpaun, semua rasa sakit adalah sama.
Darah keluar dari mulutnya, Subaru membuka lebar bagian putih matanya dan pingsan di tempat.
Terjatuh, matanya dipenuhi cairan saat tubuhnya mulai mengejang. Sakit yang amat menyiksa. Tak bisa bernapas. Lidahnya yang hampir putus bersarang di tenggorokan, mencekiknya dari dari dalam.
".....apa yang kau lakukan?"
Itu bukanlah luka yang berujung pada kematian instan. Rasa sakit yang begitu parah berdenyut, mengejutkan otaknya. Tubuhnya gemetar tak terkendali saat aliran air mata darah mengalir ke pipinya, menyampaikan rasa sakitnya yang tak tertahankan.
Ujung lidahnya yang setengah terputus menjuntai dari tepi bibirnya, menunjukan tekad yang masih belum cukup di saat-saat terakhir aksi bunuh dirinya.
Semenjak datang ke dunia paralel ini, ini adalah ketiga kalinya Subaru memilih melakukan aksi bunuh diri.
Pertama adalah saat pengulangan di mansion, ketika dia membunuh dirinya dengan tekad membawa kembali apa yang tak bisa ditebus.
Yang kedua adalah di akhir pengulangan yang dimulai di ibukota, di mana dia membunuh dirinya sendiri ketika dia tahu bahwa keberadaan Rem telah terhapus dari dunia. Dia menusukkan pisau ke tenggorokannya, tapi tak ada yang berubah.
Dan ketiga kalinya dia bunuh diri.... meski dia tidak bisa menjamin kalau dia bisa kembali, dia hanya sudah tidak sanggup lagi hidup lebih lama di dunia ini. Ini semua terlalu berat, dan terlalu tak masuk akal untuk dipikul. Lalu, mempertaruhkan semuanya pada harapan kecil ini, demi mengambil kembali apa yang telah hilang darinya......
"....tidak, jangan tinggalkan aku sendiri...."
Sebuah suara gemetar memanggilnya dari dunia yang semakin menjauh.
Suara itu semakin menjauh, menjauh, sampai pada akhirnya lenyap sepenuhnya.....
XxxxX
---- Ketika dia terbangun, hal pertama yang menyerang hidung Subaru, adalah bau debu.
"Huh....?"
Menunggu kesadarannya pulih, memutar lehernya dengan mata yang masih tertutup, Subaru sadar kalau dia sudah bangun.
Berbaring miring di tanah dan merasakan sensasi dingin meresap ke dalam tubuhnya, tak diragukan lagi kalau titik pengulangannya masih ada di dalam Makam.
Kemudian, mendudukkan dirinya, dia membuka mata melihat sekelilingnya yang gelap. Pandangannya yang dihalangi oleh air mata, masih belum bisa diandalkan karena baru saja terbangun, dan dia belum bisa menemukan apa yang dia cari.
Namun, dia lega karena bisa kembali dari kematian sekali lagi. Jika tempat dia kembali adalah di dalam Makam, maka titik pengulangannya masih belum berubah.
Di dalam Makam, tepat setelah Subaru menyelesaikan Ujian Pertama. Emilia akan pingsan di sampingnya, dan dia harus memulai dengan membangunkannya.
"kepalaku, sakit...."
Mengusap area di antara alisnya, menggelengkan kepala dengan pelan, otak Subaru mulai bekerja menata situasi saat ini.
Sudah ada banyak hal yang harus dia pikirkan tanpa mengikutkan peristiwa yang terjadi di pengulangan sebelumnya. Tapi tetap saja, dia tidak bisa menemukan satupun solusi. Bahkan, cahaya yang seharusnya sudah dia lihat sekarang malah terasa seperti lampu ngengat yang memikatnya menuju sebuah jebakan baru.
Seolah menghindari satu jebakan malah membawanya menuju jebakan yang lain.
"Rasanya seperti gift gratis yang akan kau dapatkan dari orang curang di Kenzan...."
'Mematikan', adalah penjelasan yang paling pas di sini.
Sanctuary dan Ujian. Hubungannya dengan Garfiel. Serangan di mansion. Misteri hilangnya waktu yang dia miliki, balas dendamnya terhadap Elsa.... dan bagaimana cara menyelamatkan Rem dan yang lainnya.
Mereka adalah masalah yang akan membuat otaknya menjadi bubur, tapi dia sudah cukup beruntung diberi kesempatan untuk mengkhawatirkan mereka.
Kalau tidak, semuanya akan berakhir di sana, dan dia pasti akan menyerah terhadap kemungkinan tersebut. Tapi selama semua itu bisa dia kalahkan, dia pasti bisa menyelamatkan semuanya....
"Berpura-pura tidak tahu apa-apa di depan Emilia memang sangat merepotkan, tapi...."
Menggumamkan hal tersebut, Subaru merasa pandangannya yang kabur mulai menjadi semakin jelas. Mengeluarkan debu dari hidungnya, dia memutuskan untuk melihat keadaan Emilia terlebih dahulu.
Dengan pemikiran tersebut, dia mengangkat tangan kanannya ke atas dahi menggunakannya sebagai pelindung mata, ketika akhirnya dia sadar.
..... Tangan kanannya kehilangan 3 jari.
"N....!? Ahh!?"
Melihat luka yang seharusnya tidak ada di sana, bekas luka yang tak seharusnya ikut terbawa, tenggorokan Subaru mengeluarkan erangan kaget. Dihantam oleh fakta bahwa dia terlalu optimis dalam memandang dunia, Subaru mengarahkan matanya yang gemetar melihat sekeliling.
Lantai yang dingin, dinding batu yang kering. Bau dari jamur. Tempat yang Subaru harapkan adalah di dalam Makam. Tapi kenyataan yang ada di depan matanya adalah sudut Perpustakaan yang penuh dengan barisan rak buku, sebuah ruang yang dipenuhi aroma unik kertas yang mampu bertahan seiring berjalannya waktu.
"Perpustakaan Terlarang... bagaimana...."
Tak bisa dipahami, tubuh fisiknya masih berada di tempat di mana dia seharusnya sudah mengucapkan selamat tinggal. Pikirannya menjadi semakin memburuk, Subaru mulai memeriksa tubuhnya.
Kemungkinan terburuk adalah... ketika dia menginjakkan kakinya di Perpustakaan Terlarang, checkpoint dunia telah berubah.
Tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya, Subaru menatap tangan kanannya yang dia angkat hingga mencapai wajah. Tiga jarinya terpotong, dan sepertiga besar tangan kanannya, hilang. Namun, luka di tangannya sudah menutup, dan dagingnya yang berkerut dan berubah warna, sedang berada dalam proses regenerasi.
Pinggang dan bahu kanannya yang tertembus logam sudah tidak menunjukan luka yang nampak, dan kini hanya menyisakan rasa tidak nyaman serta sensasi tegang di kulitnya.
Paling tidak, ini belum terjadi saat dia memasuki Perpustakaan Terlarang. Kalau begitu, lewat proses eliminasi, hanya ada satu kemungkinan.
"..... Akhirnya kau bangun juga."
Bagi Subaru yang menyadari fakta tersebut, itu adalah suara yang paling tidak ingin dia dengar.
Sikap acuh tak acuh itu, intonasi nada yang seakan bosan dengan dunia, sangat khawatir namun berusaha keras menyembunyikannya, dan suara suprano yang jauh di dalamnya menginginkan sebuah hubungan.
Tak bergerak dari tempat duduknya di lantai, Subaru menolehkan kepalanya.
Bahkan saat ini pun, dia tidak membuang harapan semu kalau dia akan melihat gadis berambut perak di belakangnya. Namun, menghancurkan khayalan tersebut, seorang gadis kecil memakai gaun terduduk di atas tangga kayu.
Tak ada bedanya dari saat sebelum dia kehilangan kesadaran, itu adalah Beatrice, memandang Subaru sambil membawa sebuah buku di tangannya.
Melihat sebuah helaan napas keluar dari mulut Subaru, gadis itu menutup bukunya dan perlahan menuruni tangga.
"Karena tindakan bodohmu, aku jadi harus bersusah payah, kau tahu. Luka di tangan, pinggang, bahu, dan lidahmu seharusnya sudah pulih sekarang. Seharusnya sudah tak terasa sakit."
"......."
"Nyawamu selamat dan kau tidak mengatakan apa-apa? Yaah, mudah-mudahan ini akan memberimu pelajaran agar tidak melakukan sesuatu yang bodoh lagi...."
"Kau.... apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan??"
"W.....?"
Mengucapkan hal tersebut seolah ingin diberi ucapan terima kasih, Beatrice mendekati Subaru yang terdiam hanya untuk mendapatkan kata-kata tak pantas. Dan ketika wajah Beatrice mengernyit,
"......!"
Subaru tiba-tiba berdiri dari lantai, menggerakkan tangan kirinya, dia mencengkeram gaun mewah Beatrice. "Ah!" mulut gadis itu mengeluarkan erangan kaget saat Subaru membawanya mendekat, membawa wajahnya mendekat ke wajah Subaru,
"...... SIAPA YANG MEMINTAMU UNTUK MENYELAMATKANKU????"
"......a."
"Apa kau sadar apa yang sudah kau lakukan? Berkat dirimu, semuanya sia-sia! Semuanya, semua yang bisa kuperbaiki kini berada dalam bahaya, berkat dirimu!! Kenapa kau tidak membiarkanku mati!? Aku masih hidup, ya, tapi apa bagusnya.... APA BAGUSNYA? APAA!?"
Bertindak tanpa mempedulikan nyawanya, Subaru seharusnya memperoleh hak untuk memulai kembali.
Tapi dia ditahan oleh gadis di hadapannya, dan keinginannya tidak terpenuhi. Apa yang tersisa bagi Subaru sekarang hanyalah perasaan kalah yang tak bisa dijelaskan, dan kemarahan tak berujung yang tertuju pada Beatrice.
"Tiba-tiba menyelamatkanku, menyembuhkan luka-lukaku.... apa kau sudah puas sekarang? Kau ingin aku berterima kasih? Ah, yeah, terima kasih! Terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku! Meskipun semuanya lenyap, paling tidak NYAWAKU SELAMAT!!"
"Be-Betty hanya.... hanya....."
"Kau datang menyelamatkanku di saat-saat terakhir, bagaimana caranya aku bisa berterima kasih, hm? Tentu saja, seperti biasa kau memandangku dengan ekspresi santai seolah tidak ada masalah di dunia. Kau hebat dalam hal itu, kan? Kau menyukainya, kan? Memandang rendah, mencibir manusia, dan....."
Mencapai batas kemarahannya, wajah Subaru berkedut membentuk senyum aneh, dia menarik Beatrice mendekat dan melontarkan cacian padanya.
Dengan tindakan tak berperasaan itu, Subaru mencoba mengubur semua kekecawaan, kekalahan, dan kekesalannya. Namun, kata-katanya mendadak berhenti....
".....kh."
"Ah......"
......ketika dia melihat air mata jatuh dari mata gadis yang dia cengkeram.
Melihat air mata tersebut, darah yang memburu di kepala Subaru seketika mereda, dan dendam yang barusan dia lepaskan kini menjadi lebih mengerikan daripada yang bisa dia tahan.
Dengan terurainya dendam yang dia rasakan, jari-jarinya terlepas dari tubuh Beatrice. Tiba-tiba terbebas dari cengkeraman Subaru, tubuh gadis itu kini bersandar pada rak buku di belakangnya, dan jatuh berlutut.
Rasa muak menggelora di dada Subaru. Sadar akan apa yang barusan dia lakukan, dia tidak bisa menahan sifat jelek di hatinya.
Menjijikkan. Menyimpang. Apa itu namanya kalau bukan mencaci? Bagi Beatrice yang tidak tahu tentang 'Return By Death'-nya, dia hanya sekedar menyembuhkan luka-luka Subaru ketika dia hampir mati. Daripada berterimakasih pada orang yang telah menyelamatkan nyawanya, Subaru malah mencaci gadis itu tanpa alasan sama sekali.
Secara logika dia paham. Tapi hatinya tidak mau terima. Terombang-ambing oleh dua kutub di dalam hatinya, mencari sesuatu untuk dikatakan, Subaru mengarahkan pandangannya pada Beatrice yang terjatuh,
"Tidak.... ma-maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk.... itu bukan.... salahmu..."
Jika ini merupakan salah seseorang, maka tak diragukan lagi ini adalah salah Subaru.
Tahu apa yang akan terjadi, tanpa melakukan sesuatu untuk berjaga-jaga, dia masuk ke dalam kandang macan dan menginjak ekornya. Sekali lagi, orang-orang di sekitarnya lah yang harus merasakan akibatnya.
Dan sekarang, menyalahkan semua orang selain dirinya sendiri..... dia sudah tidak punya harga diri lagi.
Secara emosional, dia ingin menyalahkan gadis yang tak tahu apa-apa ini. Dia masih tidak bisa menelan emosinya terhadap fakta bahwa gadis itu terus bersembunyi hanya untuk muncul di saat-saat terakhir.
Namun, tak ada yang bisa mereka lakukan untuk memaafkan Subaru atas cacian yang dia teriakkan pada gadis tersebut.
"Maafkan aku. Luka-lukaku... terima kasih sudah menyembuhkan mereka. Tapi sekarang, aku harus...."
Paling tidak dia harus pergi ke suatu tempat yang jauh dari Beatrice, dan memilih tempat yang berbeda untuk bunuh diri.
Tak ada lagi alasan bagi Subaru untuk hidup di dunia ini. Dia sudah kehilangan banyak hal. Dan Subaru tidak cukup kuat untuk hidup di dunia di mana dia kehilangan apa yang seharusnya dia pertahankan.
Jadi, dengan ucapan terima kasih yang singkat itu, Subaru mengalihkan pandangannya dan bersiap meninggalkan Perpustakaan Terlarang....
"........!!"
.... saat dia menyadarinya, terjatuh di sebelah Beatrice, adalah sebuah buku berwarna hitam.
Sampul yang sederhana. Isi yang tebal. Kira-kira itu seukuran kamus besar, dan kelihatan cukup berat. Bagaimanapun, ada sebuah rasa familiar yang membuat Subaru tidak bisa mengalihkan pandangannya dari buku itu.
'Kenapa bisa ada di sini? Kenapa buku itu ada di sini?'
"Kitab itu.... seharusnya ada di kereta naga.... itu seharusnya.... tidak ada di perpustakaan ini..."
Kitab Pemuja Penyihir yang dulunya milik Petelgeuse, Kitab yang Subaru ambil setelah kematian Petelgeuse, dan sekarang berada dalam kepemilikannya.
Memutuskan kalau buku itu tidak akan ada di perpustakaan manapun, Subaru menyimpannya sendiri sambil mewaspadai fungsi tak diketahui yang mungkin dimilikinya. Jadi, bagaimana bisa buku itu ada di sini?
Menggelengkan kepalanya menanggapi situasi yang tak bisa dipahami ini, Subaru mengulurkan tangannya ke arah Kitab yang terjatuh di lantai, berharap dengan memeriksa isinya akan menyingkirkan kegelisahan ini. Tapi....
"Tidak!!"
Sebelum tangan Subaru bisa meraihnya, Kitab tersebut sudah direbut.
Membuat keliman gaunnya berantakan, dengan napas terengah-engah, Beatrice memeluk Kitab itu sambil menjauh dari Subaru. Menjaga jarak di antara mereka, menahan isak tangis, Beatrice menatap Kitab yang ada di lengannya, dan menghembuskan napas lega saat mengelus sampul buku itu.
Melihat gestur seolah dia sedang membelai sesuatu yang sangat dia sayangi, rasa takut yang sangat tidak menyenangkan menjalari hati Subaru,
"Kenapa kau.... memperlakukan benda itu seperti sesuatu yang penting buatmu?"
"....."
"Itu adalah buku milik Pemuja Penyihir..... kan? Pasti bukan, ya kan? Kebetulan saja itu terlihat sangat mirip, tapi mereka adalah benda yang berbeda, benar? Kau hanya tidak ingin aku salah paham, makanya kau menjuh dariku, kan? Yeah, aku tahu, aku punya kebiasaan langsung mengambil kesimpulan begitu saja, aku juga jadi sangat keras kepala ketika suatu gagasan ada di dalam kepalaku, aku juga sudah mengatakan sesuatu yang jahat kepadamu, mataku terlihat menakutkan dan kepribadianku sedikit menyimpang, tapi...."
"....."
"Hey.... kau akan menyangkal semua itu kan??"
Ketika Subaru terus mengoceh, mencoba mencari alasan menggantikan Beatrice, gadis itu malah hanya terdiam. Sampai pada akhirnya, Subaru hanya bisa memohon.
Melihat Subaru bersikap seperti itu, Beatrice menghela napas kecil dan mengulurkan buku itu, sehingga Subaru bisa melihatnya,
"Ini tepat seperti apa yang kau bayangkan.... Ini adalah Kitab. Seperti katamu, ini sama seperti milik Pemuja Penyihir. Panduan menuju kebahagiaan. Dasar dari kehidupan. Dan kurasa, satu-satunya kebenaran."
"Ke-kenapa.... kau memilikinya? Apa me-mereka menjualnya di suatu tempat? Sebuah benda keberuntungan yang memberitahumu masa depan atau semacamnya? Sebuah panduan untuk kehidupan nyata yang menghancurkan keseimbangan dalam game, atau... ah, ayolah!"
"....kurasa Betty.... tidak diperintahkan untuk menjawab pertanyaan itu."
Menanggapi suara gemetar Subaru, Beatrice dengan cepat membalik halaman buku di tangannya dan memberi Subaru jawaban dingin tersebut. Melihat mata gadis itu yang hanya terfokus pada isi bukunya, Subaru merasa lidahnya kelu.
"Kau tidak akan melakukan sesuatu... kalau buku itu tidak memerintahkanmu?"
"Pertanyaan itu tidak tertulis di dalam buku."
"Bagaimana dengan menyembuhkan luka-lukaku? Dan menyembunyikanku di Perpustakaan Terlarang ketika aku akan terbunuh?"
"Kurasa, pertanyaan itu tidak tertulis di dalam buku."
"Dan bagaimana dengan pembicaraan tadi? Dan menyelamatkanku... ketika aku berusaha mati...?"
"..... Aku tidak tahu."
Merendahkan pandangannya, Beatrice hanya memberi jawaban tanpa emosi.
Melihatnya seperti boneka tanpa ada satupun emosi, paru-paru Subaru mengejang penuh rasa kengerian. Dengan cahaya yang mengkilat di matanya sampai-sampai dia lupa cara untuk bernapas, Subaru berteriak sekeras-kerasnya,
"JADI KAU TIDAK AKAN MELAKUKAN SATU HAL PUN KALAU BUKU ITU TIDAK MEMERINTAHKANMU!?"
"....Kurasa, iya. Memang begitulah. Semuanya sesuai dengan panduan Kitab ini. Itulah arti kehidupan Betty, dan tujuan akan keberadaan Betty."
"Jadi... Kau membantuku hanya karena itu tertulis di dalam buku? Menyelamatkanku ketika aku sedang sekarat di hutan akibat para Mabeast? Menyelematkanku ketika hatiku hancur? Lelucon kita, argumen-argumen kita, saat kita bersenang-senang seperti seorang idiot.... tak satupun dari mereka adalah keinginanmu sendiri.... APA ITU YANG INGIN KAU KATAKAN???"
"Ya... ITULAH YANG INGIN KUKATAKAN PADAMU!!"
Menutupi bagian terakhir kata-kata tajam Subaru, Beatrice berteriak balik, wajahnya penuh amarah. Mengambil satu langkah ke depan, dia menunjuk ke arah Subaru,
"Semua yang sudah Betty lakukan, Betty lihat, dan Betty katakan sampai saat ini, semuanya tertulis di sini. Kau.... sesuatu sepertimu tidak akan pernah bisa menggerakkan hati Betty. Sombong pun seharusnya ada batasnya, manusia!"
"....."
"Betty akan melakukan apa yang diharapkan pada Betty, dan memenuhi arti keberadaan Betty. Kehidupan ini, sisa waktu ini, dan semua yang sudah kukorbankan demi tujuan ini.... AKU TIDAK AKAN MENYANGKALNYA DEMI MAKHLUK SEPERTIMU!!"
"Bea...."
Emosi meluap dari Beatrice seperti sebuah bendungan rusak. Dan meski Subaru mencoba menjawab saat itu juga, dia seketika didiamkan oleh tekanan kuat nan tiba-tiba yang berasal dari arah depan.
Merasakan sensasi terdorong oleh angin, tak bisa melawan, Subaru sadar kalau tubuhnya terdorong menuju pintu.
... Dan begitulah, Subaru terangkat dari pijakan kakinya.
"Hentika.... Beatrice!"
"Semua milik Beatrice adalah demi ibu! Dan ibu adalah satu-satunya yang Betty butuhkan! Aku tak peduli denganmu... aku tak peduli..."
"......"
"Aku tak peduli. Aku benci denganmu. Aku benci denganmu.... AKU BENCI DENGANMU!!"
Menggelengkan kepalanya dan menyembunyikan air mata yang mengalir di pipinya, gadis itu berteriak ke arah Subaru saat dia terlempar ke udara.
Pintu terbuka. Perpustakaan Terlarang mengusir Subaru keluar. Sebelum melewati pintu, dengan tangan kanannya Subaru berpegang pada kusen. Tapi, dengan tidak adanya ketiga jari tangannya, itu tidaklah cukup. Hanya jari telunjuknya yang bertahan, itu pun hanya memberi Subaru beberapa detik waktu jeda.
Mengangkat wajahnya, Subaru mencoba berteriak ke arah gadis yang menangis itu...
"Beatri....."
"......u-sama."
Tenggelam oleh suara pelan Beatrice, panggilan Subaru tidak dapat mencapainya.
Diterbangkan. Dilempar keluar. Ruang terdistorsi saat tubuh fisik Subaru diusir ke tempat yang tidak seharusnya ada...
"....."
Pintu tertutup dengan keras. Angin yang berhembus seketika berhenti, dan keheningan sekali lagi menaungi Perpustakaan.
Gadis yang ditinggal sendirian, dengan ekspresi seolah sedang menahan isak tangisnya, dia perlahan berjalan menuju ke kedalaman Perpustakaan.... berjalan ke atas tangganya dan duduk di sana, dia memeluk lututnya dan membuka Kitab dengan jari-jarinya yang gemetar. Kemudian,
"Kenapa.... Betty tidak pernah.... bisa....."
Di hadapan halaman kosong yang tak tertulis apa-apa di sana, hanya tangisannya yang menggema ke seluruh ruang hening tersebut.
---End---
Lanjut ke -> Re:Zero Arc 4 - Chapter 36
Baca Semua Chapter -> Index Re:Zero Arc 4
Translator : Zhi End Translation..
3 Komentar
NTAAAPZ GAN, LANJUTKAN DONG :3
Balasmantap min.. semoga nggak delay lagi
BalasNama buku tadi sepertinya masih mengandung kiasan yg memiliki arti lain...
Balas