[Translate] Re:Zero Arc 4 - Chapter 48 : Bayaran Untuk Pesta Teh
Kembali ke -> Re:Zero Arc 4 - Chapter 47
Chapter 48 : Bayaran Untuk Pesta Teh.
Dia mendengar sebuah teriakan.
Terdorong oleh rasa lapar sampai-sampai lidahnya sendiri mencoba menampung darah yang mengalir dari tangan kanannya, Subaru mendengar sebuah teriakan dari kejauhan. Marah, suara itu penuh dengan amarah. Murka. Seseorang sedang mengamuk. Seseorang sedang murka. Itu adalah suara seseorang yang sedang marah dan mengamuk.
..... Tapi itu tidak penting. Untuk saat ini, dia hanya ingin memuaskan rasa laparnya.
Kunyah, kunyah, kunyah, tapi itu tidak cukup.
Apa yang bisa dipuaskan hanya dengan dua jari? Dan berapa banyak rasa haus ini bisa dipuaskan oleh beberapa tetes darah?
Tidak cukup. Tidak cukup. Sangat tidak cukup.
Bahkan jika dia melahap seluruh tangan kanannya, lalu memakan tangan kirinya juga, dan bahkan jika dia melahap seluruh tubuhnya, itu masih tidak akan cukup. Tak ada batas untuk rasa lapar ini. Dia hanya menginginkan apa yang dia inginkan. Dan begitulah...
".....HHNGGYAAAaa!!"
".....Apa-apaan...!!"
Berbaring miring di atas rumput, sebuah hantaman datang tepat dari atas kepalanya, hal itu membuat tubuhnya memantul karena gelombang kejut yang dihasilkan sebelum akhirnya kembali menghantam tanah. Daya yang begitu hebat membuat tanah menjadi cekung, meninggalkan kawah di bukit kecil itu dengan Subaru di tengahnya.
Kemudian, si penyerang yang tinjunya masih bersarang di bagian belakang kepala Subaru, tersengal-sengal, dan,
"Sudah cukup! Kenapa semua orang selalu berselisih...?? Mengambil jalan kekerasan adalah yang terburuk... terburuk.... Hg."
Suara yang bercampur dengan isak tangis terdengar dari atas, sedangkan, menikmati rasa lumpur, kesadaran kembali ke dalam diri Subaru. Di saat yang sama, dia juga merasa setetes air mendarat di bagian belakang kepalanya, memandunya untuk mendongak.
Terdapat gambaran samar seorang gadis muda berambut pirang yang perlahan menghilang dan dipenuhi air mata.
.... Apa yang barusan terjadi padanya?
Mendorong dirinya bangkit dari tanah, Subaru pun mengerti ketika dia sadar kalau tangan kanannya sudah pulih.
Dengan cepat, dia menoleh ke arah gadis yang hampir lenyap tersebut,
"Te-terima kasih sudah menyembuhkanku."
"..... Hmph."
Penyihir itu memalingkan wajahnya cemberut saat dia perlahan memudar.
Tapi tepat sebelum dia menghilang sepenuhnya, Subaru sekilas melihat rona merah di pipi gadis itu dan senyum yang tidak bisa dia sembunyikan.
Begitu gadis berambut pirang.... Penyihir Kemarahan itu menghilang dari tempat kejadian, dia seketika digantikan oleh sebuah peti mati.
"Neru-Neru memang suka ikut campur, gess... Hey, apa kau sudah mengerti? Kau sudah mengerti, kan? Subaruu~n?"
Mendengar kata-kata itu dari dalam peti, Subaru melompat berdiri dan menjauh dari kawah sembari menatap Daphne dengan tatapan waspada.
Melihat hal tersebut, Daphne pun mendengus,
"Benar~ benar~ kau memang harus berhati-hati... Lagipula, makan atau dimakan, hanya itulah hubungan yang ada di dunia ini."
"Aku tidak ingin menganggap dunia sebagai tempat haus darah seperti itu... ngomong-ngomong apa yang barusan terjadi? Hanya sebentar sih, tapi... tadi aku benar-benar jadi gila."
"Itulah rasa lapar yang bisa membuat seseorang menjadi gila... Rasa lapar yang begitu ekstrim bisa membuat seseorang menjadi sesuatu yang lebih buruk daripada binatang. Jika kau juga melihat mata kananku, itu akan jauh lebih menarik, kau tahu?"
".... Jangan bercanda."
Mata sihir, atau sesuatu semacam itu.
Meskipun tatapan mata Ram juga merupakan salah satu kekuatan mata, kemampuannya sama sekali tidak punya potensi menyerang, jadi bisa dipastikan kalau mata Daphne itu jauh lebih mengerikan.
Mungkin kemampuan itu bisa disebut 'Eye of Hunger' atau 'Eye of Starvation'.
Saat Subaru menatap mata kiri Daphne, dia seketika langsung memakan jarinya tanpa sadar.
Dia begitu lapar sampai-sampai dia lupa dengan keberadaan rasa sakit, dan semua yang dilihatnya adalah makanan untuk memuaskan rasa laparnya. Dengan kata lain....
"Begitukah.... cara Kelinci Raksasa melihat dunia?"
"Anak-anak itu lahir ketika Daphne benar-benar lapar, jadi mereka meniruku... mereka benar-benar mengerti bagaimana rasanya ingin memakan satu sama lain."
"Bagaimana bisa kau mengatakannya dengan enteng begitu... Apa kau tidak merasa sedih melahirkan makhluk semacam itu? Karena kau sudah sok-sokan mengajariku, seharusnya kau juga sudah tahu bagaimana rasanya lapar. Membiarkan... anak-anakmu sendiri... mengalaminya... itu...."
"....? Tapi meskipun perut Kelinci Raksasa lapar, itu tidak berarti perut Daphne juga lapar?"
".... Aku memang bodoh sudah bertanya."
Seperti garis-garis paralel. Tak peduli seberapa jauh garis-garis itu membentang, mustahil Subaru bisa memahami Penyihir ini.
Mabeast yang dia anggap sebagai anaknya sendiri, sebenarnya hanyalah cadangan makanan yang bisa dia pilih dan makan ketika dia merasa lapar.
Lahir dari tubuhnya sendiri dan dimakan oleh dia sendiri, itu adalah wujud sempurna dari cara hidup sendiri.
"Jika kau tidak mengganggu siapapun dan mengurung diri di suatu dimensi lain, kurasa tidak akan ada seorangpun yang keberatan."
"Hey Subaruun, sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan pada Daphne? Jika yang ingin kau lakukan adalah menganggu Daphne, terjaga selama ini sudah membuat Daphne sangat lapar... dan ingin tidur siang."
Memalingkan wajahnya ketika berada di dalam peti, seluruh tenaga terkuras dari tubuh Daphne, seolah siap untuk jatuh tertidur.
Subaru akhirnya mengerti kenapa Daphne mengikat dirinya di dalam peti mati itu. Menahan ancaman yang ada di dalam dirinya demi dunia... bukanlah alasannya.
Sebaliknya, itu hanya demi mengurangi kalori yang terbakar akibat pergerakannya sehingga dia tidak akan merasa lapar.
Penutup matanya mungkin tidak memiliki kegunaan yang sama, tapi mungkin itu demi mencegah agar mata sihirnya tidak menguras stamina.
Keberadaan gadis ini sepenuhnya ada pada dirinya sendiri.
Keinginan murni hanya untuk makan... hal itu sangat cocok degan gelar Penyihir Kerakusan.
"Jujur saja, aku sangat yakin percuma aku menanyakan hal ini, tapi.... bagaimana caranya memusnahkan Kelinci Raksasa?"
"Eeeehh~? Kau ingin memusnahkan Kelinci Raksasa? Tapi anak-anak itu sangat lemah dan mudah dimakan, mereka juga terus memperbanyak diri. Mereka itu salah satu mahakarya Daphne, lo?"
"Makan atau dimakan... jika kau mengikuti filosofi tersebut, lalu bagaimana dengan membunuh musuhmu demi bertahan hidup? Kuharap kau tidak akan mempermasalahkan insting bertahan hidup selain makan."
Subaru pun memutuskan untuk menyerang dari dasar yang sama dengan moralitas menyimpang Daphne.
Sejujurnya dia sudah setengah menyerah mendapatkan informasi apapun dari Daphne. Bagaimanapun, Subaru tidak bisa membuat Daphne mengatakan sesuatu yang berguna, bahkan, dia tidak bisa membangun percakapan yang benar dengannya.
Dalam sekali lihat, permainan tangkap bola mereka nampak berjalan lancar, tapi nyatanya gadis itu hanya menelan semua bola yang Subaru lempar, memohon pada Subaru untuk melemparnya lagi, tanpa balas melempar apapun.
Namun,
"Karena aku perlu makan demi bertahan hidup, aku juga harus memperbolehkan membunuh demi bertahan hidup... Uuu~unn, itu, nn, itu tak masalah, kan??"
".... Eh? Itu boleh?"
"Jika Daphne membenarkan sesuatu, maka Daphne juga akan menerimanya. Subaruun, apa yang kau pikirkan tentangku?"
'Kau adalah Penyihir paling gila yang pernah kutemui.' pikir Subaru. Tapi jika dia menjawab demikian, hal ini pasti takkan berakhir, jadi dia memutuskan untuk menyimpannya sendiri.
Membiarkan keheningan berlalu, Daphne memanyunkan bibirnya dengan "Huu~uuu",
"Jika kau ingin memusnahkan Kelinci Raksasa, Met-Met, Dona-Dona, dan Milla-Milla bisa melakukannya dengan mudah."
"Tunggu, nama panggilan siapa yang barusan kau sebut? Dona-Dona itu... Echidona, kan? Met-Met... pasti Sekhmet. Tapi siapa Milla-Milla?"
"Carmilla... dia itu si Nafsu. Tapi sepertinya dia tidak ingin menemuimu, Subaruun."
"Meskipun agak menyedihkan mendengar orang yang bertugas pada hal-hal yang seksi membenciku, tapi... saranmu tidak akan berhasil. Para Penyihir tidak bisa meninggalkan tempat ini, jadi kalian tidak akan bisa membantuku."
".... Huuuu, tidak bisa ya...?"
Bagi Subaru yang terbiasa bergantung pada orang lain, penawaran semacam itu adalah sebuah berkah. Jika mereka bisa keluar dan membantunya, mereka memang sudah lebih dari cukup untuk menangani Kelinci Raksasa dan Elsa, tapi,
"Meskipun kau bisa pergi keluar sana... apa kau akan puas hanya dengan memusnahkan dan memakan Kelinci Raksasa itu lalu kembali ke sini?"
"Sepanjang hidupku, perut Daphne tidak pernah puas, kau tahu."
"Karena itulah, biarpun ada cara untuk mengeluarkan kalian dari sini, aku tidak bisa membiarkan kalian pergi."
Menjulurkan lidahnya menanggapi jawaban Daphne, Subaru menolak usulan Penyihir tersebut. Di dalam peti, Daphne membuat suara "Uuunn~", dan,
"Kalau itu tidak berhasil, kurasa kau memang harus memakan mereka semua. Anak-anak itu tidak akan bisa memperbanyak diri dari nol... haa~haa.."
"Lupakan soal makan... jadi kami harus membunuh mereka semua ya... dan jika kami menyisakan satu saja yang masih hidup, mereka semua akan bangkit kembali.... Mereka bergerak dalam kelompok, kan? Tapi apa mereka selalu bersama?"
"Yeah, meskipun mereka ada banyak, kesadaran mereka hanyalah satu. Seperti, satu kesadaran terbagi ke seluruh kelompok. Mereka tidak punya intelegensi untuk berpencar."
"Benar... kah? Kalau begitu, kami tidak akan menemui masalah di mana kami menyisakan beberapa kawanan yang masih hidup... dan menyadari 'AKAN ADA KEPANIKAN DAN KENGERIAN LAGI', kan?"
Hal itu sering terjadi di film-film horror, di mana setelah memusnahkan seekor monster haus darah, kau akan mendapati beberapa dari mereka bertahan hidup dan berkembang biak, lalu akhirnya menemui ending 'BAHAYA BELUM BERAKHIR'.
Tapi sepertinya Kelinci Raksasa ini tidak cukup pintar untuk melakukan hal semacam itu.
"Oh, ngomong-ngomong, rata-rata ada berapa banyak jumlah Kelinci Raksasa itu? Jika mereka saling memakan satu sama lain, kupikir mereka pasti punya sistem untuk mempertahankan jumlah mereka, atau....."
"... Siapa yang tahu? Memangnya kau bisa menghitung jumlah tetesan air di dalam kabut, Subaruun...?"
"Sampai ke tingkat itu...? Tidak, tidak, aku sudah tahu kalau kata-katamu tidak bisa dipegang. Jadi aku hanya perlu menghitung mereka sendiri."
Menghitung jumlah kelinci yang mengerumuninya saja mungkin sudah lebih dari seratus. Tapi mengingat mereka mampu memakan semua orang yang ada di Sanctuary, jumlah mereka pasti mendekati puluhan ribu.
Untuk membunuh mereka semua, dia harus memikirkan cara yang lebih baik.
Ketika Subaru sedang berpikir keras, Daphne menguap lebar menunjukan kebosanannya. Dan membuat gerakan mengunyah di hadapan Subaru yang terdiam,
"Subaruun... kalau kau sedang sibuk berpikir... bisakah Daphne menghilang sekarang? Ketika aku ada, aku jadi lebih lapar, kau tahu..."
"Lebih suka untuk tidak ada agar kau merasa tidak lapar itu benar-benar pernyataan yang sangat luar biasa. Tapi yeah, terlepas dari bagaimana kita bisa sampai ke sini, itu tadi sangat membantu. Terima kasih... dan juga..."
Melontarkan ucapan terima kasih yang terkesan setengah-setengah, Subaru menambahkan kata 'Dan juga' di akhir kalimatnya.
Melihat Daphne menunjukan ekspresi bingung, dia melanjutkan perkataannya dengan suara paling mengejek yang bisa dia keluarkan,
"Akan kumusnahkan kelinci bangsat itu. Aku sudah membunuh Paus Putihmu. Kuharap kau tidak keberatan, mama."
"....."
"Empat ratus tahun, selama itulah makhluk berengsek yang terlahir dari niat baikmu itu berburu di dunia luar sana. Itu sudah cukup lama... sekaranglah saatnya bagiku untuk memusnahkan mereka tanpa sisa."
"Kau hanyalah manusia biasa."
Menanggapi deklarasi perangnya, Daphne menunjukan reaksi yang belum pernah Subaru lihat sebelumnya.
Menyeringai lebar, untuk pertama kalinya, ekspresi Daphne menunjukan sesuatu selain 'Rasa Lapar'.
"Coba saja kalau kau bisa."
Dengan lidah berwarna merah yang terlihat dari mulut penuh taring tajamnya, si Penyihir Kerakusan tersenyum.
Angin kencang bertiup, memaksa Subaru untuk mengangkat tangan guna menutupi matanya.
Angin yang datang tiba-tiba, menciptakan gelombang di padang rumput, membuat daun-daun berterbangan dan tersebar ke udara. Mengikuti daun-daun itu dengan pandangannya, matanya tertuju ke arah langit, dan ketika dia melihat ke bawah lagi,
"Maaf sudah merepotkanmu, Echidona."
"Aku sudah tahu kalau semuanya akan jadi seperti tadi... makanya aku mencoba menghentikanmu."
"Yah mau bagaimana lagi.... Dia melepaskan ikatan dan membuka penutup matanya sendiri. Harusnya kau sedikit memujiku karena aku tidak menyentuhnya, kau tahu."
"Benar. Jika kau menyentuh Daphne, hal itu tidak akan berakhir dengan mudah. Mata kirinya saja bukanlah ancaman yang cukup serius. Tapi kengerian Daphne ada pada mata kanannya, dan itu baru benar-benar akan dimulai begitu kau dimakan."
Subaru entah bagaimana merasa harus menampik pernyataan tersebut.
Sejujurnya, bagian 'Bukan ancaman serius' itu saja sudah cukup untuk menyalakan alarm waspada.
"Apa gunanya menunjukan STATS musuhku ketika pertarungan sudah berakhir? Gezz. Meski begitu, mungkin aku harus mendengarnya untuk jaga-jaga jika aku menemui monster yang memiliki kemampuan serupa..."
"Monster, katamu?"
Masih tidak bisa menyingkirkan kesan buruknya terhadap Daphne, Subaru pun sadar kalau dia mungkin sudah salah bicara ketika mendengar gumaman kecewa Echidona.
Bagi Echidona, Daphne adalah seseorang yang dia sebut teman. Meskipun kau harus mengakui kalau hanya Penyihir lah yang bisa berteman dengan seseorang seperti itu, ini ya ini, dan itu ya itu. Tak peduli bagaimanapun kau melihatnya, menyebut seorang Penyihir sebagai monster di hadapan Penyihir lain itu....
"Ahh, aku tidak berpikir tadi. Maaf. Terbawa suasana. Aku tidak punya komentar apapun mengenai temanmu itu. Itu saja yang ingin kukatakan."
"Huhuhu, kau tidak perlu memikirkan perasaan seorang Penyihir. Kami sudah cukup terbiasa dengan kata-kata semacam itu."
"... Aku tidak yakin kata apa yang harus kugunakan pada Daphne, tapi aku tidak berpikir kalau kau adalah monster. Hanya itulah yang harus kubenarkan."
Mendengar hal tersebut, Echidona membelalakkan matanya kaget.
Dan melihat reaksi Echidona, Subaru dengan cepat mengalihkan pandangannya, mencaci dirinya sendiri karena terkesan mencari keuntungan.
Apa yang dia katakan barusan adalah jelas-jelas untuk menjilat Echidona. Memang sebagian dari kata-kata itu adalah tulus, tapi itu tidak akan mengubah fakta kalau Subaru sedang mencoba tidak membuat kesan buruk terhadap Penyihir yang membantunya.
Dan lagi, hal itu pasti sudah terlihat jelas oleh Penyihir berpengalaman ini.
"Tidak, itu tidak akan berhasil! Meski kau mencoba menipuku dengan kata-kata manismu, aku tidak akan membiarkan diriku tertipu! Ingin teh dan kue lagi?"
"Bilang begitu sambil terlihat ceria itu sama sekali tidak meyakinkan! Kenapa rutemu mudah sekali ya? Ini seperti level gadis yang sangat kesepian!"
Jika Echidona terpengaruh oleh sanjungan semacam itu, maka Subaru benar-benar harus mengkhawatirkan masa depan Penyihir ini.
Tapi, walaupun dia sudah tahu kalau Echidona tidak akan terpengaruh... hal itu tetap meninggalkan rasa sakit di dadanya.
"Kurasa aku harus menolak cairan tubuh dan apapun yang kau taruh di dalam kue itu."
"Aku tidak menaruh rambutku atau semacamnya ke kue itu kok?"
"Bagaimana bisa aku tidak meragukan setiap pernyataan yang kau buat setelah semua yang terjadi?"
Subaru sudah memutuskan kalau dia tidak akan memakan apapun dari sini lagi.
Melihat Subaru memberinya tatapan curiga, Echidona pun tersenyum kecut. Kemudian, dia membalas tatapan Subaru dengan mata seolah tahu segalanya.
Entah kenapa, terkadang Subaru merasa kalau mata itu terasa sangat mengkhawatirkan.
"Aku tidak suka dengan tatapan yang terasa seolah bisa melihat diriku sepenuhnya itu."
"Jika aku bisa tahu segala tentangmu hanya dengan melihat saja, maka aku tidak keberatan melihatmu sampai terbakar menjadi arang... tapi ngomong-ngomong, kau sadar atau tidak ya?"
"Sadar soal apa?"
"Yaah, dalam imajinasiku yang sempit dan kikuk, apa yang kau lalui barusan seharusnya adalah pengalaman yang mengejutkan bagi kebanyakan manusia. Terdorong oleh rasa lapar sampai membuatmu memakan tubuhmu sendiri adalah hal yang tidak wajar, kan?"
Mendengar penyampaian Echidona, Subaru teringat betapa mengerikannya situasi yang dia alami tadi.
Mengangkat tangan kanannya, dia memastikan kalau kelima jarinya masih ada di sana, semua itu berkat penyembuhan seorang Penyihir.
Ketika Subaru diam-diam berterima kasih kepada Penyihir di dalam kepalanya, Echidona menutup sebelah matanya,
"Minerva tadi mengabaikan panggilanku dan langsung keluar begitu saja. Ketika dia melihat sebuah luka, dia pasti akan langsung menyerbu tanpa menghiraukan penampilannya... Sulit punya kehidupan yang panjang dengan sifat seperti itu. Faktanya, di antara kami dia lah yang terbunuh pertama kali."
"Akhir dari para Penyihir ya.... kudengar kalian dimakan oleh Penyihir Kecemburuan, tapi apa boleh aku menanyakan hal itu?"
"Bertanya kepada orang mati bagaimana mereka bisa mati, aku penasaran apakah hal itu terlalu kasar atau tidak? Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Kalau menurut pendapatku..... hmm, bagaimana ya. Kurasa sebaiknya aku tidak menceritakan kisah itu. Lagipula, hal itu menyangkut reputasi kelima Penyihir lain."
Melihat Echidona tidak bersedia menceritakan detail kematian mereka, Subaru hanya bisa menerimanya.
Subaru sendiri sudah mati beberapa kali sebelumnya, dia tahu betul kalau itu bukanlah topik yang tepat untuk sebuah obrolan ringan. Bagamanapun juga, kematian adalah hal yang sangat berat.
"Dalam hal ini, kurasa kalian adalah beberapa dari sedikit orang yang bisa berbagi perasaan itu denganku."
".... Tidak, aku tidak yakin. Memang kami sudah pernah mati, tapi aku tidak yakin kami memiliki permikiran yang sama denganmu."
Ketika Subaru berpikir akhinya dia menemukan sebuah kesamaan, kata-katanya langsung ditolak.
Tapi saat dia hendak menyangkal sifat dingin Echidona, semua emosi itu langsung menguap begitu dia menyadari ekspresi suram di wajah Echidona. Dia menatap ke arah Subaru, keningnya berkerut dengan jejak-jejak kesedihan,
"Ini juga berkaitan dengan masalah kesadaran... apa kau sadar kalau keadaanmu saat ini sudah sangat menyimpang?"
"Menyimpang...?"
"Tak diragukan lagi ini pasti konsekuensi dari Return by Death. Dan, meski rasanya sakit mengakui hal itu sebagai alasan, melihatmu tidak menyadarinya malah membuatku lebih sakit lagi."
"Aku tidak mengerti.... apa yang ingin kau katakan...."
"Apa menurutmu normal orang yang baru saja memakan jarinya sendiri, meski sudah disembuhkan, bisa melakukan obrolan santai seperti ini seolah tidak terjadi apa-apa?"
"......."
Sesaat, Subaru berhenti bernapas.
Dengan mata yang tegas, Echidona menatap Subaru yang membeku. Dan kemudian, kepada Subaru yang lupa caranya bernapas,
"Sepertinya, kau tidak sepenuhnya tidak sadar."
".... Kurasa, itu masalah bagaimana aku melihatnya. Jujur saja, aku sadar kalau cara berpikirku saat ini tidaklah normal. Tapi demi apa yang paling penting buatku... kurasa tak masalah mengabaikan hal-hal lainnya."
"Hal-hal lain, seperti?"
"Yaah, tujuan utamaku sekarang adalah memecah kebuntuan ini. Masalah di mansion, masalah di Sanctuary, dan yang paling penting, masalah yang dihadapi Emilia. Aku masih terjebak seperti sebelumnya, aku juga tidak tahu di mana harus memulai, tapi...."
Bernapas melalui hidungnya, Subaru mendongak ke arah langit.
Biru dan luas, dengan awan putih yang melayang dan angin yang menyejukkan. Membiarkan semua itu memenuhi pandangannya, tenggelam ke dalam pemandangan yang berada di luar realita tersebut,
"Aku sudah memutuskan kalau aku akan menggunakan semua yang kumiliki."
".... Jadi kau menerima Return by Death?"
"Itu bukan berarti aku menerimanya.... hanya saja, sejak awal aku cuma punya sedikit senjata, jadi hanya itu yang kumiliki.... Jangan salah paham juga, aku sama sekali tidak suka menggunakannya."
Di hadapan Echidona yang pasti sudah tahu isi pikirannya, Subaru tetap memberikan klarifikasi yang sebenarnya tidak perlu.
"Demi meraih masa depan yang kuinginkan, meski aku harus membayarnya dengan nyawaku, aku pasti akan melakukannya. Untuk saat ini, paling tidak aku bisa tenang karena aku bisa terus kembali dari kematian asalkan aku masih waras. Kalau begitu, aku hanya perlu memeras semua tekad yang ada pada diri ini hingga mencapai batasnya."
"Menumpuk kematian demi membawa masa depan ke dalam jangkauanmu... itu bukanlah tekad yang bisa dimiliki oleh orang biasa."
"Aku sudah terlalu sering mati.... sebelum aku mengetahuinya, kepalaku pasti sudah jadi kacau."
Dia sama sekali tidak meremehkan kematian. Hanya saja, pengalaman kematian yang sudah menumpuk pada diri Subaru telah menguatkan keyakinannya menjadi sesuatu yang tak dapat diubah dan mengerikan.
Tak diragukan lagi, Subaru kini lebih takut dengan kematian dibandingkan sebelumnya.
Tapi meski begitu, Subaru tetap berniat memanfaatkan kematian itu. Sesederhana itulah pemikirannya.
Setelah menumpuk kematiannya dan menyaksikan akhir dunia, dia sadar apa yang jauh lebih menyakitkan dibandingkan kematiannya sendiri, itu adalah kematian orang-orang terdekatnya.
Jika itu bisa menyelamatkan mereka dari takdir mutlak kematian, tanpa ragu dia akan mencurahkan kehidupannya yang bisa digantikan.
Menelan semua rasa sakit, penderitaan, kengerian, dan mati demi bertahan hidup.
.... Itulah dasar dari tekad Subaru yang menyimpang.
"Jika satu-satunya hal yang harus kukorbankan adalah hatiku, maka aku akan dengan senang hati mengorbankannya. Return by Death memang benar-benar cocok dengan orang lemah yang selalu bergantung pada orang lain, ya?"
"......"
"Aku tadinya berharap kau akan menghiburku dengan 'Jangan merendahkan diri' atau semacamnya!?"
"Mengingat rintangan yang telah menunggumu di segala arah, aku tidak bisa mengatakannya begitu saja. Faktanya, jika kau ingin mengontrol situasi ini, takkan ada cara lain selain menggunakannya. Meskipun secara pribadi aku akan sangat kesal tidak punya pilihan selain bergantung pada Kecemburuan."
Fakta bahwa Echidona mampu menahan diri untuk tidak memberikan kata-kata pelipur lara dengan mudah, menunjukan kalau dia adalah tipe orang yang sangat mempertimbangkan keadaan.
Meski itu bukan dorongan yang kuat, Subaru bersyukur masih ada orang yang menyadarkannya seperti ini.
Bagaimanapun, mengetahui kalau jalan di depannya akan penuh dengan luka dan goresan, justru membuat jalan itu semakin layak untuk diambil.
"Pada akhirnya, yang bisa kulakukan hanyalah mengulangi Return by Death dan mencoba semua pilihan. Aku sangat tidak suka membayangkan banyaknya pengamalan menyakitkan yang akan kuhadapi di depan sana."
"......"
"Salah satu misteri yang perlu kupecahkan juga adalah, percobaan macam apa yang kau lakukan di Tanah Percobaan Sanctuary ini... kau mungkin tidak akan mau memberitahuku, iya kan?"
".... Tentu saja tidak. Sudah kubilang sebelumnya, kan? Aku tidak ingin kau merendahkanku."
Echidona menggelengkan kepalanya menanggapi pertanyaan Subaru, dan menolak permintaannya.
Menerima jawaban tersebut, "Kalau begitu, tak ada pilihan lain", Subaru melanjutkan dibarengi bunyi gemeretak dari tulang lehernya,
"Jika kau tidak mau memberitahuku, maka tak ada pilihan lain. Aku hanya perlu melangkah maju dan membuka semua rahasia yang ingin kau sembunyikan. Kau tidak akan menghentikanku, kan?"
"..... Jika kau memang ingin membukanya, maka tak ada yang bisa kulakukan. Kalau kau ingin membuka rahasiaku yang sangat kau benci, dan dengan paksa memamerkannya di bawah sinar matahari, maka satu-satunya pilihanku adalah menahannya."
"Kau membuatnya terdengar seolah aku berniat melakukan sesuatu yang buruk, jadi bisakah kau tidak berkata seperti itu?"
Pipi Echidona merona, dengan cepat ia langsung memalingkan wajahnya dari Subaru.
Subaru benar-benar tidak tahu apakah Echidona sengaja melakukan hal itu ataukah itu memang kepribadiannya. Yang jelas, dari apa yang bisa Subaru lihat melalui pesta teh ini, dia mungkin adalah gadis yang polos... Penyihir memang menakutkan.
Lalu, ketika ia hendak melanjutkan percakapan ini,
"Nnnh....."
Tiba-tiba, masih terduduk di kursinya, sensasi pusing menyerang Subaru. Sesuatu yang terasa seperti perasaan pening ketika seseorang berdiri terlalu cepat mengguncang kesadaran Subaru. Itu adalah,
"Sepertinya tubuhmu akan segera terbangun."
"Pesta tehnya berakhir di sini, ya... Itu tadi sangat berarti, kau tahu."
"Dulu kau sangat mengejutkanku, ketika kau bilang kalau tak ada hal yang ingin kau tanyakan. Tapi kali ini, aku penasaran, apa aku sesuai dengan reputasiku sebagai Penyihir Keserakahan?"
Dengan semua diskusi, pelajaran, dan obrolan yang baru saja berlalu, pesta teh ini pasti sangat memuaskan bagi Echidona. Subaru sendiri agak enggan untuk pergi ketika melihat keceriaan dan penyesalan Echidona, tapi Subaru langsung mengelengkan kepalanya dan mengesampingkan sentimen tersebut.
Sangat aneh bagaimana Penyihir ini bisa menarik sanubarinya, tapi terlalu dekat dengannya bukanlah hal yang bagus. Dia adalah seorang Penyihir, dan terlebih lagi, dia sudah mati. Meskipun tidak jelas bagian mana yang lebih buruk.
"Apa yang harus kulakukan ketika aku ingin kembali ke sini?"
"Maksudmu bagaimana cara agar diundang ke pesta teh? Oh tidak tidak, kita tidak bisa, kau tidak boleh terlalu bergantung padaku. Memang tak ada orang yang bisa kau beritahu mengenai Return by Death di luar sana, aku pun tahu seberapa besar kau merindukanku sebagai orang yang bisa kau tunjukan perasaanmu, tapi aku sudah mati dan kau masih hidup... tidak, di antara kita, hal itu tidak boleh terjadi."
"Ketika kau bicara sambil menggeliat dan terlihat bahagia begitu, itu sama sekali tidak meyakinkan!"
Apa yang harus Subaru lakukan ketika Echidona tiba-tiba bertingkah seperti pemilik restoran belut yang melihat pelanggan pertamanya setelah bertahun-tahun?Melihat cara Echidona menatapnya dengan tangan memegang pipi, Subaru sama sekali tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
Kemudian, dengan "Huhuhhu", Penyihir itu meletakkan tangan di atas bibirnya, tersenyum,
"Jangan terlihat gelisah begitu. Aku ini seorang gadis, dan terkadang aku pun juga ingin melakukan obrolan santai seperti tadi. Itu saja. Aku masih sadar kok jarak antara manusia dan Penyihir."
".... Echidona."
"Syarat agar bisa diundang ke pesta teh ini adalah dengan berteriak dari dasar lubuk hatimu, 'Aku ingin tahu' saat berada di dalam Makamku. Yang pertama kau langsung diundang begitu saja, tapi yang kedua sampai seterusnya tidak akan semudah itu. Untuk yang ketiga kalinya... mungkin akan cukup sulit. Hanya sekedar teriakan dangkal saja tidak akan bisa meraihku."
Mendengar Echidona menjelaskan hal tersebut, Subaru ingat apa yang terjadi tepat sebelum dia menerima undangan.
Pada waktu itu dia baru saja kembali dari kematian setelah dimakan hidup-hidup oleh Kelinci Raksasa. Tubuhnya tenggelam di dalam derita kematian, dan kesadarannya terus berteriak 'Apa yang terjadi?'
Di situlah dia mendengar undangan Echidona. Tapi berikutnya pasti akan lebih sulit dibandingkan saat itu.
"Aku benar-benar... tidak ingin...."
"Tepat sekali. Jadi... mungkin ini adalah terakhir kalinya kita bertemu. Meskipun tentu, ini tidak akan jadi yang terakhir kalau kau mengikuti Ujian lagi."
Sama seperti Ujian pertama, nampaknya Echidona juga akan menunggunya di Ujan kedua dan ketiga. Asalkan dia menantang Ujian itu menggantikan tempat Emilia, reuni mereka pasti akan terjadi,
Dengan kata lain,
"Berarti aku bisa menemuimu di Ujian selanjutnya, kan? Rasanya tidak akan ada teh di sana."
"Jika kau benar-benar ingin minum, aku tidak keberatan membuatkanmu teh langsung di sana."
"Tidak tidak, aku punya firasat jika aku melihat proses pembuatannya, itu malah membuatku lebih tidak ingin meminumnya."
Melihat Subaru mengangkat tangannya bilang tidak, Echidona pun menunjukan ekspresi paling sedihnya.
Subaru tidak tahu kenapa dia ingin sekali membuat orang lain meminum cairan tubuhnya. Mungkin dia ingin bagian dari dirinya menjadi bagian dari diri orang lain, atau fetish semacam itu... dosanya sungguh besar.
"Yaah, kurasa aku akan segera menghilang... terima kasih atas keramahanmu, Echidona. Sampai jumpa."
"Sebelum itu, apa kau keberatan?"
Merasakan tubuhnya perlahan memudar, Subaru mencoba mengucapkan selamat tinggal pada Echidona. Tapi Echidona justru menghentikannya.
Dia pun berdiri dari kursinya, dan dengan gaun yang melambai, dia berjalan ke arah Subaru,
"Kau telah hadir di pesta tehku, kau juga memperoleh sebagian dari pengetahuanku... tapi apa kau tidak melupakan sesuatu?"
"Melupakan sesuatu?"
"Bayaranku, tentu saja."
Echidona memicingkan matanya, menjulurkan lidahnya ke arah Subaru.
Mata Subaru terbuka lebar, dengan pelan ia mengulangi kata "bayaran...."
Dan dengan "Ya, bayaran.", Echidona mengangguk,
"Aku juga meminta bayaran untuk pertemuan sebelumnya, kan? Urusan dengan Penyihir itu selalu ada bayarannya. Bayaran yang dulu adalah untuk pertemuan yang dulu, jadi apa ya yang harus kuambil kali ini?"
"Ti-tidak bisakah kau menunggu sampai aku punya kehidupan yang lebih baik? Aku benar-benar tidak bawa uang, dan hal-hal yang kau inginkan mungkin terlalu sulit untukku."
"Kemampuan negosiasimu dengan seorang Penyihir ternyata lemah ya."
Melihat Subaru terdesak ke sandaran kursinya, sebuah senyum sadis muncul di wajah cantik Echidona. Dia melihat Subaru dari atas ke bawah, bertanya-tanya apa yang harus dia ambil.
Bayaran untuk sang Penyihir.... dulu, itu adalah melupakan keberadaan Echidona begitu dia kembali ke dunia nyata. Jika hal yang sama terjadi kali ini, maka informasi yang dia dapatkan dari pesta teh ini, dan harapan untuk memecahkan situasi, juga akan menghilang. Namun, dia juga tidak yakin bayaran lain apa yang mampu dia berikan,
"Baiklah, aku sudah memutuskannya."
'Apa yang akan terjadi?' Subaru kembali menciut, ketika Echidona membungkukan tubuh dan mencondongkan wajahnya ke wajah Subaru. Ketika Subaru merasa terguncang dengan betapa dekatnya bibir mereka, Echidona terus membungkuk... dan meraih bagian dalam jaket Subaru.
Rambutnya yang putih dan lembut bersentuhan dengan kulit Subaru, memiliki bau samar bunga.
Tidak memiliki kekebalan terhadap seorang gadis cantik, otak Subaru seketika membeku bak batu bata.
Namun, tidak mempedulikan keadaan mental Subaru, Echidona pun menyentuh dadanya,
"Kalau begitu, akan kuambil ini."
"..... Oo, eh?"
Menarik tangannya dari dada Subaru... jemari putih Echidona mengambil sebuah sapu tangan kecil yang melambai tertiup angin.
Putih, dengan lapisan berwarna emas, di belakangnya terdapat bordiran Roh Agung berwarna abu-abu,
"Sapu tangan yang Petra berikan saat aku pergi ke Sanctuary...?"
"Kau sebaiknya berterima kasih kepada orang yang memberimu hadiah ini. Di dalamnya tertanam perasaan kuat nan murni mendoakan keselamatanmu. Setiap pertemuan antara jarum dan benangnya menanamkan sihir tersebut ke dalam benda ini. Aku cukup kagum dengan kekuatan yang ada di sini."
"Petra... melakukannya?"
"Sepertinya ada seseorang yang sangat menyukaimu. Aku harus meminta maaf pada anak yang ingin menyampaikan perasaan itu padamu, tapi akan kuambil benda ini."
Pipi Echidona melembut ketika ia melihat bordiran berbentuk Puck di belakangnya, sebelum menyimpan sapu tangan itu ke dadanya. Kemudian, meninggalkan sisi Subaru,
"Bayaran untuk pesta teh ini telah lunas. Dari dasar lubuk hatiku, akan kunantikan kunjunganmu yang selanjutnya."
Dengan gerakan yang nampak seperti bergurau, Echidona mengangkat ujung gaunnya memberikan salam.
Mungkin dia ingin memberikan salam perpisahan yang ceria... hal itu sama sekali tidak cocok dengannya, melihat hal itu, Subaru pun bangkit dari kursinya,
"Terima kasih atas suguhannya... dan juga untuk semuanya... Sampai jumpa."
Dengan cara yang sama, Subaru juga mengangkat keliman jaketnya dan memberikan salamnya sendiri, mengundang senyum kecut di wajah Echidona.
Kemudian, ketika cahaya putih menyelimuti tempat itu... Subaru akhirnya meninggalkan pesta teh Echidona.
Hal pertama yang Subaru rasakan ketika kesadarannya kembali dari pesta teh itu adalah sensasi lantai yang dingin nan keras, serta rasa pahit tanah di dalam mulutnya.
"Ueghh! Gpphh!! Apa hal itu harus terjadi setiap kali aku bangun....!?"
Mengeluarkan benda asing dari dalam mulutnya, Subaru terduduk dan menggelengkan kepala, mendorong otaknya untuk segera bangun.
Hal pertama yang harus dia lakukan adalah memastikan kondisi tubuhnya, dan mengingat apa yang terjadi sebelum dia bangun. Ketika dia kembali dari kematian usai dimangsa oleh Kelinci Raksasa, dia langsung diundang ke pesta teh Echidona. Di sana, dia dibuat terkoyak oleh mata Daphne, menguatkan tekadnya, dan pada akhirnya diselamatkan oleh perasaan Petra.
Tak ada satupun yang hilang dari ingatannya. Dan, merasa lega oleh fakta tersebut,
"Nampaknya Echidona memegang ucapannya. Kali ini pesta teh itu tidak terhapus dari ingatanku."
Kali ini, Penyihir berambut putih itu masih nampak jelas di ingatan Subaru.
Meski dia tidak kekurangan satupun sifat seorang Penyihir, paling tidak dia menepati janjinya. Bahkan, menilai dari interaksi mereka sejauh ini, dia mungkin telah menjadi salah satu dari beberapa orang yang bisa Subaru sebut rekan.
Memang sungguh disayangkan dia tidak punya banyak kesempatan untuk bergantung pada bantuan Echidona,
"Aku tidak bisa bilang aku mendapatkan semua yang kubutuhkan.... tapi setidaknya aku dapat sesuatu."
Menempatkan tangan di atas dadanya, Subaru mengingat kembali hal yang terjadi pesta teh tadi... ia mengingat pengakuannya soal Return by Death dan menggenggam perasaan aman yang ia rasakan.
Di sana, meski hanya terbatas pada Echidona dan para Penyihir lain, bisa mengungkapkan dan membagi bebannya adalah sebanyak-banyaknya berkah yang bisa dia harapkan.
Dan bisa mendengar gagasan soal Return by Death dari orang yang lebih mengetahui dunia paralel ini, adalah salah satu hal yang dia dapatkan.
Penyihir Kecemburuan adalah sumber utama dari semua masalah ini, dan ketika tiba saatnya dia harus menghadapi Penyihir itu, dia akan siap.
"Dengan tekad baru ini, Natsuki Subaru akhirnya terlahir kembali! Karena itulah, akan kugunakan kekuatan Penyihir itu! Tak peduli berapa kalipun hal itu dibutuhkan, aku akan menggunakan nyawaku untuk melakukannya."
Jika hal itu bisa membuatnya semakin dekat dengan jawaban, dia tidak akan meminta apa-apa lagi.
"Penilaian waktuku terasa aneh berkat pesta teh itu, tapi sekarang ini tepat setelah Ujian pertama, kan?"
Lokasi Return by Death masih belum berubah, itulah yang Echidona katakan. Menolehkan kepalanya melihat ke sekitar, dia memang masih berada di dalam Makam.
Mengkonfirmasi hal tersebut dan memutuskan kalau dia harus segera membawa Emilia keluar dari sini, Subaru mulai mencarinya,
"Mengingat saat ini adalah tepat setelah Return by Death, dan sudah yang ketiga kalinya, aku sebaiknya memikirkan cara untuk menghadapi Garfiel.... yaah meskipun aku sangat yakin kalau dia tidak akan langsung mencoba membunuhku."
Tapi, Garfiel adalah orang yang cenderung berpikir gegabah. Mustahil memprediksi apa yang akan dia lakukan.
Dia memikirkan kembali pertemuan terakhir mereka dan kematiannya, meskipun penyebab utama kematiannya adalah Kelinci Raksasa, tapi begitu ia mengingat adegan pembantaian para penduduk desa, emosi gelap dalam diri Subaru seketika mendidih tanpa ia sadari.
Memusnahkan Kelinci Raksasa, menangani serangan Elsa, memecahkan misteri Sanctuary, dan menyelesaikan hutangnya dengan Garfiel.
Meski satupun dari hal itu tidak terjadi di dunia ini, Subaru tidak akan memaafkannya. Entah bagaimanapun caranya, dia pasti akan membalaskan dendamnya pada Garfiel.
Merenungkan hal tersebut, perasaan negatif Subaru pun semakin memuncak, merembes ke permukaan. Tapi semua pemikiran itu tiba-tiba berhenti, ketika,
"..... Di mana Emilia?"
Dia tak ditemukan di manapun.
Perasaan ganjil membuat Subaru mengernyitkan dahinya, berusaha keras melihat ke kegelapan Makam. Tapi dia tak bisa menemukan tubuh Emilia di ruangan sempit tempat Ujian mereka dilangsungkan.
Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Tepat setelah Ujianku, Emilia seharusnya masih berkutat dalam Ujiannya..."
Emilia, tidak bisa melewati Ujian pertamanya, dia seharusnya masih terikat oleh masa lalunya, menderita di samping Subaru.
Namun, dia tidak ada di dalam Makam. Waktu dan tempat ia kembali tak diragukan lagi adalah di dalam Makam tepat setelah Ujian pertama, tapi,
"......"
Subaru punya firasat buruk mengenai hal ini.
Ketiadaan Emilia sangat menyimpang jauh dari pengulangan sebelumnya.
Itu seharusnya tidak mungkin, tidak, kecuali jika Subaru merubah masa depan. Tapi apa yang bisa dilakukan si pingsan Subaru untuk membuat pengaruh semacam ini?
Diombang-ambing oleh rasa gelisah, Subaru berlari keluar dari ruang Ujian dan menuju lorong.
Kemudian, membawa langkah kakinya yang menggema di lorong, Subaru keluar dari Makam.
Di bawah cahaya rembulan, melangkahkan kakinya keluar Makam, apa yang Subaru lihat adalah........
Terdorong oleh rasa lapar sampai-sampai lidahnya sendiri mencoba menampung darah yang mengalir dari tangan kanannya, Subaru mendengar sebuah teriakan dari kejauhan. Marah, suara itu penuh dengan amarah. Murka. Seseorang sedang mengamuk. Seseorang sedang murka. Itu adalah suara seseorang yang sedang marah dan mengamuk.
..... Tapi itu tidak penting. Untuk saat ini, dia hanya ingin memuaskan rasa laparnya.
Kunyah, kunyah, kunyah, tapi itu tidak cukup.
Apa yang bisa dipuaskan hanya dengan dua jari? Dan berapa banyak rasa haus ini bisa dipuaskan oleh beberapa tetes darah?
Tidak cukup. Tidak cukup. Sangat tidak cukup.
Bahkan jika dia melahap seluruh tangan kanannya, lalu memakan tangan kirinya juga, dan bahkan jika dia melahap seluruh tubuhnya, itu masih tidak akan cukup. Tak ada batas untuk rasa lapar ini. Dia hanya menginginkan apa yang dia inginkan. Dan begitulah...
".....HHNGGYAAAaa!!"
".....Apa-apaan...!!"
Berbaring miring di atas rumput, sebuah hantaman datang tepat dari atas kepalanya, hal itu membuat tubuhnya memantul karena gelombang kejut yang dihasilkan sebelum akhirnya kembali menghantam tanah. Daya yang begitu hebat membuat tanah menjadi cekung, meninggalkan kawah di bukit kecil itu dengan Subaru di tengahnya.
Kemudian, si penyerang yang tinjunya masih bersarang di bagian belakang kepala Subaru, tersengal-sengal, dan,
"Sudah cukup! Kenapa semua orang selalu berselisih...?? Mengambil jalan kekerasan adalah yang terburuk... terburuk.... Hg."
Suara yang bercampur dengan isak tangis terdengar dari atas, sedangkan, menikmati rasa lumpur, kesadaran kembali ke dalam diri Subaru. Di saat yang sama, dia juga merasa setetes air mendarat di bagian belakang kepalanya, memandunya untuk mendongak.
Terdapat gambaran samar seorang gadis muda berambut pirang yang perlahan menghilang dan dipenuhi air mata.
.... Apa yang barusan terjadi padanya?
Mendorong dirinya bangkit dari tanah, Subaru pun mengerti ketika dia sadar kalau tangan kanannya sudah pulih.
Dengan cepat, dia menoleh ke arah gadis yang hampir lenyap tersebut,
"Te-terima kasih sudah menyembuhkanku."
"..... Hmph."
Penyihir itu memalingkan wajahnya cemberut saat dia perlahan memudar.
Tapi tepat sebelum dia menghilang sepenuhnya, Subaru sekilas melihat rona merah di pipi gadis itu dan senyum yang tidak bisa dia sembunyikan.
Begitu gadis berambut pirang.... Penyihir Kemarahan itu menghilang dari tempat kejadian, dia seketika digantikan oleh sebuah peti mati.
"Neru-Neru memang suka ikut campur, gess... Hey, apa kau sudah mengerti? Kau sudah mengerti, kan? Subaruu~n?"
Mendengar kata-kata itu dari dalam peti, Subaru melompat berdiri dan menjauh dari kawah sembari menatap Daphne dengan tatapan waspada.
Melihat hal tersebut, Daphne pun mendengus,
"Benar~ benar~ kau memang harus berhati-hati... Lagipula, makan atau dimakan, hanya itulah hubungan yang ada di dunia ini."
"Aku tidak ingin menganggap dunia sebagai tempat haus darah seperti itu... ngomong-ngomong apa yang barusan terjadi? Hanya sebentar sih, tapi... tadi aku benar-benar jadi gila."
"Itulah rasa lapar yang bisa membuat seseorang menjadi gila... Rasa lapar yang begitu ekstrim bisa membuat seseorang menjadi sesuatu yang lebih buruk daripada binatang. Jika kau juga melihat mata kananku, itu akan jauh lebih menarik, kau tahu?"
".... Jangan bercanda."
Mata sihir, atau sesuatu semacam itu.
Meskipun tatapan mata Ram juga merupakan salah satu kekuatan mata, kemampuannya sama sekali tidak punya potensi menyerang, jadi bisa dipastikan kalau mata Daphne itu jauh lebih mengerikan.
Mungkin kemampuan itu bisa disebut 'Eye of Hunger' atau 'Eye of Starvation'.
Saat Subaru menatap mata kiri Daphne, dia seketika langsung memakan jarinya tanpa sadar.
Dia begitu lapar sampai-sampai dia lupa dengan keberadaan rasa sakit, dan semua yang dilihatnya adalah makanan untuk memuaskan rasa laparnya. Dengan kata lain....
"Begitukah.... cara Kelinci Raksasa melihat dunia?"
"Anak-anak itu lahir ketika Daphne benar-benar lapar, jadi mereka meniruku... mereka benar-benar mengerti bagaimana rasanya ingin memakan satu sama lain."
"Bagaimana bisa kau mengatakannya dengan enteng begitu... Apa kau tidak merasa sedih melahirkan makhluk semacam itu? Karena kau sudah sok-sokan mengajariku, seharusnya kau juga sudah tahu bagaimana rasanya lapar. Membiarkan... anak-anakmu sendiri... mengalaminya... itu...."
"....? Tapi meskipun perut Kelinci Raksasa lapar, itu tidak berarti perut Daphne juga lapar?"
".... Aku memang bodoh sudah bertanya."
Seperti garis-garis paralel. Tak peduli seberapa jauh garis-garis itu membentang, mustahil Subaru bisa memahami Penyihir ini.
Mabeast yang dia anggap sebagai anaknya sendiri, sebenarnya hanyalah cadangan makanan yang bisa dia pilih dan makan ketika dia merasa lapar.
Lahir dari tubuhnya sendiri dan dimakan oleh dia sendiri, itu adalah wujud sempurna dari cara hidup sendiri.
"Jika kau tidak mengganggu siapapun dan mengurung diri di suatu dimensi lain, kurasa tidak akan ada seorangpun yang keberatan."
"Hey Subaruun, sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan pada Daphne? Jika yang ingin kau lakukan adalah menganggu Daphne, terjaga selama ini sudah membuat Daphne sangat lapar... dan ingin tidur siang."
Memalingkan wajahnya ketika berada di dalam peti, seluruh tenaga terkuras dari tubuh Daphne, seolah siap untuk jatuh tertidur.
Subaru akhirnya mengerti kenapa Daphne mengikat dirinya di dalam peti mati itu. Menahan ancaman yang ada di dalam dirinya demi dunia... bukanlah alasannya.
Sebaliknya, itu hanya demi mengurangi kalori yang terbakar akibat pergerakannya sehingga dia tidak akan merasa lapar.
Penutup matanya mungkin tidak memiliki kegunaan yang sama, tapi mungkin itu demi mencegah agar mata sihirnya tidak menguras stamina.
Keberadaan gadis ini sepenuhnya ada pada dirinya sendiri.
Keinginan murni hanya untuk makan... hal itu sangat cocok degan gelar Penyihir Kerakusan.
"Jujur saja, aku sangat yakin percuma aku menanyakan hal ini, tapi.... bagaimana caranya memusnahkan Kelinci Raksasa?"
"Eeeehh~? Kau ingin memusnahkan Kelinci Raksasa? Tapi anak-anak itu sangat lemah dan mudah dimakan, mereka juga terus memperbanyak diri. Mereka itu salah satu mahakarya Daphne, lo?"
"Makan atau dimakan... jika kau mengikuti filosofi tersebut, lalu bagaimana dengan membunuh musuhmu demi bertahan hidup? Kuharap kau tidak akan mempermasalahkan insting bertahan hidup selain makan."
Subaru pun memutuskan untuk menyerang dari dasar yang sama dengan moralitas menyimpang Daphne.
Sejujurnya dia sudah setengah menyerah mendapatkan informasi apapun dari Daphne. Bagaimanapun, Subaru tidak bisa membuat Daphne mengatakan sesuatu yang berguna, bahkan, dia tidak bisa membangun percakapan yang benar dengannya.
Dalam sekali lihat, permainan tangkap bola mereka nampak berjalan lancar, tapi nyatanya gadis itu hanya menelan semua bola yang Subaru lempar, memohon pada Subaru untuk melemparnya lagi, tanpa balas melempar apapun.
Namun,
"Karena aku perlu makan demi bertahan hidup, aku juga harus memperbolehkan membunuh demi bertahan hidup... Uuu~unn, itu, nn, itu tak masalah, kan??"
".... Eh? Itu boleh?"
"Jika Daphne membenarkan sesuatu, maka Daphne juga akan menerimanya. Subaruun, apa yang kau pikirkan tentangku?"
'Kau adalah Penyihir paling gila yang pernah kutemui.' pikir Subaru. Tapi jika dia menjawab demikian, hal ini pasti takkan berakhir, jadi dia memutuskan untuk menyimpannya sendiri.
Membiarkan keheningan berlalu, Daphne memanyunkan bibirnya dengan "Huu~uuu",
"Jika kau ingin memusnahkan Kelinci Raksasa, Met-Met, Dona-Dona, dan Milla-Milla bisa melakukannya dengan mudah."
"Tunggu, nama panggilan siapa yang barusan kau sebut? Dona-Dona itu... Echidona, kan? Met-Met... pasti Sekhmet. Tapi siapa Milla-Milla?"
"Carmilla... dia itu si Nafsu. Tapi sepertinya dia tidak ingin menemuimu, Subaruun."
"Meskipun agak menyedihkan mendengar orang yang bertugas pada hal-hal yang seksi membenciku, tapi... saranmu tidak akan berhasil. Para Penyihir tidak bisa meninggalkan tempat ini, jadi kalian tidak akan bisa membantuku."
".... Huuuu, tidak bisa ya...?"
Bagi Subaru yang terbiasa bergantung pada orang lain, penawaran semacam itu adalah sebuah berkah. Jika mereka bisa keluar dan membantunya, mereka memang sudah lebih dari cukup untuk menangani Kelinci Raksasa dan Elsa, tapi,
"Meskipun kau bisa pergi keluar sana... apa kau akan puas hanya dengan memusnahkan dan memakan Kelinci Raksasa itu lalu kembali ke sini?"
"Sepanjang hidupku, perut Daphne tidak pernah puas, kau tahu."
"Karena itulah, biarpun ada cara untuk mengeluarkan kalian dari sini, aku tidak bisa membiarkan kalian pergi."
Menjulurkan lidahnya menanggapi jawaban Daphne, Subaru menolak usulan Penyihir tersebut. Di dalam peti, Daphne membuat suara "Uuunn~", dan,
"Kalau itu tidak berhasil, kurasa kau memang harus memakan mereka semua. Anak-anak itu tidak akan bisa memperbanyak diri dari nol... haa~haa.."
"Lupakan soal makan... jadi kami harus membunuh mereka semua ya... dan jika kami menyisakan satu saja yang masih hidup, mereka semua akan bangkit kembali.... Mereka bergerak dalam kelompok, kan? Tapi apa mereka selalu bersama?"
"Yeah, meskipun mereka ada banyak, kesadaran mereka hanyalah satu. Seperti, satu kesadaran terbagi ke seluruh kelompok. Mereka tidak punya intelegensi untuk berpencar."
"Benar... kah? Kalau begitu, kami tidak akan menemui masalah di mana kami menyisakan beberapa kawanan yang masih hidup... dan menyadari 'AKAN ADA KEPANIKAN DAN KENGERIAN LAGI', kan?"
Hal itu sering terjadi di film-film horror, di mana setelah memusnahkan seekor monster haus darah, kau akan mendapati beberapa dari mereka bertahan hidup dan berkembang biak, lalu akhirnya menemui ending 'BAHAYA BELUM BERAKHIR'.
Tapi sepertinya Kelinci Raksasa ini tidak cukup pintar untuk melakukan hal semacam itu.
"Oh, ngomong-ngomong, rata-rata ada berapa banyak jumlah Kelinci Raksasa itu? Jika mereka saling memakan satu sama lain, kupikir mereka pasti punya sistem untuk mempertahankan jumlah mereka, atau....."
"... Siapa yang tahu? Memangnya kau bisa menghitung jumlah tetesan air di dalam kabut, Subaruun...?"
"Sampai ke tingkat itu...? Tidak, tidak, aku sudah tahu kalau kata-katamu tidak bisa dipegang. Jadi aku hanya perlu menghitung mereka sendiri."
Menghitung jumlah kelinci yang mengerumuninya saja mungkin sudah lebih dari seratus. Tapi mengingat mereka mampu memakan semua orang yang ada di Sanctuary, jumlah mereka pasti mendekati puluhan ribu.
Untuk membunuh mereka semua, dia harus memikirkan cara yang lebih baik.
Ketika Subaru sedang berpikir keras, Daphne menguap lebar menunjukan kebosanannya. Dan membuat gerakan mengunyah di hadapan Subaru yang terdiam,
"Subaruun... kalau kau sedang sibuk berpikir... bisakah Daphne menghilang sekarang? Ketika aku ada, aku jadi lebih lapar, kau tahu..."
"Lebih suka untuk tidak ada agar kau merasa tidak lapar itu benar-benar pernyataan yang sangat luar biasa. Tapi yeah, terlepas dari bagaimana kita bisa sampai ke sini, itu tadi sangat membantu. Terima kasih... dan juga..."
Melontarkan ucapan terima kasih yang terkesan setengah-setengah, Subaru menambahkan kata 'Dan juga' di akhir kalimatnya.
Melihat Daphne menunjukan ekspresi bingung, dia melanjutkan perkataannya dengan suara paling mengejek yang bisa dia keluarkan,
"Akan kumusnahkan kelinci bangsat itu. Aku sudah membunuh Paus Putihmu. Kuharap kau tidak keberatan, mama."
"....."
"Empat ratus tahun, selama itulah makhluk berengsek yang terlahir dari niat baikmu itu berburu di dunia luar sana. Itu sudah cukup lama... sekaranglah saatnya bagiku untuk memusnahkan mereka tanpa sisa."
"Kau hanyalah manusia biasa."
Menanggapi deklarasi perangnya, Daphne menunjukan reaksi yang belum pernah Subaru lihat sebelumnya.
Menyeringai lebar, untuk pertama kalinya, ekspresi Daphne menunjukan sesuatu selain 'Rasa Lapar'.
"Coba saja kalau kau bisa."
Dengan lidah berwarna merah yang terlihat dari mulut penuh taring tajamnya, si Penyihir Kerakusan tersenyum.
XxxxX
Angin kencang bertiup, memaksa Subaru untuk mengangkat tangan guna menutupi matanya.
Angin yang datang tiba-tiba, menciptakan gelombang di padang rumput, membuat daun-daun berterbangan dan tersebar ke udara. Mengikuti daun-daun itu dengan pandangannya, matanya tertuju ke arah langit, dan ketika dia melihat ke bawah lagi,
"Maaf sudah merepotkanmu, Echidona."
"Aku sudah tahu kalau semuanya akan jadi seperti tadi... makanya aku mencoba menghentikanmu."
"Yah mau bagaimana lagi.... Dia melepaskan ikatan dan membuka penutup matanya sendiri. Harusnya kau sedikit memujiku karena aku tidak menyentuhnya, kau tahu."
"Benar. Jika kau menyentuh Daphne, hal itu tidak akan berakhir dengan mudah. Mata kirinya saja bukanlah ancaman yang cukup serius. Tapi kengerian Daphne ada pada mata kanannya, dan itu baru benar-benar akan dimulai begitu kau dimakan."
Subaru entah bagaimana merasa harus menampik pernyataan tersebut.
Sejujurnya, bagian 'Bukan ancaman serius' itu saja sudah cukup untuk menyalakan alarm waspada.
"Apa gunanya menunjukan STATS musuhku ketika pertarungan sudah berakhir? Gezz. Meski begitu, mungkin aku harus mendengarnya untuk jaga-jaga jika aku menemui monster yang memiliki kemampuan serupa..."
"Monster, katamu?"
Masih tidak bisa menyingkirkan kesan buruknya terhadap Daphne, Subaru pun sadar kalau dia mungkin sudah salah bicara ketika mendengar gumaman kecewa Echidona.
Bagi Echidona, Daphne adalah seseorang yang dia sebut teman. Meskipun kau harus mengakui kalau hanya Penyihir lah yang bisa berteman dengan seseorang seperti itu, ini ya ini, dan itu ya itu. Tak peduli bagaimanapun kau melihatnya, menyebut seorang Penyihir sebagai monster di hadapan Penyihir lain itu....
"Ahh, aku tidak berpikir tadi. Maaf. Terbawa suasana. Aku tidak punya komentar apapun mengenai temanmu itu. Itu saja yang ingin kukatakan."
"Huhuhu, kau tidak perlu memikirkan perasaan seorang Penyihir. Kami sudah cukup terbiasa dengan kata-kata semacam itu."
"... Aku tidak yakin kata apa yang harus kugunakan pada Daphne, tapi aku tidak berpikir kalau kau adalah monster. Hanya itulah yang harus kubenarkan."
Mendengar hal tersebut, Echidona membelalakkan matanya kaget.
Dan melihat reaksi Echidona, Subaru dengan cepat mengalihkan pandangannya, mencaci dirinya sendiri karena terkesan mencari keuntungan.
Apa yang dia katakan barusan adalah jelas-jelas untuk menjilat Echidona. Memang sebagian dari kata-kata itu adalah tulus, tapi itu tidak akan mengubah fakta kalau Subaru sedang mencoba tidak membuat kesan buruk terhadap Penyihir yang membantunya.
Dan lagi, hal itu pasti sudah terlihat jelas oleh Penyihir berpengalaman ini.
"Tidak, itu tidak akan berhasil! Meski kau mencoba menipuku dengan kata-kata manismu, aku tidak akan membiarkan diriku tertipu! Ingin teh dan kue lagi?"
"Bilang begitu sambil terlihat ceria itu sama sekali tidak meyakinkan! Kenapa rutemu mudah sekali ya? Ini seperti level gadis yang sangat kesepian!"
Jika Echidona terpengaruh oleh sanjungan semacam itu, maka Subaru benar-benar harus mengkhawatirkan masa depan Penyihir ini.
Tapi, walaupun dia sudah tahu kalau Echidona tidak akan terpengaruh... hal itu tetap meninggalkan rasa sakit di dadanya.
"Kurasa aku harus menolak cairan tubuh dan apapun yang kau taruh di dalam kue itu."
"Aku tidak menaruh rambutku atau semacamnya ke kue itu kok?"
"Bagaimana bisa aku tidak meragukan setiap pernyataan yang kau buat setelah semua yang terjadi?"
Subaru sudah memutuskan kalau dia tidak akan memakan apapun dari sini lagi.
Melihat Subaru memberinya tatapan curiga, Echidona pun tersenyum kecut. Kemudian, dia membalas tatapan Subaru dengan mata seolah tahu segalanya.
Entah kenapa, terkadang Subaru merasa kalau mata itu terasa sangat mengkhawatirkan.
"Aku tidak suka dengan tatapan yang terasa seolah bisa melihat diriku sepenuhnya itu."
"Jika aku bisa tahu segala tentangmu hanya dengan melihat saja, maka aku tidak keberatan melihatmu sampai terbakar menjadi arang... tapi ngomong-ngomong, kau sadar atau tidak ya?"
"Sadar soal apa?"
"Yaah, dalam imajinasiku yang sempit dan kikuk, apa yang kau lalui barusan seharusnya adalah pengalaman yang mengejutkan bagi kebanyakan manusia. Terdorong oleh rasa lapar sampai membuatmu memakan tubuhmu sendiri adalah hal yang tidak wajar, kan?"
Mendengar penyampaian Echidona, Subaru teringat betapa mengerikannya situasi yang dia alami tadi.
Mengangkat tangan kanannya, dia memastikan kalau kelima jarinya masih ada di sana, semua itu berkat penyembuhan seorang Penyihir.
Ketika Subaru diam-diam berterima kasih kepada Penyihir di dalam kepalanya, Echidona menutup sebelah matanya,
"Minerva tadi mengabaikan panggilanku dan langsung keluar begitu saja. Ketika dia melihat sebuah luka, dia pasti akan langsung menyerbu tanpa menghiraukan penampilannya... Sulit punya kehidupan yang panjang dengan sifat seperti itu. Faktanya, di antara kami dia lah yang terbunuh pertama kali."
"Akhir dari para Penyihir ya.... kudengar kalian dimakan oleh Penyihir Kecemburuan, tapi apa boleh aku menanyakan hal itu?"
"Bertanya kepada orang mati bagaimana mereka bisa mati, aku penasaran apakah hal itu terlalu kasar atau tidak? Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Kalau menurut pendapatku..... hmm, bagaimana ya. Kurasa sebaiknya aku tidak menceritakan kisah itu. Lagipula, hal itu menyangkut reputasi kelima Penyihir lain."
Melihat Echidona tidak bersedia menceritakan detail kematian mereka, Subaru hanya bisa menerimanya.
Subaru sendiri sudah mati beberapa kali sebelumnya, dia tahu betul kalau itu bukanlah topik yang tepat untuk sebuah obrolan ringan. Bagamanapun juga, kematian adalah hal yang sangat berat.
"Dalam hal ini, kurasa kalian adalah beberapa dari sedikit orang yang bisa berbagi perasaan itu denganku."
".... Tidak, aku tidak yakin. Memang kami sudah pernah mati, tapi aku tidak yakin kami memiliki permikiran yang sama denganmu."
Ketika Subaru berpikir akhinya dia menemukan sebuah kesamaan, kata-katanya langsung ditolak.
Tapi saat dia hendak menyangkal sifat dingin Echidona, semua emosi itu langsung menguap begitu dia menyadari ekspresi suram di wajah Echidona. Dia menatap ke arah Subaru, keningnya berkerut dengan jejak-jejak kesedihan,
"Ini juga berkaitan dengan masalah kesadaran... apa kau sadar kalau keadaanmu saat ini sudah sangat menyimpang?"
"Menyimpang...?"
"Tak diragukan lagi ini pasti konsekuensi dari Return by Death. Dan, meski rasanya sakit mengakui hal itu sebagai alasan, melihatmu tidak menyadarinya malah membuatku lebih sakit lagi."
"Aku tidak mengerti.... apa yang ingin kau katakan...."
"Apa menurutmu normal orang yang baru saja memakan jarinya sendiri, meski sudah disembuhkan, bisa melakukan obrolan santai seperti ini seolah tidak terjadi apa-apa?"
"......."
Sesaat, Subaru berhenti bernapas.
Dengan mata yang tegas, Echidona menatap Subaru yang membeku. Dan kemudian, kepada Subaru yang lupa caranya bernapas,
"Sepertinya, kau tidak sepenuhnya tidak sadar."
".... Kurasa, itu masalah bagaimana aku melihatnya. Jujur saja, aku sadar kalau cara berpikirku saat ini tidaklah normal. Tapi demi apa yang paling penting buatku... kurasa tak masalah mengabaikan hal-hal lainnya."
"Hal-hal lain, seperti?"
"Yaah, tujuan utamaku sekarang adalah memecah kebuntuan ini. Masalah di mansion, masalah di Sanctuary, dan yang paling penting, masalah yang dihadapi Emilia. Aku masih terjebak seperti sebelumnya, aku juga tidak tahu di mana harus memulai, tapi...."
Bernapas melalui hidungnya, Subaru mendongak ke arah langit.
Biru dan luas, dengan awan putih yang melayang dan angin yang menyejukkan. Membiarkan semua itu memenuhi pandangannya, tenggelam ke dalam pemandangan yang berada di luar realita tersebut,
"Aku sudah memutuskan kalau aku akan menggunakan semua yang kumiliki."
".... Jadi kau menerima Return by Death?"
"Itu bukan berarti aku menerimanya.... hanya saja, sejak awal aku cuma punya sedikit senjata, jadi hanya itu yang kumiliki.... Jangan salah paham juga, aku sama sekali tidak suka menggunakannya."
Di hadapan Echidona yang pasti sudah tahu isi pikirannya, Subaru tetap memberikan klarifikasi yang sebenarnya tidak perlu.
"Demi meraih masa depan yang kuinginkan, meski aku harus membayarnya dengan nyawaku, aku pasti akan melakukannya. Untuk saat ini, paling tidak aku bisa tenang karena aku bisa terus kembali dari kematian asalkan aku masih waras. Kalau begitu, aku hanya perlu memeras semua tekad yang ada pada diri ini hingga mencapai batasnya."
"Menumpuk kematian demi membawa masa depan ke dalam jangkauanmu... itu bukanlah tekad yang bisa dimiliki oleh orang biasa."
"Aku sudah terlalu sering mati.... sebelum aku mengetahuinya, kepalaku pasti sudah jadi kacau."
Dia sama sekali tidak meremehkan kematian. Hanya saja, pengalaman kematian yang sudah menumpuk pada diri Subaru telah menguatkan keyakinannya menjadi sesuatu yang tak dapat diubah dan mengerikan.
Tak diragukan lagi, Subaru kini lebih takut dengan kematian dibandingkan sebelumnya.
Tapi meski begitu, Subaru tetap berniat memanfaatkan kematian itu. Sesederhana itulah pemikirannya.
Setelah menumpuk kematiannya dan menyaksikan akhir dunia, dia sadar apa yang jauh lebih menyakitkan dibandingkan kematiannya sendiri, itu adalah kematian orang-orang terdekatnya.
Jika itu bisa menyelamatkan mereka dari takdir mutlak kematian, tanpa ragu dia akan mencurahkan kehidupannya yang bisa digantikan.
Menelan semua rasa sakit, penderitaan, kengerian, dan mati demi bertahan hidup.
.... Itulah dasar dari tekad Subaru yang menyimpang.
"Jika satu-satunya hal yang harus kukorbankan adalah hatiku, maka aku akan dengan senang hati mengorbankannya. Return by Death memang benar-benar cocok dengan orang lemah yang selalu bergantung pada orang lain, ya?"
"......"
"Aku tadinya berharap kau akan menghiburku dengan 'Jangan merendahkan diri' atau semacamnya!?"
"Mengingat rintangan yang telah menunggumu di segala arah, aku tidak bisa mengatakannya begitu saja. Faktanya, jika kau ingin mengontrol situasi ini, takkan ada cara lain selain menggunakannya. Meskipun secara pribadi aku akan sangat kesal tidak punya pilihan selain bergantung pada Kecemburuan."
Fakta bahwa Echidona mampu menahan diri untuk tidak memberikan kata-kata pelipur lara dengan mudah, menunjukan kalau dia adalah tipe orang yang sangat mempertimbangkan keadaan.
Meski itu bukan dorongan yang kuat, Subaru bersyukur masih ada orang yang menyadarkannya seperti ini.
Bagaimanapun, mengetahui kalau jalan di depannya akan penuh dengan luka dan goresan, justru membuat jalan itu semakin layak untuk diambil.
"Pada akhirnya, yang bisa kulakukan hanyalah mengulangi Return by Death dan mencoba semua pilihan. Aku sangat tidak suka membayangkan banyaknya pengamalan menyakitkan yang akan kuhadapi di depan sana."
"......"
"Salah satu misteri yang perlu kupecahkan juga adalah, percobaan macam apa yang kau lakukan di Tanah Percobaan Sanctuary ini... kau mungkin tidak akan mau memberitahuku, iya kan?"
".... Tentu saja tidak. Sudah kubilang sebelumnya, kan? Aku tidak ingin kau merendahkanku."
Echidona menggelengkan kepalanya menanggapi pertanyaan Subaru, dan menolak permintaannya.
Menerima jawaban tersebut, "Kalau begitu, tak ada pilihan lain", Subaru melanjutkan dibarengi bunyi gemeretak dari tulang lehernya,
"Jika kau tidak mau memberitahuku, maka tak ada pilihan lain. Aku hanya perlu melangkah maju dan membuka semua rahasia yang ingin kau sembunyikan. Kau tidak akan menghentikanku, kan?"
"..... Jika kau memang ingin membukanya, maka tak ada yang bisa kulakukan. Kalau kau ingin membuka rahasiaku yang sangat kau benci, dan dengan paksa memamerkannya di bawah sinar matahari, maka satu-satunya pilihanku adalah menahannya."
"Kau membuatnya terdengar seolah aku berniat melakukan sesuatu yang buruk, jadi bisakah kau tidak berkata seperti itu?"
Pipi Echidona merona, dengan cepat ia langsung memalingkan wajahnya dari Subaru.
Subaru benar-benar tidak tahu apakah Echidona sengaja melakukan hal itu ataukah itu memang kepribadiannya. Yang jelas, dari apa yang bisa Subaru lihat melalui pesta teh ini, dia mungkin adalah gadis yang polos... Penyihir memang menakutkan.
Lalu, ketika ia hendak melanjutkan percakapan ini,
"Nnnh....."
Tiba-tiba, masih terduduk di kursinya, sensasi pusing menyerang Subaru. Sesuatu yang terasa seperti perasaan pening ketika seseorang berdiri terlalu cepat mengguncang kesadaran Subaru. Itu adalah,
"Sepertinya tubuhmu akan segera terbangun."
"Pesta tehnya berakhir di sini, ya... Itu tadi sangat berarti, kau tahu."
"Dulu kau sangat mengejutkanku, ketika kau bilang kalau tak ada hal yang ingin kau tanyakan. Tapi kali ini, aku penasaran, apa aku sesuai dengan reputasiku sebagai Penyihir Keserakahan?"
Dengan semua diskusi, pelajaran, dan obrolan yang baru saja berlalu, pesta teh ini pasti sangat memuaskan bagi Echidona. Subaru sendiri agak enggan untuk pergi ketika melihat keceriaan dan penyesalan Echidona, tapi Subaru langsung mengelengkan kepalanya dan mengesampingkan sentimen tersebut.
Sangat aneh bagaimana Penyihir ini bisa menarik sanubarinya, tapi terlalu dekat dengannya bukanlah hal yang bagus. Dia adalah seorang Penyihir, dan terlebih lagi, dia sudah mati. Meskipun tidak jelas bagian mana yang lebih buruk.
"Apa yang harus kulakukan ketika aku ingin kembali ke sini?"
"Maksudmu bagaimana cara agar diundang ke pesta teh? Oh tidak tidak, kita tidak bisa, kau tidak boleh terlalu bergantung padaku. Memang tak ada orang yang bisa kau beritahu mengenai Return by Death di luar sana, aku pun tahu seberapa besar kau merindukanku sebagai orang yang bisa kau tunjukan perasaanmu, tapi aku sudah mati dan kau masih hidup... tidak, di antara kita, hal itu tidak boleh terjadi."
"Ketika kau bicara sambil menggeliat dan terlihat bahagia begitu, itu sama sekali tidak meyakinkan!"
Apa yang harus Subaru lakukan ketika Echidona tiba-tiba bertingkah seperti pemilik restoran belut yang melihat pelanggan pertamanya setelah bertahun-tahun?Melihat cara Echidona menatapnya dengan tangan memegang pipi, Subaru sama sekali tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
Kemudian, dengan "Huhuhhu", Penyihir itu meletakkan tangan di atas bibirnya, tersenyum,
"Jangan terlihat gelisah begitu. Aku ini seorang gadis, dan terkadang aku pun juga ingin melakukan obrolan santai seperti tadi. Itu saja. Aku masih sadar kok jarak antara manusia dan Penyihir."
".... Echidona."
"Syarat agar bisa diundang ke pesta teh ini adalah dengan berteriak dari dasar lubuk hatimu, 'Aku ingin tahu' saat berada di dalam Makamku. Yang pertama kau langsung diundang begitu saja, tapi yang kedua sampai seterusnya tidak akan semudah itu. Untuk yang ketiga kalinya... mungkin akan cukup sulit. Hanya sekedar teriakan dangkal saja tidak akan bisa meraihku."
Mendengar Echidona menjelaskan hal tersebut, Subaru ingat apa yang terjadi tepat sebelum dia menerima undangan.
Pada waktu itu dia baru saja kembali dari kematian setelah dimakan hidup-hidup oleh Kelinci Raksasa. Tubuhnya tenggelam di dalam derita kematian, dan kesadarannya terus berteriak 'Apa yang terjadi?'
Di situlah dia mendengar undangan Echidona. Tapi berikutnya pasti akan lebih sulit dibandingkan saat itu.
"Aku benar-benar... tidak ingin...."
"Tepat sekali. Jadi... mungkin ini adalah terakhir kalinya kita bertemu. Meskipun tentu, ini tidak akan jadi yang terakhir kalau kau mengikuti Ujian lagi."
Sama seperti Ujian pertama, nampaknya Echidona juga akan menunggunya di Ujan kedua dan ketiga. Asalkan dia menantang Ujian itu menggantikan tempat Emilia, reuni mereka pasti akan terjadi,
Dengan kata lain,
"Berarti aku bisa menemuimu di Ujian selanjutnya, kan? Rasanya tidak akan ada teh di sana."
"Jika kau benar-benar ingin minum, aku tidak keberatan membuatkanmu teh langsung di sana."
"Tidak tidak, aku punya firasat jika aku melihat proses pembuatannya, itu malah membuatku lebih tidak ingin meminumnya."
Melihat Subaru mengangkat tangannya bilang tidak, Echidona pun menunjukan ekspresi paling sedihnya.
Subaru tidak tahu kenapa dia ingin sekali membuat orang lain meminum cairan tubuhnya. Mungkin dia ingin bagian dari dirinya menjadi bagian dari diri orang lain, atau fetish semacam itu... dosanya sungguh besar.
"Yaah, kurasa aku akan segera menghilang... terima kasih atas keramahanmu, Echidona. Sampai jumpa."
"Sebelum itu, apa kau keberatan?"
Merasakan tubuhnya perlahan memudar, Subaru mencoba mengucapkan selamat tinggal pada Echidona. Tapi Echidona justru menghentikannya.
Dia pun berdiri dari kursinya, dan dengan gaun yang melambai, dia berjalan ke arah Subaru,
"Kau telah hadir di pesta tehku, kau juga memperoleh sebagian dari pengetahuanku... tapi apa kau tidak melupakan sesuatu?"
"Melupakan sesuatu?"
"Bayaranku, tentu saja."
Echidona memicingkan matanya, menjulurkan lidahnya ke arah Subaru.
Mata Subaru terbuka lebar, dengan pelan ia mengulangi kata "bayaran...."
Dan dengan "Ya, bayaran.", Echidona mengangguk,
"Aku juga meminta bayaran untuk pertemuan sebelumnya, kan? Urusan dengan Penyihir itu selalu ada bayarannya. Bayaran yang dulu adalah untuk pertemuan yang dulu, jadi apa ya yang harus kuambil kali ini?"
"Ti-tidak bisakah kau menunggu sampai aku punya kehidupan yang lebih baik? Aku benar-benar tidak bawa uang, dan hal-hal yang kau inginkan mungkin terlalu sulit untukku."
"Kemampuan negosiasimu dengan seorang Penyihir ternyata lemah ya."
Melihat Subaru terdesak ke sandaran kursinya, sebuah senyum sadis muncul di wajah cantik Echidona. Dia melihat Subaru dari atas ke bawah, bertanya-tanya apa yang harus dia ambil.
Bayaran untuk sang Penyihir.... dulu, itu adalah melupakan keberadaan Echidona begitu dia kembali ke dunia nyata. Jika hal yang sama terjadi kali ini, maka informasi yang dia dapatkan dari pesta teh ini, dan harapan untuk memecahkan situasi, juga akan menghilang. Namun, dia juga tidak yakin bayaran lain apa yang mampu dia berikan,
"Baiklah, aku sudah memutuskannya."
'Apa yang akan terjadi?' Subaru kembali menciut, ketika Echidona membungkukan tubuh dan mencondongkan wajahnya ke wajah Subaru. Ketika Subaru merasa terguncang dengan betapa dekatnya bibir mereka, Echidona terus membungkuk... dan meraih bagian dalam jaket Subaru.
Rambutnya yang putih dan lembut bersentuhan dengan kulit Subaru, memiliki bau samar bunga.
Tidak memiliki kekebalan terhadap seorang gadis cantik, otak Subaru seketika membeku bak batu bata.
Namun, tidak mempedulikan keadaan mental Subaru, Echidona pun menyentuh dadanya,
"Kalau begitu, akan kuambil ini."
"..... Oo, eh?"
Menarik tangannya dari dada Subaru... jemari putih Echidona mengambil sebuah sapu tangan kecil yang melambai tertiup angin.
Putih, dengan lapisan berwarna emas, di belakangnya terdapat bordiran Roh Agung berwarna abu-abu,
"Sapu tangan yang Petra berikan saat aku pergi ke Sanctuary...?"
"Kau sebaiknya berterima kasih kepada orang yang memberimu hadiah ini. Di dalamnya tertanam perasaan kuat nan murni mendoakan keselamatanmu. Setiap pertemuan antara jarum dan benangnya menanamkan sihir tersebut ke dalam benda ini. Aku cukup kagum dengan kekuatan yang ada di sini."
"Petra... melakukannya?"
"Sepertinya ada seseorang yang sangat menyukaimu. Aku harus meminta maaf pada anak yang ingin menyampaikan perasaan itu padamu, tapi akan kuambil benda ini."
Pipi Echidona melembut ketika ia melihat bordiran berbentuk Puck di belakangnya, sebelum menyimpan sapu tangan itu ke dadanya. Kemudian, meninggalkan sisi Subaru,
"Bayaran untuk pesta teh ini telah lunas. Dari dasar lubuk hatiku, akan kunantikan kunjunganmu yang selanjutnya."
Dengan gerakan yang nampak seperti bergurau, Echidona mengangkat ujung gaunnya memberikan salam.
Mungkin dia ingin memberikan salam perpisahan yang ceria... hal itu sama sekali tidak cocok dengannya, melihat hal itu, Subaru pun bangkit dari kursinya,
"Terima kasih atas suguhannya... dan juga untuk semuanya... Sampai jumpa."
Dengan cara yang sama, Subaru juga mengangkat keliman jaketnya dan memberikan salamnya sendiri, mengundang senyum kecut di wajah Echidona.
Kemudian, ketika cahaya putih menyelimuti tempat itu... Subaru akhirnya meninggalkan pesta teh Echidona.
XxxxX
Hal pertama yang Subaru rasakan ketika kesadarannya kembali dari pesta teh itu adalah sensasi lantai yang dingin nan keras, serta rasa pahit tanah di dalam mulutnya.
"Ueghh! Gpphh!! Apa hal itu harus terjadi setiap kali aku bangun....!?"
Mengeluarkan benda asing dari dalam mulutnya, Subaru terduduk dan menggelengkan kepala, mendorong otaknya untuk segera bangun.
Hal pertama yang harus dia lakukan adalah memastikan kondisi tubuhnya, dan mengingat apa yang terjadi sebelum dia bangun. Ketika dia kembali dari kematian usai dimangsa oleh Kelinci Raksasa, dia langsung diundang ke pesta teh Echidona. Di sana, dia dibuat terkoyak oleh mata Daphne, menguatkan tekadnya, dan pada akhirnya diselamatkan oleh perasaan Petra.
Tak ada satupun yang hilang dari ingatannya. Dan, merasa lega oleh fakta tersebut,
"Nampaknya Echidona memegang ucapannya. Kali ini pesta teh itu tidak terhapus dari ingatanku."
Kali ini, Penyihir berambut putih itu masih nampak jelas di ingatan Subaru.
Meski dia tidak kekurangan satupun sifat seorang Penyihir, paling tidak dia menepati janjinya. Bahkan, menilai dari interaksi mereka sejauh ini, dia mungkin telah menjadi salah satu dari beberapa orang yang bisa Subaru sebut rekan.
Memang sungguh disayangkan dia tidak punya banyak kesempatan untuk bergantung pada bantuan Echidona,
"Aku tidak bisa bilang aku mendapatkan semua yang kubutuhkan.... tapi setidaknya aku dapat sesuatu."
Menempatkan tangan di atas dadanya, Subaru mengingat kembali hal yang terjadi pesta teh tadi... ia mengingat pengakuannya soal Return by Death dan menggenggam perasaan aman yang ia rasakan.
Di sana, meski hanya terbatas pada Echidona dan para Penyihir lain, bisa mengungkapkan dan membagi bebannya adalah sebanyak-banyaknya berkah yang bisa dia harapkan.
Dan bisa mendengar gagasan soal Return by Death dari orang yang lebih mengetahui dunia paralel ini, adalah salah satu hal yang dia dapatkan.
Penyihir Kecemburuan adalah sumber utama dari semua masalah ini, dan ketika tiba saatnya dia harus menghadapi Penyihir itu, dia akan siap.
"Dengan tekad baru ini, Natsuki Subaru akhirnya terlahir kembali! Karena itulah, akan kugunakan kekuatan Penyihir itu! Tak peduli berapa kalipun hal itu dibutuhkan, aku akan menggunakan nyawaku untuk melakukannya."
Jika hal itu bisa membuatnya semakin dekat dengan jawaban, dia tidak akan meminta apa-apa lagi.
"Penilaian waktuku terasa aneh berkat pesta teh itu, tapi sekarang ini tepat setelah Ujian pertama, kan?"
Lokasi Return by Death masih belum berubah, itulah yang Echidona katakan. Menolehkan kepalanya melihat ke sekitar, dia memang masih berada di dalam Makam.
Mengkonfirmasi hal tersebut dan memutuskan kalau dia harus segera membawa Emilia keluar dari sini, Subaru mulai mencarinya,
"Mengingat saat ini adalah tepat setelah Return by Death, dan sudah yang ketiga kalinya, aku sebaiknya memikirkan cara untuk menghadapi Garfiel.... yaah meskipun aku sangat yakin kalau dia tidak akan langsung mencoba membunuhku."
Tapi, Garfiel adalah orang yang cenderung berpikir gegabah. Mustahil memprediksi apa yang akan dia lakukan.
Dia memikirkan kembali pertemuan terakhir mereka dan kematiannya, meskipun penyebab utama kematiannya adalah Kelinci Raksasa, tapi begitu ia mengingat adegan pembantaian para penduduk desa, emosi gelap dalam diri Subaru seketika mendidih tanpa ia sadari.
Memusnahkan Kelinci Raksasa, menangani serangan Elsa, memecahkan misteri Sanctuary, dan menyelesaikan hutangnya dengan Garfiel.
Meski satupun dari hal itu tidak terjadi di dunia ini, Subaru tidak akan memaafkannya. Entah bagaimanapun caranya, dia pasti akan membalaskan dendamnya pada Garfiel.
Merenungkan hal tersebut, perasaan negatif Subaru pun semakin memuncak, merembes ke permukaan. Tapi semua pemikiran itu tiba-tiba berhenti, ketika,
"..... Di mana Emilia?"
Dia tak ditemukan di manapun.
Perasaan ganjil membuat Subaru mengernyitkan dahinya, berusaha keras melihat ke kegelapan Makam. Tapi dia tak bisa menemukan tubuh Emilia di ruangan sempit tempat Ujian mereka dilangsungkan.
Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Tepat setelah Ujianku, Emilia seharusnya masih berkutat dalam Ujiannya..."
Emilia, tidak bisa melewati Ujian pertamanya, dia seharusnya masih terikat oleh masa lalunya, menderita di samping Subaru.
Namun, dia tidak ada di dalam Makam. Waktu dan tempat ia kembali tak diragukan lagi adalah di dalam Makam tepat setelah Ujian pertama, tapi,
"......"
Subaru punya firasat buruk mengenai hal ini.
Ketiadaan Emilia sangat menyimpang jauh dari pengulangan sebelumnya.
Itu seharusnya tidak mungkin, tidak, kecuali jika Subaru merubah masa depan. Tapi apa yang bisa dilakukan si pingsan Subaru untuk membuat pengaruh semacam ini?
Diombang-ambing oleh rasa gelisah, Subaru berlari keluar dari ruang Ujian dan menuju lorong.
Kemudian, membawa langkah kakinya yang menggema di lorong, Subaru keluar dari Makam.
Di bawah cahaya rembulan, melangkahkan kakinya keluar Makam, apa yang Subaru lihat adalah........
---End---
Lanjut ke -> Re:Zero Arc 4 - Chapter 49
Baca Semua Chapter -> Index Re:Zero Arc 4
Translator : Zhi End Translation..
16 Komentar
Wih Subaru liat si END :v nyasar y si End dari isekai wa smartphone
BalasJk
maksih min updatex..
BalasDi tunggu selanjutnya, semangat trusss.. 👍
D lanjut y min.. thanks
BalasLanjut min semakin menarik kayanya
BalasMakasih min... Di tunggu lanjutannya...
Balasneng Emilia kemana sih?...
Dilanjut min WN re zero-nya…soalnya ceritanya semakin menarik
BalasThanks min
BalasMakasih Min Baru Baca Yg Ini Semangat Yo Min TL Nya Soalnya Baca Re Zero Cma Disini Doank Heheheheh ^_^
Balasnah lo dimana emilia
BalasDadah Echidona
BalasWaduh sumpahh nih LN keren bangett, bye2 Neng Echidona, tte- neng emilia ke mana?!?!?!
BalasAyo min lanjut min
BalasLanjut min, moga aja chap 49 cepet keluar :D
BalasDi tunggu min kelanjutannya udh ga sabar nih
BalasSemangat terus min TLnya :)
Di tunggu min kelanjutannya udh ga sabar nih
BalasSemangat terus min TLnya :)
lanjut minnn
Balas