Baca Light Novel Hataraku Maou-Sama Volume 5 - Chapter 2 (Part 2) Bahasa Indonesia

[Translate] Hataraku Maou-Sama Volume 5 - Chapter 2 : Raja Iblis Berbicara Tentang Hubungan Antar Manusia -2


Baca Light Novel Hataraku Maou-Sama translate bahasa Indonesia




Chapter 2 : Raja Iblis Berbicara Tentang Hubungan Antar Manusia.

Rika sangat paham mengenai masalah ini.

Dipikir baik-baik, karena orang itu sudah bilang begitu sebelumnya, jika Rika mengubah pikirannya di menit-menit terakhir, dia mungkin saja akan kesulitan.

Dia begitu memperhatikan masalah ini, dan ketika Rika memikirkannya dengan cermat, sikapnya ketika berdua bersama orang itu memang benar-benar tidak biasa.

Akan tetapi....

"Mengantisipasi perkembangan yang tak terduga juga sebuah kebenaran."

"Apa ada sesuatu yang salah?"

"Tidak, tidak ada!"

Kata Ashiya yang berdiri di samping Rika dengan penuh perhatian, Rika menggelengkan kepalanya dengan sebuah senyum kecut.

Rika, yang terus khawatir tentang bagaimana dia harus berdandan, akhirnya memilih baju pendek bergaya barat yang tidak akan menarik terlalu banyak perhatian ketika digunakan jalan-jalan, dan juga hot pants. Dia memadukannya dengan sandal karet yang biasa dia gunakan, dan hasilnya, itu adalah jawaban yang tepat.

Ashiya berdiri di sampingnya, tapi di depan mereka berdua terdapat Maou, yang tidak Rika ketahui apakah dia itu teman Ashiya ataukah mantan bosnya, dan juga teman Emi, Kamazuki Suzuno.

Maou dan Ashiya mengenakan baju UNIXLO yang terlihat hampir mirip seperti saat Rika bertemu dengan mereka sebelumnya, sementara Suzuno, seperti biasa, adalah satu-satunya orang yang mengenakan Kimono.

Jika dia menjadi begitu termotivasi dan berdandan secara berlebihan, maka akan ada perbedaan besar antara dia dan kedua pria itu. Akibatnya, pakaian Rika tidak akan bisa membentuk keseimbangan di dalam grup tersebut.

Mereka berempat bertemu di gerbang tiket yang ada di gerbang barat stasiun Shinjuku, pergi melewati underpass, dan bersiap-siap menuju Toko Peralatan Rumah Tangga Yodogawa Bridge yang terletak di depan terminal bus jarak jauh.

Pada awalnya Rika hanya membawa tas bahu kecil yang digunakan untuk membawa dompet, HP, dan berbagai peralatan rias, tapi saat ini dia membawa sebuah tas plastik besar di tangannya.

Oleh-oleh khas Choshi yang ada di dalamnya adalah, Sanma rebus, Saba, dan Iwashi. Itu adalah hidangan lokal yang diberikan oleh Ashiya.

Sebelum berangkat, Ashiya sudah meneleponnya dan memberitahunya hal ini.

Ketiga jenis produk ikan itu adalah 100% 'hidangan lokal' tidak peduli bagaimanapun kau melihatnya, dan tidak ada maknanya sama sekali.

"Huuh, lupakan."

Rika merasakan panas yang berbeda dengan panasnya musim panas, sebuah senyum tanpa sadar terlihat di wajahnya.

Hadiah ini memang benar-benar cocok dengan gaya Ashiya.

Jika dia mengabaikan masalah ini, bagi Rika yang hidup sendiri, hidangan-hidangan yang bisa dimakan dengan nasi ini, memang sangat bermaanfaat baginya.

Berpikir ke arah ini, sebenarnya ini sangat berbeda dengan masa kecil dulu di mana perasaan nyaman saja sudah cukup. Meski bisa dianggap sebagai sebuah perkembangan, hal ini juga bisa dilihat seperti jadi orang dewasa dalam artian negatif.

"Lalu? Apa yang ingin semuanya beli hari ini?"

Rika mengesampingkan perasaannya dan bertanya dengan volume yang bisa didengar oleh Maou dan Suzuno.

"Aku hanya ingin membeli televisi. Sementara untuk kedua orang ini, aku tidak yakin."

"Televisi, televisi!!"

Kata Suzuno dengan yakin kalau dia tidak tahu apa yang ingin Maou beli, tapi Maou mengungkapkan tujuannya dengan sikap yang begitu jujur. Rika mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Ashiya yang berada di sampingnya, dan tidak peduli bagaimana dia mengartikannya, ekspresi itu terlihat seolah-olah Ashiya ingin sekali menentang hal ini.

"Lalu bagaimana dengan HP?"

".... Itu, aku akan memutuskannya setelah melihat-lihat harga televisi..."

"Apa maksudnya dengan HP?"

Maou menolehkan kepalanya dan bertanya karena dia kepikiran pertanyaan Rika.

"Bukankah sudah kubilang sebelumnya? Karena Ashiya-san tidak memiliki HP sampai sekarang, jadi aku setuju untuk memberinya saran mengenai HP."

"Kapan kau membuat kesepakatan itu?"

Maou tidak tahu kalau Ashiya, Rika, Chiho mengikutinya ketika berada di Tokyo Big Egg Town.

Di mata Maou, sama seperti Emi, dia merasa kalau Ashiya dan Rika tiba-tiba menjadi sangat dekat, dia juga merasa begitu terganggu karena tidak tahu kapan kedua orang itu membuat kesepatakan tersebut.

"Tapi soal televisi, aku tidak yakin kalau aku bisa memberimu saran. Di rumahku hanya terpasang satu set televisi digital, dan aku tidak tahu banyak soal tv itu sendiri."

"Tidak, Suzuki-san punya televisi saja sudah sangat penting. Kau membeli televisimu sendiri kan?"

Apartemen Rika terletak di Takadanobaba, sebuah TV LCD tipis di dalamnya adalah sesuatu yang dia beli dengan menabung uangnya setelah pindah ke Tokyo.

"Yeah, itu adalah tipe Ragza milik Toshiba, meskipun itu adalah model lawas dari saat dimulainya era televisi digital, tapi televisi itu memiliki port video bebas dan port video analog, jadi aku juga membeli Blu-ray akhir-akhir ini."

Seraya berbicara, Rika mulai mengenalkan fitur-fitur televisi yang ada di rumahnya.

Akan tetapi, ketiga orang itu hanya saling menatap dengan bingung karena mereka tidak mengerti apa yang Rika bicarakan.

"Erhm...."

"Meski Rika-dono sulit mempercayainya...."

Suzuno berdeham, mengucapkan komentar pembuka tersebut.

"Sejujurnya, pengetahuan kami mengenai peralatan elektronik itu hanya sampai pada era Showa."

"Yang seperti itu tuh cuma kau kan?"

Suzuno mengabaikan komentar Maou.

"Huuh.... ini sama dengan saat aku membeli HP, bagaimana aku mengatakannya ya, meskipun orang itu sudah menjelaskannya setelah mengkonfirmasi pengetahuan dasar yang kumuliki, dan bahkan jika mereka memberitahuku apa yang HP ini bisa lakukan dan apa saja fiturnya, pada dasarnya aku tidak tahu apa artinya benda-benda ini."

"Sehubungan dengan hal ini, aku punya sesuatu yang ingin kukonsultasikan dengan Suzuki-san terlebih dahulu..."

"Eh?"

"Toshiba itu, apa itu merujuk pada sebuah perusahaan elektronik?"

"Kau bahkan tidak tahu tentang hal ini?"

Pertanyaan Ashiya membuat Rika menjadi begitu terkejut.

"Tu-tunggu dulu, tunggu dulu. Aku mulai berpikir kalau pergi ke toko elektronik seperti ini akan sangat berbahaya."

Rika berhenti berjalan dan setelah berpikir sebentar, dia mengangkat tangannya dan mengatakan,

"Se-semuanya, apa kalian sudah makan? Kenapa kita tidak makan siang terlebih dahulu dan menggunakan waktunya untuk meninjau kembali beberapa pengetahuan dasar yang kalian miliki?"

"Ah... Apa ini sudah waktunya? Aku tidak terlalu nafsu makan karena cuaca yang sangat panas, jadi aku lupa."

Maou mengusap keringat yang ada di dahinya dan mengangguk setuju.

"Aku juga belum makan, tapi....."

Suzuno memberikan sebuah senyum kecut dan mengarahkan dagunya ke arah Ashiya.

"Masalahnya, apakah si tuan kikir itu setuju untuk makan di luar?"

"Kamazuki Suzuno.... Kau tidak berpikir kalau aku ini adalah orang yang pelit kan?"

Ashiya menjawab Suzuno dengan sikap yang angkuh dan kemudian dia menoleh ke arah Rika...

"Selama satu porsi tidak berharga lebih dari 300 yen, maka aku juga akan bersiap-siap untuk makan."

Ashiya menyatakannya dengan terang-terangan.

""......""

Bahkan Maou dan Suzuno pun hanya bisa berdiri diam mematung.

Hal itu masih bisa dipahami jika 500 yen, tapi makanan yang bisa dibeli dengan 300 yen itu sangat sangat terbatas. Dengan harga segitu, bahkan memesan menu pas di McRonalds ataupun restoran cabang Gyudon pun masih akan sangat memaksa.

Akan tetapi ekspresi Rika sama sekali tidak terpengaruh.

"Kalau begitu kita sebaiknya pergi ke restoran itu. Tidak masalah kalau kita pergi ke tempat yang kuketahui kan? Tempat itu ada di dekat sini."

Setelah mengatakannya dengan acuh tak acuh, Rika mulai berjalan memimpin jalan.

"Apakah tempat seperti itu benar-benar ada? Sebuah tempat makan yang hanya menghabiskan 300 yen...."

Maou yang mengikuti di belakang Rika, menanyakan hal ini.

"Heeeh, aku sudah menduga kalau semuanya akan jadi seperti ini, meski aku tidak yakin apakah kalian akan kenyang makan di sana atau tidak."

Rika dengan percaya diri sampai ke lantai dasar dan membawa ketiga orang itu ke depan sebuah gedung bisnis campuran.

Setelah melihat papan yang ada di depan restoran itu, Suzuno, yang sangat sensitif, adalah orang pertama yang bereaksi.

"Hanamaru Udon... Apa itu benar-benar Udon?"

Hanamaru Udon adalah cabang restoran udon yang tersebar ke seluruh negeri dari prefektur Kagawa, daerah utama penghasil Udon. Selain memiliki menu utama udon, restoran ini juga dikenal memiliki restoran cabang di seluruh negeri yang menggunakan gaya prasmanan untuk para pelanggan agar mereka bisa memilih menu dan toping mereka sendiri, dan ciri paling special dari tempat ini adalah, Sanuki Udon tingkat tinggi yang bisa dimakan hanya dengan 150 yen.

"U-udon seharga 150 yen?"

Orang yang menerima syok paling besar tidak lain tidak bukan adalah Ashiya.

Meski tidak bermaksud untuk membuat repot orang lain, tapi tetap saja, Ashiya tidak pernah menduga kalau ada restoran yang harga makanannya bahkan lebih murah dibandingkan dengan harga yang dia ajukan.

"Aku sudah pernah mendengarnya sebelumnya.... Tapi di sini ya letak si Hanamaru itu?"

Maou yang bekerja di restoran cepat saji, sudah mengetahui keberadaan tempat ini, tapi ini adalah pertama kalinya dia mengunjungi tempat yang sesungguhnya.

"Satu mangkok kecil udon di sini hanya berharga 150 yen, jika kau menambah dua piring lagi, maka kau akan kenyang dengan 300 yen."

"Su-Suzuki-san bagaimana kau tahu tentang tempat ini?"

"Aku terkadang makan di sini. Kaldu pada udon Tokyo terlalu kuat menurutku, tapi rasa dari sup di sini lebih lembut jadi aku lumayan menyukainya, dan tempat ini tidak akan menyiksa dompet kita juga, kan?"

"Yeah...."

"Pokoknya, ayo kita isi perut kita terlebih dahulu di sini dan meninjau kembali beberapa pengetahuan dasar sebelum akhirnya pergi ke toko elektronik. Meski aku juga tidak tahu banyak mengenai tempat ini, tapi ini benar-benar berbahaya untuk kalian semua dengan keadaan kalian yang seperti sekarang ini."

Rika pertama-tama mencontohkan cara memesan.

Selanjutnya adalah Ashiya, Maou, yang meniru apa yang dilakukan Ashiya, dan terakhir Suzuno. Mereka berempat akhirnya menyelesaikan pesanan mereka sendiri-sendiri.

"Suzuno, apa kau hanya memesan sup udon?"

Rika mau tidak mau harus bertanya. Bahkan Maou dan Ashiya saja memesan 150 yen sup udon, kentang goreng dan Chikuwa goreng, tapi tak disangka, Suzuno hanya memesan 150 yen mangkok kecil sup udon.

"Aku ingin mencoba rasanya terlebih dahulu, aku ingin merasakan langsung satu mangkok sup udon ini."

Suzuno menjawabnya dengan enteng.

Merasakan langsung itu berarti memakan udon tidak dalam keadaan panas atau dingin, melainkan dengan temperatur yang ditentukan oleh Hanamaru.

Untuk 150 yen, selain fakta bahwa itu sangat murah, lebih dari itu, makanan ini bahkan dapat mengimplikasikan perasaan Hanamaru yang berharap kalau semua orang bisa dengan mudah menikmati Sanuki Udon. Ini juga menunjukan kalau mereka sangat percaya diri dengan udon.

"Karena aku sudah memutuskan untuk menantangnya, maka aku tidak bisa mundur."

".... Apa maksudnya itu?"

Setelah mendapatkan meja untuk empat orang dan mengambil sumpit, di antara keempat orang itu, hanya Suzuno lah yang terfokus seperti seorang master pedang yang siap menarik pedangnya, dia sedang berpikir keras di depan mangkok udon tersebut.

"Ka-kalau begitu, Itadakimasu!"

Ucap Rika seolah-olah dia adalah mahasiswa yang bertugas mendistribusikan nutrisi makan siang kepada semua orang, Ashiya dan Maou pun meraih udon dengan sumpit mereka.

"Itadakimasu!"

Suzuno tiba-tiba membuka matanya dan mulai memakan suapan udon berukuran besar yang sedikit hangat sekaligus.

"!!!"

Suzuno sedikit menunduk saat ekspresinya berubah.

"Ini, ini...."

"Hey, hey, Suzuno?"

Suzuno berlagak tuli ketika Maou memanggilnya, dia pun langsung memulai gelombang serangan keduanya. Setelah itu, hanya dalam satu menit, dia sudah menghabiskan semangkok sup udonnya di hadapan ketiga orang tersebut.

Ketiga orang itu terkejut karena menyaksikan cara makan yang begitu terang-terangan tersebut. Suzuno, setelah menelan suapan terakhir supnya, dia sedikit mendesah, dan setelah itu, bahunya mulai bergetar tak terkendali.

"Kenapa.... Kenapa....."

"Ada, ada apa Suzuno? Apa itu tidak cocok dengan seleramu?"

Reaksi Suzuno benar-benar tidak normal, oleh karenanya, Rika pun mulai khawatir. Namun, Suzuno menatap ke arah Rika dengan tatapan sengit di matanya, dan dengan sebuah desahan pelan....

"Kenapa.... Udon seenak itu hanya berharga 150 yen?"

"Eh?"

"Ketebalannya, teksturnya, kelembutannya, rasa asin, ataupun sensasinya ketika memasuki tenggorokan..... itu semua sangat sempurna dalam setiap aspek."

"Be-begitu ya.... Ba-baguslah kalau kau menyukainya...."

Suzuno mempertahankan ekspresi kakunya, dia mengambil mangkok itu dengan sikap yang begitu serius seperti seorang ahli pencicip makanan, dan mengatakan...

".... Aku akan pesan semangkok lagi."

"Si-silakan.."

Maou menatap punggung Suzuno yang bisa menyebabkan orang lain mengangkat bahu, dan berbicara sambil memakan udonnya.

"I-ini sangat enak, tapi apa memang seenak itu?"

"Kamazuki nampaknya sangat menyukai udon, mungkin dia memiliki pemikiran khusus tentang udon?"

Ashiya menggunakan sumpitnya dengan tenang dan menjawab dengan acuh tak acuh. Dan Rika, karena alasan yang tidak diketahui, merasa terguncang ketika dia mendengar kalimat tersebut.

Kenapa Ashiya tahu makanan yang disukai oleh Suzuno?

Rika tahu kalau kedua orang itu adalah tetangga di dalam bangunan kontrakan yang sama, tapi apakah mungkin hubungan mereka seakrab itu sehingga mereka tahu kebiasaan makan masing-masing?

"Huuuh..."

Saat dia memikirkan hal ini, Rika dengan cepat menggelengkan kepalanya. Itu bukanlah sesuatu yang aneh. Meskipun ingatannya tidak jelas, tapi Rika sendiri juga mengingat makanan apa yang disukai oleh orang-orang di sekitarnya.

Suzuno kenal Ashiya lebih dahulu dibandingkan dengannya, dan bahkan tinggal di sebelah kontrakan Ashiya, yang mana itu berarti, sampai tingkat tertentu, Ashiya mungkin memiliki kesempatan untuk mengetahui makanan apa yang disukai oleh Suzuno.

Untuk membuang perasaan tidak nyaman itu, Rika dengan sengaja menggigit satu gigitan besar pada pancake goreng yang dia pesan.

"Kalau begitu, masalah televisi, meski kalian tidak bisa menjelaskannya, tapi bisakah kalian memberitahuku model apa yang ingin kalian beli?"

Sebagian karena ingin mengalihkan perasaannya, Rika menggunakan nada bicara yang lebih ceria untuk menanyakan hal tersebut.

"Tidak masalah selama aku bisa menonton acara televisi."

"Begitu ya."

"Tadi, Suzuki-san menyebutkan kalau TV di rumahmu adalah model tertentu dari Toshiba kan...? Apa aku boleh tahu apakah model 26 itu, mengacu pada nomor pemasaran atau nomor model atau sejenisnya?"

Jawaban santai Maou memang begitu menyusahkan, tapi pertanyaan Ashiya juga benar-benar di luar ekspektasi Rika.

"Ah, tidak, tidak, itu sebenarnya mengacu pada ukuran layar atau ukuran dari televisi itu sendiri...."

Rika yang menjawabnya, mulai merasa bingung sendiri karena kedua makna itu memang tidak begitu berbeda, normalnya itu adalah jawaban yang tepat.

Akan tetapi, pertanyaan Ashiya sudah jauh melebihi ketidaktahuan tentang peralatan rumah tangga.

Bagi Rika sendiri, dia memang tidak terlalu familiar dengan barang-barang elektronik. Tapi paling tidak, sejak dia dilahirkan, televisi dan recorder itu sudah ada, setelahnya hanya media perekaman dan prosedur pengoperasiannya saja yang sedikit berubah. Bahkan pemutar Blu-ray, tidak seperti penampilannya, ternyata itu tidak begitu sulit untuk dioperasikan.

Saat ini, hal-hal yang sebelumnya hanya bisa dilakukan melalui layar analog, sekarang bisa dilakukan pada layar digital.

Namun, pertanyaan Ashiya memiliki perbedaan mendasar dari apa yang disebut kesenjangan digital.

"Karena 26 dianggap normal, maka sedikit lebih besar itu paling tinggi adalah 29 ya."

"Eh?"

Rika kembali mengernyit karena Maou mengatakan hal-hal yang aneh.

"Kalau begitu aku ingin membeli yang sedikit lebih besar, televisi ukuran 27 mungkin. 24 terlalu kecil, jika memungkinkan aku ingin yang 26, 27, atau 28..."

Setelah menyebutkan angka-angka yang Maou katakan, Rika akhirnya mengerti apa yang Maou maksudkan, dia sadar kalau dia tidak akan bisa membuat orang-orang ini paham tentang televisi dengan cara yang normal.

"Kau seenaknya sendiri lagi..."

"Eh?"

"Saat ini, model televisi rumahan terbaru, minimal adalah ukuran 32. Jika tidak ada batasan biaya, bahkan 50 atau 60 pun bisa dianggap normal, okay? Jika aku meletakkannya secara horizontal di atas lantai, ukurannya sekitar setengah tsubo (satu tatakan tatami)."

"Membeli TV besar seperti itu, memangnya apa yang ingin mereka tonton?"

Pertanyaan Maou bisa dianggap beralasan.

"Orang-orang itu begitu keras kepala jika berhubungan dengan gambar atau kualitas suara, jadi mungkin mereka ingin menggunakannya untuk menonton film."

"Untuk acara TV normal, apa mereka akan menggunakan layar sebesar itu juga untuk menontonnya?"

Ashiya yang merasa merinding karena mendengar ukuran setengah tsubo, menanyakan hal tersebut, Rika, mau tidak mau harus membayangkan adegan yang disebutkan Ashiya.

"Itu, sepertinya agak menjengkelkan."

Memang tidak masalah jika itu adalah film atau acara dokumenter, tapi jika layar berukuran besar dan berkualitas tinggi seperti itu digunakan untuk menonton acara berita, acara pemerintah, ataupun variety show, pasti tidak akan ditemukan poin apapun di dalamnya.

Ketika dia mencoba membayangkan seluruh dinding dipenuhi oleh wajah pembaca berita, Rika pun sedikit tertawa.

"Huuh, pokoknya, tidak peduli apapun alasannya, hal-hal seperti itu sudah berada di luar jangkauan kita sebagai orang miskin. TV di rumahku berukuran 26 inchi, kira-kira sebesar ini. Sebenarnya model-model yang dijual sekarang kebanyakan adalah model televisi berlayar flat, selain itu, kita juga harus melihat tumpuannya dulu, sebelum memutuskan di mana akan menaruh televisinya."

Rika membuat sebuah bentuk segiempat di depannya untuk menggambarkan ukuran layar televisi miliknya.

"Kau punya dana berapa?"

"40.1239 yen."

Maou langsung menjawabnya.

"Kenapa itu sangat rinci?"

"Karena kami juga mempertimbangkan situasi keuangan kami."

"Boleh aku tahu apakah.... 40.1239 yen itu bisa untuk membeli sebuah televisi?"

Ashiya bertanya dengan gugup.

"Kami sudah mencari tahu sebelum pergi dari rumah... Tapi kami hanya menemukan barang-barang bekas, situs online shop yang rumit, ataupun informasi kalau harganya akan lebih murah jika membeli sekaligus jaringan broadband-nya.... Pada akhirnya, kami masih tidak tahu berapa harga untuk membeli televisi."

"Yeah, jika ingin membeli barang-barang elektronik, lebih baik memeriksa barangnya secara langsung."

Setelah mengucapkan komentar pembuka tersebut, Rika menganggukan kepalanya pelan dan mengatakan...

"Kalau ada 40.000 yen, itu seharusnya sudah cukup untuk membeli televisi kecil model 20?"

"Yes!"

"Apa....."

Maou memperlihatkan pose kemenangan setelah mendengar jawaban Rika, di sisi lain, ekspresi Ashiya berubah menjadi sedikit suram.

Pada saat itu, Suzuno yang membuat pesanan tambahan pun kembali.

"Mangkok yang besar!"

Kali ini Suzuno membawa mangkok besar yang ukurannya dua kali lipat dari mangkok sebelumnya, di dalamnya terdapat sup udon yang sama.

"Bahkan mangkok yang besar pun hanya berharga 400 yen, bagaimana bisa mereka mendapatkan uang kalau begini... Dengan situasi pangan Jepang, muncul lagi sebuah misteri baru. Oh, topiknya sudah kembali lagi ke masalah televisi ya."

Suzuno yang sepertinya memiliki waktu luang untuk makan dan memperhatikan sekitarnya, menanyakan hal ini sambil memakan udonnya dengan ekspesi yang lebih lembut dibandingkan sebelumnya.

"Budget-ku sekitar 70.000 yen. Apa itu cukup untuk membeli sebuah televisi?"

"70.000 yen itu harusnya sudah cukup untuk membeli model yang lumayan bagus. Kurang dari setahun, akan ada peralihan total menuju era televisi digital, jadi tidak heran jika beberapa model lama tiba-tiba menjadi lebih murah."

"Apa sesuatu yang seperti itu benar-benar ada.... televisi digital sialan.... tidak peduli apa yang terjadi, sepertinya kau akan menghalangiku..."

Tak diketahui apa yang membuat Ashiya menjadi begitu marah, hal itu menyebabkan ketiga orang itu khawatir jika saja dia mematahkan sumpitnya.

"Selain itu... Jika kita pergi ke toko barang-barang bekas, mungkin kita bisa membeli model televisi CRT yang besar dengan harga di bawah 10.000 yen... tapi analog sinyal tidak bisa diterima sekarang, jadi tidak akan ada gunanya meski kau membelinya."

"Lalu kenapa benda seperti itu masih dijual?"

Maou dengan polos mengajukan sebuah pertanyaan.

"Karena, selain mengganti antenanya, televisi digital juga bisa dinikmati dengan menghubungkan sebuah kabel ke kabel televisi. Kalau ingin seperti ini, satu set topbox bisa disewa dari operator kabel untuk menonton televisi digital dengan menggunakan televisi analog model lama. Sepertinya ada cukup banyak orang yang tidak ingin membuang televisi lama mereka yang masih bisa digunakan."

"Artinya, meskipun menggunakan televisi CRT ataupun televisi transistor, mereka masih bisa ditonton menggunakan peralatan-peralatan itu?"

".... Ugh, aku tidak yakin mengenai masalah itu. Selain itu bukankah transistor hanya digunakan pada radio?"

Suzuno menanyakan hal tersebut dengan antusias karena alasan yang tak diketahui, Rika menggelengkan kepala untuk menyangkalnya. Dan lagi, apa sih yang ada di pikiran Suzuno ketika menanyakan hal-hal seperti itu?

"Ya ampun, bukan apa-apa. Benda-benda di Jepang berevolusi dengan sangat cepat, jadi pada awalnya aku berpikir kalau barang-barang tua itu akan segera menghilang. Aku tidak pernah menyangka kalau masih ada teknologi yang mempertahankan barang-barang tua, itu membuatku sedikit senang."

"Ini sedikit menggangguku.... Tapi Suzuno, apakah kau juga baru kembali dari luar negeri seperti Emi?"

"Eh?"

"Itu karena kau terlihat sering mengatakan sesuatu seperti 'Jepang ini dan itu'."

".... Ah, yeah, itu benar. Sebenarnya keluargaku adalah pendeta dari generasi ke generasi, jadi aku berada di luar negeri selama ini..."

Pertanyaan Rika membuat Suzuno, dengan sikap yang sangat jarang, terlihat kalang kabut mencari sebuah alasan.

"Kau terlalu fokus pada udon."

Maou yang duduk di seberang Suzuno, menggumam, Suzuno yang mendengarnya menendang kaki Maou dengan wajah memerah.

Meski begitu, mungkin karena Suzuno tidak benar-benar berbohong, Rika juga tidak begitu curiga.

"Jadi memang ada ya orang-orang sepertimu yang berkaitan dengan penyebaran agama. Ketika aku menonton di televisi kalau ada pendeta Jepang yang pergi ke Africa untuk mengenalkan kristen, aku benar-benar berpikir kalau dunia itu sangat luas."

".... Jadi di negara ini ada juga orang-orang seperti itu...."

Suzuno menatap Rika dengan takjub.

"Kupikir orang Jepang tidak memiliki ketertarikan terhadap agama."

"Ada sebuah ketertarikan besar kok. Kalau tidak ada, kenapa situs mobile memiliki bagian ramalan ataupun bagian penarikan tongkat nasib?"

"Karena kau bisa mendapatkan keberuntungan dengan menelepon ke suatu tempat tertentu?"

"Bukan, tapi itu karena mereka tidak sama dengan prakiraan cuaca ataupun hotline pemberitahuan waktu."

"....."

Rika memang tidak memberikan contoh tersebut dengan maksud tertentu, tapi Maou tetap terdiam karena kombinasi jawabannya.

"Bukan hanya kantor perusahaan informasi saja yang memiliki semacam kuil 'dewa naga', bahkan perusahaan elektronik pun juga akan meminta para pendeta untuk mengusir setan-setan di tempat mereka, sebelum akhirnya membangun sebuah perusahaan. Dan sebaliknya, seharusnya ada sebagian orang yang tidak pernah menarik tongkat nasib selama hidup mereka, ya kan? Aku seharusnya sudah pernah bilang kalau keluargaku juga memiliki sebuah perusahaan kan? Tidak hanya di dalam kantor yang ada di rumahku saja yang memiliki kuil 'dewa naga', bahkan di sudut tempat yang difungsikan sebagai perusahaan pun juga digunakan untuk memuja Inari-sama. Dulu, ketika aku masih kecil, aku selalu membantu membersihkannya setiap hari."

"Apakah perusahaan itu membuat Inari Sushi?"

Suzuno tanpa sadar melihat ke arah Inari Sushi yang berada di meja prasmanan.

"Hey, Suzuno, apa kau tidak bersikap terlalu bodoh?"

"Eh?"

Suzuno menatap Maou yang menoleh ke arah samping karena tidak bisa lagi menahannya, sementara Suzuno, dia terlihat kebingungan.

"Ahahaha, ya ampun, bukan itu. Aku sudah pernah bilang kalau keluargaku menjalankan perusahaan yang berhubungan dengan sepatu kan? Oh iya, karena kau berada di luar negeri, Inari-sama yang kubicarakan tadi itu mengacu pada kuil yang digunakan untuk menyembah 'dewa rubah'."

"Oh, ah, ya benar, jadi seperti itu ya? Maafkan aku... De, Sadao-san! Kenapa kau tidak memberitahuku lebih awal?"

Suzuno yang menyadari kesalahpahamannya, kembali tersipu, dan menegur Maou dengan sikap yang menyedihkan.

"Bagi dirimu yang tidak mengetahui hal-hal seperti ini meski kau adalah seorang pendeta, itu benar-benar masalah, kau tahu. Ini sama seperti insiden Mukae-bi sebelumnya.... Ketika kau pulang, kau sebaiknya berhenti menjadi pendeta dan mulai mendirikan sebuah restoran udon."

(T/N : Mukae-bi : api selamat datang, itu lo ada di volume 3)

Maou memberikan bantahan yang begitu masuk akal dan membuat Suzuno, menyusut seolah akan segera menghilang.

"Ow!"

Meski begitu, Suzuno tetap tidak lupa memberikan serangan balasan terhadap Maou. Setelah seseorang menendang pahanya dengan sandal karet yang kuat, Maou merasa kalau air mata mulai muncul di matanya.

"Ah~ itu sangat lucu!! Maaf, menertawakanmu seperti ini. Aku memang tidak pernah berdoa sebelum makan siang ataupun pergi ke gereja di hari minggu, tapi orang Jepang itu memiliki filosofi untuk menunjukan tekad mereka dan bersyukur kepada 'entitas' yang lebih hebat. Meski ada begitu banyak 'entitas' yang membuatnya sedikit kacau, tapi hal itu tidak akan terjadi dalam beberapa hari."

"Filosofi bersyukur?"

"Hm~ tapi bagi Suzuno yang biasanya menyebarkan agama, mungkin kau tidak akan bisa menerima keadaan ini."

Dibandingkan dengan Suzuno yang memiliki ekspresi kaku, nada Rika dari awal sampai akhir terdengar begitu ceria.

"Bukankah dewa memerintahkan kita untuk mengasihi sesama? Jika ada dewa-dewa yang mengatakan kalau orang yang tidak mau mendengarkannya akan dibunuh, maka mereka tidak bisa dianggap sebagai dewa, bukankah bagus jika semua orang bisa menjadi akrab?"

"......!!"

Ketika Suzuno merasa kaget setelah mendengar kata-kata Rika,

"Hm? Sepertinya terjadi sesuatu?"

Maou yang mengetahui kalau ada pelanggan yang sedang berselisih dengan seorang pegawai, mengatakan hal tersebut.

"Erhm, pelanggan-san..."

Sepertinya seorang siswi perempuan yang bekerja di sini sedang mencoba menjelaskan sesuatu, tapi nampaknya itu tidak tersampaikan kepada si pelanggan.

"Ah..."

Itu tidak aneh, karena, ketika kau mendengarkannya dengan seksama, kau akan menyadari kalau si pelanggan pria itu adalah seorang WNA.

Di sisi lain, si pegawai yang menyadari kalau si pelanggan sedang berbicara dengan menggunakan bahasa inggris, menjadi panik dan tidak sanggup menangani situasi yang ada di hadapannya.

Tidak akan jadi masalah jika pegawai lain datang membantu, tapi ada antrian panjang di depan kasir, jadi mereka hanya bisa mengabaikannya.

"Aku akan pergi sebentar."

"Eh, hey, bukankah lebih baik tidak ikut campur?"

Rika mencoba menghentikan Maou yang berdiri karena ingin ikut campur. Pelanggan pria itu kira-kira setinggi Maou, dan memiliki selera fashion yang sangat buruk, dia mengenakan kaca mata hitam besar dan mempunyai kepala dengan rambut afro yang memberikan orang lain kesan seperti seorang punk.

Dari caranya berteriak tanpa mempedulikan tatapan yag ada di sekitarnya, dia jelas-jelas bukan tipe pelanggan yang bersahabat.

"Suzuki-san, jangan khawatir."

Akan tetapi, Ashiya menghentikan Rika. Maou memberikan sinyal kepada Ashiya dan Rika dengan tatapan matanya, dan berjalan di antara pegawai dan pelanggan yang sedang terlibat konflik tersebut.

"Tentang masalah ini, bolehkah aku tahu apa yang terjadi?"

"Eh? Er, erhm...."

Pegawai wanita yang menangis itu melihat ke arah Maou seperti seseorang yang meminta pertolongan.

Ketika Maou melihat ekspresi pegawai itu, dia segera menilai kalau dia tidak akan bisa mengharapkan jawaban yang tenang dari pegawai tersebut. Itu adalah ekspresi kesulitan dari seorang pegawai baru yang seolah mengatakan 'bahkan akupun tidak memahami situasinya'.

(T/N : Dari sini, kata-kata sebelum tanda kurung adalah kata-kata yang ada di naskah aslinya, dan kata-kata yang ada di dalam kurung adalah versi kata-kata yang bisa lebih mudah dipahami. Menurut raw englishnya, si translator hanya ingin menunjukan betapa buruknya bahasa Inggris yang tertulis di novel, karena menurut si translator itu lucu)

"Helly guy." (Maaf, permisi)

Maou yang beranggapan kalau si pegawai wanita itu terlalu panik untuk menjawab, menolehkan kepalanya dan berbicara dengan si pelanggan pria.

"She can’t grasp your request. What do you want her?" (Dia tidak mengerti apa yang kau minta, apa yang kau inginkan darinya?)

"Eh, Maou-san bisa berbicara bahasa Inggris?"

Rika mengungkapkan pemikirannya dengan suara yang terdengar kaget, hal itu membuat Maou merasa sedikit bangga dengan dirinya sendiri.

"Ah....."

Si pelanggan pria melihat ke arah si pegawai wanita dan Maou, pada akhirnya dia memilih untuk berbicara dengan Maou, dan mengatakan..

"Here have a fork Ha?" (Apa kalian memiliki garpu di sini?)

"Fork?" (Garpu?)

"I can see chopsticks like drumsticks. So, do you know the law what forbidden to use the fork when to eat UDON?" (Bagiku, sumpit itu seperti stick drum, apa ada peraturan yang melarang menggunakan garpu ketika memakan UDON?)

Sambil mengatakan hal tersebut, pria itu menatap mata Maou melalui kacamata hitamnya. Merespon pria tersebut, dengan nada yang berlebihan, Maou mengangkat sebelah alisnya dan menjawab..

"……don’t. But, if your wording make refine till tomorrow. You will be forbidden to get in UDON restaurant." (Aku tidak pernah mendengar hal itu sebelumnya. Tapi jika kau tidak segera merubah cara berbicaramu menjadi lebih baik, kau bisa dilarang memasuki restoran Udon.)

Merespon serangan balik Maou, pria itu hanya tertawa ringan.

Setelah Maou memberitahu kepada si pegawai kalau pria itu menginginkan garpu....

"Ah, baiklah, aku akan segera membawanya kemari."

Tanpa menunggu perintah, pegawai tersebut langsung berlari menuju dapur.

"You cool, considering young." (Kau terlihat masih muda, tapi kau keren.)

Pria itu dengan ceria menggunakan tinjunya untuk meninju pundak Maou pelan dan berjalan menuju antrian loket pemesanan.

Sepertinya pria itu bisa memahami sistem yang ada di sini, kalau begitu, kenapa dia tidak bertindak setelah selesai membaca situasi, Maou mengangkat bahunya.

"Thanks." (Terima kasih banyak.)

Dengan perasaan yang rumit, Maou meninggalkan pria itu dan kembali ke kursinya.

"I have exceptional reason..... (Aku juga memiliki berbagai macam masalahku sendiri)... Eh, oh?"

Setelah kembali ke kursinya, Rika menatap Maou dengan takjub.

"....Misterius sekali... Emi dan bahkan Maou-san, kenapa kalian masih perlu bekerja?"

"Hah?"

"Tidak, tidak. Oiya, karena semuanya sudah selesai makan, kurasa ini waktunya pergi. Lagipula pengunjung di restoran ini juga semakin bertambah."

"Ah yeah."

Melihat sekelilingnya dengan cermat, Ashiya dan Suzuno nampaknya sudah menghabiskan makanan mereka ketika Maou berbicara dengan si pelanggan tadi. Tidak bagus untuk terus berlama-lama di restoran kecil seperti ini, jadi akan lebih baik kalau mereka segera meninggalkan tempat ini dan pergi menuju tempat tujuan mereka yang sebenarnya.

"Er, Erhm..."

Ketika mereka mencapai pintu masuk toko, pegawai wanita yang sebelumnya dibantu Maou mengejar mereka.

"Te-terima kasih banyak atas bantuanmu sebelumnya! I-ini, manajer ingin memberikan ini kepadamu..."

Pegawai itu menyerahkan sebuah kupon dengan tulisan 'kupon untuk semangkok kecil sup mi' di atasnya kepada Maou. Jika itu Maou yang biasanya, dia pasti akan segera menerimanya, tapi kali ini dia menggelengkan kepalanya dan menjawab.

"Tidak usah. Aku mengerti kalau sulit untuk tidak merasa gugup ketika berhadapan dengan orang asing, tapi tetap saja, mereka itu hanya manusia, bahkan jika kau tidak mengerti apa yang mereka maksudkan, setidaknya kau harus membuat mereka memahami poin ini."

"Ba-baiklah..."

"Lain kali, jika ada orang asing yang datang, selama kau dengan cermat mengamati apa yang mereka ingin katakan dan bertindak sesuai dengan itu, kupikir tidak akan ada masalah. Kalau begitu, aku akan datang lagi nanti."

"Baiklah! Er, erhm, terima kasih banyak! Tolong datang lagi."

Pegawai wanita itu membungkuk dalam-dalam ke arah punggung Maou ketika dia pergi. Ashiya nampak merasa bangga seolah-olah itu adalah prestasinya. Suzuno mengikuti di belakang Maou, hatinya penuh dengan kecurigaan. Hanya Rika yang memiringkan kepalanya untuk menunjukan ketidapahamannya akan situasi ini.

"Kau langsung ikut campur kalau orang itu adalah gadis."

Kata Suzuno dengan kesal, dan dengan nada yang meremehkan, Maou menoleh dan menjawab...

"Bukan seperti itu. Hanya saja, jika hal itu terus berlanjut, suasana di toko pasti akan jadi semakin buruk. Jika sudah begitu, bahkan kita pun yang makan di pinggir juga akan merasa tidak nyaman."

"Kalau begitu setidaknya terima kupon itu. Aku tidak pernah menyangka kalau Maou-san akan menolaknya."

Rika mengikuti Suzuno dan menunjukan keraguannya.

"Ah, aku juga merasa kalau itu adalah kesalahan kecil, tapi tetap saja aku tidak bisa menerimanya. Kalau aku pergi ke tempat semacam itu, perasaanku pasti akan lebih condong ke arah pegawainya, tidak peduli apapun alasannya."

"Eh?"

"Ketika aku melihat gadis itu tadi, aku jadi kepikiran Chi-chan ketika dia masih baru. Kalau dipikir-pikir, ketika aku pertama kali kenal Chi-chan, itu juga karena masalah bahasa seperti tadi."

Maou tersenyum merasa terkenang.

"Aku tidak ingin orang lain membuat kebiasaan mengikuti perintah atasannya dengan menggunakan kupon promosi untuk memecahkan masalah, ketika si pegawai itu masih baru. Jika dia tidak mengalami sendiri sakitnya kegagalan, maka dia tidak akan bisa merenungkan kesalahannya dengan sungguh-sungguh. Jika sikap seperti menggunakan kupon promosi untuk melarikan diri dari masalah sudah terukir ke dalam hati si anak baru, itu hanya akan menghilangkan motivasi mereka untuk berkembang. Itulah kenapa aku tidak menerimanya."

"Meskipun dari dalam lubuk hatiku aku merasa kalau itu sangat disayangkan, tapi semenjak kau menganggapnya seperti itu, kurasa memang tidak ada pilihan lain lagi."

Ashiya yang berdiri di pinggir, terlihat begitu menyesalkanya dan mendesah dengan suram.

"Sebaliknya, aku semakin tidak paham kenapa Maou-san tidak tahu apapun mengenai televisi...."

Rika menyilangkan tangannya, dan terdiam sambil berpikir.

"Ah, anggap saja seperti ini, seperti kata peribahasa, 'satu kebaikan pantas mendapatkan kebaikan lainnya', mungkin kebaikan ini akan dibalas suatu hari nanti, dan bukankah kita tadi berbicara tentang mengasihi sesama? Sebagai seorang pegawai dari sebuah restoran, selama kita terus mengasah kemampuan kita untuk kesejahteraan tempat kita bekerja, mungkin gadis itu akan muncul di depan kita lagi sebagai seorang musuh yang kuat."

"Jika benar begitu, bukankah itu terlalu sembrono? Jangan katakan kalau mengasihi sesama itu demi membuat orang lain menjadi musuhmu?"

"Meski itu tertulis sebagai musuh, tapi itu masih bisa dibaca sebagai 'teman' kan? Mags dan Hanamaru itu perusahaan besar, mereka seharusnya punya toleransi terhadap hal ini."

Tidak mengetahui seberapa seriusnya dia, Maou dan Ashiya terus berdiskusi. Suzuno yang mendengar kata-kata Maou tiba-tiba mengangkat kepalanya dan bertanya,

"Benar juga, Rika-dono..."

Suzuno memanggil Rika yang hendak kembali berjalan.

"Sebenarnya aku sudah berniat bertanya soal pendapatmu dari tadi. 'Jika mereka tidak dianggap sebagai dewa', maka mereka itu apa?"

"Maksudmu?"

"Jika dewa yang mengatakan bahwa manusia yang tidak mendengarkannya akan dibunuh itu tidak bisa disebut sebagai dewa, lalu mereka itu apa?"

Rika menghabiskan waktu hampir 10 detik untuk memahami pertanyaan Suzuno.

"Ah, topik yang tadi? Meski aku yang mengatakannya sendiri, tapi aku malah melupakannya...... Tapi, bukankah sudah jelas? Satu-satunya makhluk yang akan menggunakan nama dewa untuk melakukan sesuatu yang jahat....."

Jawaban Rika sangat sederhana.

"....tentu saja adalah manusia."

"Hey, apa-apaan ini?"

Pria berkacamata hitam dan berambut afro tadi berjalan keluar dari Hanamaru Udon, dia langsung mengambil HPnya untuk menelepon seseorang.

Dan bahasa yang dia gunakan adalah bahasa Jepang yang sangat lancar.

"Karena kau bilang kalau itu adalah bahasa utama di dunia ini, aku memilih bahasa Inggris, dan hasilnya aku tidak bisa berkomunikasi dengan benar di manapun! Terus, karena kau tahu kalau target negara kita adalah Jepang, dari awal kau seharusnya memilihkan bahasa itu untukku! Kau membuatku begitu malu, bagaimana kau akan membayarnya, hah?"

Sepertinya orang di ujung sambungan telepon itu tidak meminta maaf dengan serius.

Itu bisa dilihat dari mata yang berada di bawah kacamata tersebut yang perlahan mulai diselimuti oleh amarah.

"Ini bukan masalah berkomunikasi dengan satu miliar orang kan? Sampai saat ini, aku hanya berhasil berbicara dengan satu orang! Aku sama sekali tidak bisa mempercayai kata-katamu!"

Pria itu menghentakan kakinya ke tanah dengan marah dan melepas kacamata hitamnya.

"Ah? Yeah, perutku sudah kenyang, saat ini energiku benar-benar penuh. Yeah, yeah, meski pekerjaanku bertambah karena seseorang, aku pasti akan melakukannya dengan benar. Ah! Merepotkan sekali."

Adapun warna mata pria itu....

Mengangkat kepalanya, mata yang memandang ke arah sinar matahari yang cerah itu, berwarna ungu, hal tersebut sangat cocok dengan gaya punknya.

"Baiklah, baiklah, kalau begitu hari ini aku akan bekerja untuk yang kedua kalinya. Dalam kesempatan yang sangat langka, untuk pertama kalinya, aku mendapatkan reaksi kemarin, tapi hasilnya aku hanya kebetulan mendapat reaksi yang sedikit lebih kuat dari seorang wanita muda dari sebuah keluarga. Serius, kenapa aku jadi satu-satunya orang yang harus melakukan pekerjaan ini?"

Setelah pria itu menutup teleponnya, dia berjalan menuju area keramaian di pusat kota dengan jengkel.

Afro-nya, memiliki rambut berwarna ungu, namun, satu-satunya 'orang' yang bisa berbicara dengan pria itu tidak mengetahui hal ini.


XxxxX


Hanya dengan berjalan selama 10 menit saja, sudut cahaya tersebut sudah mulai berubah.

Berjalan menaiki jalan melandai di sebelah kantor polisi yang terletak di gerbang barat dari stasiun JR Yoyogi, Emi mulai menggenggam harapan samar kalau arah yang ditujunya mungkin berada di dekat sini.

Kalau dipikir-pikir, ketika dia bertemu dengan wanita bergaun putih itu, dia sedang berada di Tokyo Big Egg Town yang terletak di distrik Bunkyo. Dan kelihatannya, orang itu tidak akan berkeliaran tanpa tujuan, siapa yang tahu kalau saat ini dia sedang berada di distrik 23 Tokyo? Tidak mungkin kan wanita bergaun putih yang membawa fragmen Yesod itu hanya berkeliaran tidak jelas karena dia datang ke Jepang untuk melihat-lihat. 

Karena sudut cahaya itu berubah drastis setelah berjalan lebih dari 10 menit, artinya dengan mengikuti jalan ini, lokasi antara Emi dan orang yang ditujunya juga banyak berubah.

Dari hal ini, bisa dilihat kalau orang tersebut berada di dekat-dekat sini.

"Aku ingat di depan sana itu.... Kuil Meiji."

Hutan Kuil Meiji membentang luas antara stasiun JR Yoyogi dan stasiun Harajuku. Sando-nya terletak sejajar dengan jalur kereta api, tempat itu bisa dicapai setelah berjalan kira-kira 15 menit.

(T/N : Sando, jalanan yang terlihat pada kuil Shinto ataupun Budha)

Kenapa Emi tahu hal ini? Itu karena Kuil Meiji adalah tempat yang terkenal memiliki kekuatan, dan dia sudah pernah mengunjungi tempat ini.

Ketika dia pertama kali datang ke Jepang, Emi datang ke tempat ini karena dia pikir dia mungkin bisa memulihkan sihir sucinya, tapi pada akhirnya, di sana hanya terdapat sumur dalam yang tidak bisa dia pahami di mana letak kekuatannya, dan itu sangat tidak berguna. Lebih tepatnya, Emi tidak tahan dengan turis yang mengunjungi tempat ini, dan memilih untuk segera pergi.

"Eh? Bukan Kuil Meiji?"

Akan tetapi, setelah menuruni lereng dan mengkonfirmasi cahayanya, Emi mendapati kalau arah yang dituju oleh cahaya itu bukanlah arah hutan Kuil Meiji yang ada di depannya, melainkan jalanan yang ada di bawah jalur bebas hambatan Shuto.

Dia merasa heran, tapi Emi tetap berjalan menuju arah yang ditunjuk oleh cahaya itu, setelahnya, sebuah bangunan terlihat di hadapan Emi.

Dan di saat yang sama, cahayanya juga perlahan merubah sudutnya, cahaya itu menunjuk langsung ke arah lantai atas dari bangunan tersebut

".... Tidak mungkin."

Bangunan itu adalah bangunan rumah sakit.

Di depan bangunan itu terdapat label 'Saikai University Medical College Affiliated Hospital Tokyo Branch', Emi merasa ragu.

Untuk berjaga-jaga, Emi mencoba berjalan melewati rumah sakit tersebut, tapi cahaya itu merubah sudutnya kembali, menunjuk arah belakangnya.

"Apa yang terjadi?"

Mengetahui bahwa reaksi fragmen itu terjadi di dekat sini saja sudah sangat mengejutkan, tapi Emi sama sekali tidak bisa menebak alasan kenapa orang itu ada di rumah sakit.

Setelah memikirkan kembali situasinya, kemungkinan terbesarnya adalah wanita bergaun putih itu bekerja di rumah sakit ini.

Tidak peduli malaikat ataupun iblis, ketika mereka berada di Jepang, mereka harus memakan makanan agar bisa terus bertahan. Sariel yang menggunakan kekuatan 'Wicked Light of the Fallen', saat ini sedang bekerja keras sebagai manager restoran Sentucky Fried Chicken, dan bahkan Gabriel pun menunjukan tanda-tanda membeli sesuatu di sebuah minimarket.

Penjelasan normal lainnya, wanita itu mungkin harus tinggal di rumah sakit atau mendapatkan perawatan medis karena dia sedang terluka ataupun sakit.

Mengenai identitas wanita bergaun putih itu, Emi sudah memiliki tebakan kasar. Tapi meski tebakannya benar, tidak ada jaminan kalau dia akan menggunakan nama itu di rumah sakit ini.

Emi mencoba memeriksa udara di sekitar tempat ini, tapi dia tidak merasakan sihir suci, sihir iblis, ataupun kekuatan yang tidak normal di Jepang.

Jika kepura-puraannya sebagai pengunjung pasien diketahui, maka hal itu akan mencoreng kehidupan sosialnya, ketika Emi mulai memiliki pemikiran negatif yang tidak cocok dengan gaya seorang Pahlawan, dia memeras otaknya untuk menemukan cara memasuki rumah sakit dan menyelidiki masalah ini.....

"Erhm... Kalau tidak salah, Yusa-san, benar kan?"

Seseorang tiba-tiba memulai percakapan dengan Emi dari arah belakang, hal ini membuat jantung Emi serasa ingin melompat keluar dari tenggorokannya.

"Y-ya.... Eh?"

"Ya ampun, ternyata memang Yusa-san.... Kebetulan sekali. Apa Yusa-san memiliki urusan di rumah sakit ini?"

Orang yang menyapa Emi, adalah orang yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehnya.

"I-ibu Chiho?"

Orang itu adalah ibu Chiho, Sasaki Riho.

Kenapa dia ada di sini, dan dia bahkan keluar dari rumah sakit?

"Padahal aku belum memberitahu siapa-siapa, hmm.... Apa kau bekerja di dekat sini?"

"Ah, yeah, emm benar."

Karena dia tidak bisa memberitahukan kebenarannya, Emi menjawab dengan tidak jelas.

Meski begitu, Emi menyadari ada sesuatu yang aneh di dalam kata-kata Riho.

"Ehmmm... Boleh aku bertanya, tentang belum memberitahu siapa-siapa, apa maksudnya itu?"

Emi bertanya.

Riho yang terlihat sedikit kesulitan, menunjukan wajah yang cemas ketika dia menatap Emi, dia terlihat seolah-olah bisa menangis kapan saja.

Emi yang melihat hal ini, entah kenapa merasakan sebuah firasat buruk.

"Yusa-san, apa kau punya waktu luang sekarang? Jika tidak keberatan, maukah kau ikut denganku?"

Setelah mengatakan hal ini, Riho berbalik dan kembali ke dalam rumah sakit, melihat punggungnya, Emi pun mulai berpikir yang tidak-tidak.

Riho berjalan melewati counter dan mengajak Emi untuk berdiri di depan elevator. Kali ini, untuk pertama kalinya, Emi menyadari kalau sebuah tanda pengenal 'pengunjung' yang menandakan kalau dia ada di sini untuk mengunjungi pasien, tersemat di lengan bajunya.

Usai memasuki elevator yang datang setelah waktu yang cukup lama, Emi pun ingat kalau dia lupa mematikan HPnya, dia melihat ke dalam tasnya.

"....."

Cahaya dari botol kecil yang terletak di dalam tasnya dengan cepat mengubah sudutnya.

Sepertinya fragmen Yesod memang berada di rumah sakit ini.

"Silakan lewat sini."

Saat ini, detak jantung Emi menjadi lebih cemas dan lebih cepat dibandingkan saat dia menyerang Kastil Iblis di Ente Isla.

Riho membawa Emi ke sebuah kamar pasien yang memiliki plat penanda pintu dengan tulisan 'Sasaki-san' di atasnya.

Di dalam kamar pasien tersebut, terdapat empat ruang yang dipisahkan oleh tirai, Riho mendekati salah satu tirai, dia perlahan membuka tirai itu setelah melambaikan tangannya pada Emi.

"....!"

Emi menahan napasnya.......


---End of Part 2---





Translator : Me..
Previous
Next Post »
0 Komentar