Hataraku Maou-Sama Volume 12 - Chapter 1 (Part 1) Bahasa Indonesia

[Translate] Hataraku Maou-Sama Volume 12 - Chapter 1 : Raja Iblis, Terus Menjalani Kehidupan Yang Normal -1




Chapter 1 : Raja Iblis, Terus Menjalani Kehidupan Yang Normal.

Rumah, adalah tempat yang bisa memberikan rasa aman yang tak tergantikan.

Contohnya, ketika berwisata, tak peduli betapa mewahnya hotel tempat seseorang menginap selama perjalanan, begitu mereka pulang ke rumahnya yang berantakan, perasaan sepi dan rasa aman yang aneh pasti akan muncul.

Namun...

“Apa ini!?”

Apa yang dia alami...

“Itu balok sihir iblis milikku dan Maou-sama. Kutaruh situ karena mereka tidak bisa disimpan sembarangan.”

Padahal dia hanya sementara meninggalkan rumah....

“Huh? Balok sihir iblis? Apa ini tidak terlalu bodoh? Apa kalian berdua ini tolol?”

“Padahal kau baru pulang setelah sekian lama, kenapa nada bicaramu seperti itu??”

“Yaiyalah! Tentu saja aku ingin protes!”

Tak disangka, wilayah yang dia gunakan untuk tinggal kini telah ditempati.

Urushihara Hanzo yang akhirnya keluar dari rumah sakit pun kembali ke kamar 201 Villa Rosa Sasazuka, namun dia mendapati 'kamar pribadinya' yang ada di dalam lemari, telah ditutupi oleh koran dan tali rafia serta ditempati oleh objek misterius yang nampak seperti Yokan besar dengan tekstur lembut. Hal itu tentu membuatnya tak bisa berkata-kata.

(T/N : Yokan, sejenis makanan yang terbuat dari pasta kacang merah, agar-agar, dan gula)

Dari sudut pandang Urushihara, setelah dimasukkan rumah sakit dengan paksa, bukan hanya tidak bisa keluar dari kamar rumah sakit dan diawasi, ketika akhinya dia bisa pulang, bahkan kamar pribadinya pun ikut disegel.

Dan apa yang menempati kamarnya adalah sihir iblis yang dikenal sebagai sumber energi kehidupan mereka.

Sebelum ini, tidak hanya Urushihara, bahkan Ashiya Shirou yang mengabaikan keluhan Urushihara dan justru balik membentaknya, serta Maou Sadao, master mereka yang merupakan penyewa apartemen ini telah dipaksa untuk menjalani hidup penuh aturan di Jepang yang sama sekali tidak cocok dengan mereka sebagai iblis. Hal itu terjadi karena mereka tidak memiliki sihir iblis.

Namun, jumlah sihir iblis yang kini ada di lemari, meski hanya perkiraan kasar, itu mungkin sudah cukup untuk mengimbangi kekutan penuh Raja Iblis Satan.

Dengan semua yang telah terjadi sejauh ini, Urushihara tahu kalau Maou dan Ashiya tidak akan menggunakan sihir iblis dan kekerasan untuk menaklukan Jepang.

Meski begitu, dia masih tidak mengerti kenapa mereka berdua membiarkan energi sebesar itu tak tersentuh dan berencana melanjutkan hidup sama seperti sebelumnya.

“Ashiya, apa kau tidak pernah terpikir untuk menggunakan benda ini dengan lebih efisien? Meski mereka adalah sumber daya cadangan, tidak akan ada gunanya meninggalkan mereka di sana.”

“Kau tidak punya hak untuk mengajariku soal uang. Anggap saja ini sebagai tabungan untuk masa depan.”

“Memangnya kau berencana mengambil tabunganmu sedikit demi sedikit ketika kau sudah tua nanti? Ashiya, apa kau sama sekali tidak punya ambisi? Pernahkah kau mempertimbangkan ingin menggunakannya untuk meningkatkan kondisi kehidupanmu?”

Urushihara terus melakukan pembelaan, Ashiya balik bertanya merasa terkejut,

“Meningkatkan kondisi kehidupan? Apa maksudmu?”

“Apa maksudku....”

Tak menyangka akan ditanyai seperti itu, Urushihara sesaat tak bisa berkata-kata.

“Uh, erhm, maksudku itu.....”

Urushihara membuka lemari dan melihat ke sekitar kamar.

“Be-benar, persediaan makanan! Sihir iblis itu energi kehidupan kita kan? Karena sekarang kita sudah punya sihir iblis, berarti kita tidak butuh makan lagi, kan?”

Ucap Urushihara sambil berlari ke arah kulkas dan membukanya, dia menemukan daging, sayur, ikan, susu, tahu, natto, dan berbagai bumbu yang tersimpan di dalamnya seperti biasa. Dia sangat yakin kalau itu adalah cara penempatan barang-barang yang biasa dilakukan Ashiya.

“Makan adalah dasar dari kehidupan. Berkat Maou-sama yang bekerja, kita bisa makan tiga kali sehari. Jadi tak perlulah kita menggunakan sihir iblis dengan sembrono.”

“Tidak bisa menemukan bagian aneh di kalimat Ashiya memang menjengkelkan!”

Urushihara menutup pintu kulkas.

“Ka-kalau begitu, hal-hal seperti listrik, air, dan gas, kita tidak perlu menggunakan mereka lagi, kan?”

“Memangnya ada cara untuk menyalakan microwave menggunakan sihir iblis?”

“Masa tidak bisa, kau itu Jenderal Iblis, kan?”

“Benda elektronik Jepang itu menggunakan aliran listrik AC, jadi asalkan kita menggunakan sihir iblis untuk membuat serangan seperti serangan petir, mereka pasti bisa berfungsi. Tapi berbeda dengan serangan petir, daya listrik yang dikonsumsi alat-alat itu sangat lemah. Bagi kita, itu butuh penyesuaian yang sangat sulit, kan?”

“Ugh... ka-kalau begitu.....”

Urushihara yang sekali lagi tergagap, membentangkan tangannya karena kepikiran sesuatu.

“Benar juga, masalah kamar ini! Karena kita sudah mendapatkan kembali sihir iblis kita, berarti kita tidak perlu lagi mengikuti hukum manusia, kan? Aku tak bisa membantah soal menggunakan metode kekerasan, tapi setidaknya kita bisa mengendalikan manusia, meninggalkan apartemen kumuh ini, dan pindah ke apartemen yang memiliki banyak kamar, punya dapur yang luas serta kamar mandi terpisah, kan?”

“Jika itu aku setahun yang lalu, aku mungkin akan memikirkan hal yang sama.”

“.... Tidak, erhm, meski kau memiliki pemikiran yang sama, aku merasa ambisimu itu terlalu kecil bagi seorang Jenderal Iblis.”

Berbicara soal setahun yang lalu, itu adalah saat Ashiya tidak berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.

Begitu mengingat soal Ashiya Shirou alias Jenderal Iblis Alsiel yang sudah kepikiran untuk pindah ke apartemen dengan dapur luas dan kamar mandi terpisah bahkan sebelum dia dekat dengan Jepang dan manusia, Urushihara mulai merasa lelah....

“Tapi bagi kita yang sekarang, kita tak punya alasan apapun untuk pindah dari apartemen ini.”

“Kenapa? Padahal kau sering mengeluh soal fasilitas di sini, kan!?”

Urushihara tadinya ingin agar mereka menggunakan sihir iblis untuk melakukan hal-hal yang lebih keiblisan, tapi topik pembicaraan entah bagaimana beralih ke cara menggunakan sihir iblis untuk menciptakan lingkungan hidup yang lebih nyaman.

“Tentu saja aku ingin dapur yang lebih luas, dapur di sini terlalu rendah untuk tinggi badanku. Jika kita punya balkon, menjemur pakaian pasti akan lebih mudah. Ketika Sasaki-san berkunjung, menggantung pakaian dalam pria di tempat yang bisa dilihat itu tidak baik. Tapi, tinggi dapur bukanlah halangan yang fatal, masalah jemuran pun bisa dipecahkan dengan beberapa cara.”

“Hei....”

“Dan meski kita harus pindah, kau akan pindah ke mana? Coba pikir, kita ini sudah membangun banyak hubungan geografis dengan Sasazuka, tempat ini memiliki semua faktor yang kita butuhkan untuk kehidupan sehari-hari. Selain itu, mengenai tetangga apartemen, ada  Bell di sebelah, dan Nord Justina ada di bawah. Memiliki penyewa di satu bangunan yang mengerti situasi satu sama lain itu sangat sulit untuk ditemukan. Ditambah lagi, pada dasarnya kita ini memiliki hubungan saling membenci, jadi kita tidak perlu terlalu mempedulikan interaksi antar tetangga. Memikirkan bagaimana kau menyembunyikan keberadaanmu dari tetangga saat kita pindah nanti saja sudah membuatku merasa sedih.”

“Minta maaflah pada semua NEET yang ada di Jepang!”

“Aku sama sekali tidak merasa perlu untuk meminta maaf.” Jawab Ashiya penuh dengan cacian.

“Dan kalau kita pindah, kita perlu mengurus berkas-berkas untuk air, listrik, gas, dan televisi, belum lagi soal menyewa perusahaan pindahan. Catatan tempat tinggal pun harus diganti, lalu ada juga masalah bank dan kartu kredit.....”

“Sudah cukuuuup! Seperti yang kubilang, kita bisa membereskan semuanya dengan sihir iblis!”

Ashiya tanpa henti menyebutkan berbagai alasan kenapa mereka tidak perlu meningkatkan kondisi kehidupan mereka, sementara itu, Urushihara mulai memprotes seperti orang yang sudah tidak tahan lagi. Dan Ashiya menjawabnya, tak terpengaruh sedikitpun.

“Meski kita tidak menggunakan sihir iblis, itu tidak akan menyebabkan kehidupan sehari-hari kita terganggu, kenapa kau tidak paham-paham?”

“Kau harusnya meragukan kondisi kenapa kita harus mempertahankan gaya hidup kita yang sekarang!”

“Apa yang kau bicarakan?”

Ashiya, seolah benar-benar terkejut, menunjuk ke arah lemari, tidak, ke kamar sebelah.

“Jika kita mulai melanggar aturan di Jepang atau bahkan dunia ini, apa kau pikir orang itu akan membiarkan kita?”

Kali ini....

“Ashiya-san memang hebat, kau sungguh bijaksana.”

Pintu beranda kamar 201 seketika terbuka, mengabaikan fakta bahwa tadinya pintu itu terkunci.

"Dia dataaaaaaaaaaaaanggg!!???"

Sinar matahari redup yang menyinari lorong tiba-tiba berubah menjadi seterang cahaya Buddha, tamu yang berdiri di sana memakai sebuah topi lebar berwarna merah gelap dengan bulu burung di atasnya, sepatu berhak tinggi berwarna merah gelap yang dipakainya begitu cocok dengan roknya yang merah menyala. Orang itu memakai sweater rajutan yang seharusnya nampak longgar tapi malah terlihat ketat, dia adalah pemilik kontrakan Villa Rosa Sasazuka, Shiba Miki, dia saat ini memakai busana yang lebih santai dari biasanya.

"Aku bukannya mau patuh dengan logika manusia, aku hanya mempertahankan rasionalitasku saja."

"Persiapan mental yang sungguh mengagumkan. Urushihara-san, kau harusnya juga berusaha untuk tidak mengatakan hal-hal yang sembrono."

"Pi-pindah rumah itu bukan tindakan yang terlalu sembrono, kan?"

Urushihara pun bergerak ke samping jendela mencoba berada sejauh mungkin dengan Shiba, tapi sepertinya dia tidak bisa lari dari pengaruh Shiba.

Rambut ungu Urushihara perlahan memudar, dan beberapa detik kemudian itu berubah menjadi warna perak dengan sedikit warna biru.

"Waaah, warnanya berubah lagi! Menjauhlah dariku!!"

"Huuh, jangan begitu! Bukankah itu sangat cocok denganmu? Rasanya hal itu juga ikut mengubah image-mu."

"Diam! Kenapa kau dengan santainya bisa menempel pada pemilik kontrakan!?"

Orang yang mengolok perubahan warna rambut Urushihara dengan niat setengah bercanda bukanlah Ashiya maupun Shiba.

Melainkan seorang pria yang berdiri di samping pemilik kontrakan, tingginya kira-kira sama seperti Ashiya.

Rambutnya berwarna perak dengan campuran biru sama seperti Urushihara kini.

Meskipun sekarang sudah memasuki akhir musim gugur, pemuda itu masih mengenakan kaos berlengan pendek bertuliskan 'I LOVE L.A' di bawah jubah panjangnya, dia mengangkat bahunya dan menjawab, 

"Karena Mi-chan sedang keluar, tentu aku harus membantu membawa barang-barangnya, aku kan masih berada dalam rawatannya."

"Apa kau tidak terlalu nyaman dengan dirimu yang sekarang?"

Sepertinya gelar Malaikat Penjaga Pohon Kehidupan hanyalah gelar masa lalu.

Si Malaikat Agung Gabriel nampak tidak sedikitpun keberatan menjadi pembawa barang Shiba.

"Ah, Crestia Bell tadi bilang, semenjak kalian menyimpan balok sihir iblis itu ke lemari, efek kedap suara di kamarnya jadi meningkat, jadi kuharap kalian terus menyimpannya di sana saja."

"Kenapa semua orang jadi seperti ini, cukup sudah!!"

Kali ini, Urushihara memegangi kepalanya dan berteriak tak terkendali.

Ashiya pun mengabaikan teriakan Urushihara dan justru bertanya pada Gabriel.

"Aku memang dengar kalau pemilik kontrakan ingin bertemu dengan Bell, tapi aku tidak tahu kalau kau ternyata juga ikut. Ada urusan apa memangnya kau dengan Bell?"

"Hm~ seperti yang kubilang barusan, aku hanya membantu Mi-chan membawa barang-barangnya."

Tepat seperti yang Gabriel katakan, tangan besarnya kini sedang membawa tas kulit buaya berwarna merah gelap.

"Tapi di sini, ada seseorang yang ingin kata-katanya didengar. Asalkan ada Mi-chan, kupikir kalian mungkin akan lebih mau bekerja sama, itulah kenapa aku mencoba meminta tolong padanya."

Gabriel menggaruk kepalanya dan mengambil selangkah mundur dari beranda kamar 201 yang dihalangi sepenuhnya oleh tubuh besar Shiba.

Setelah Gabriel mundur, melalui celah di antara dirinya dan tubuh Shiba, terlihat seorang wanita yang berdiri di sana.

"Huft, tapi sayangnya tak ada jawaban positif."

Dari suaranya saja, bisa disimpulkan kalau Gabriel saat ini sedang tersenyum kecut.

"Sudah bisa diduga sih."

Ashiya juga berbicara kepada wanita tersebut.

"Bagaimanapun, Bell tidak punya kwajiban untuk mendengarmu."

"Karena dia adalah seorang Penyelidik, tentu dia tidak langsung berkata seperti itu, tapi dia mengatakan sesuatu yang memiliki makna sama."

"Aku tahu betul caraku ini tidak pantas untuk diakui, tapi aku benar-benar tidak punya pilihan lain lagi..."

Wanita yang dibawa oleh si pemilik kontrakan dan Gabriel memohon kepada Ashiya dengan penuh penyesalan.

"Tolong biarkan aku bertemu dengan Satan. Aku ingin dia mendengarkan penjelasanku."

"Tidak bisa. Maou-sama sudah memberikan perintah, dia ingin agar aku mengusirmu jika kau datang ke sini."

Ashiya dengan dingin menolak permintaan Malaikat Agung Lailah.

"Maou-sama sangat sibuk. Terutama akhir-akhir ini, dia sudah sangat lelah karena Emilia, dan bahkan beberapa waktu lalu dia juga mengalami kesialan. Setelah ini, Maou-sama masih harus bekerja dengan model kerja yang baru, jadi dia tidak bisa menanggung beban lain lagi."

Meskipun sejauh ini Ashiya selalu memperlakukan wanita dengan sopan, dia tidak boleh menunjukan kelemahan apapun di hadapan wanita ini.

"Kurasa aku tidak perlu menekankan hal ini, tapi kalau kau berani, coba saja datang ke tempat kerja Maou-sama. Dan pada waktu itu, kau akan selamanya kehilangan kesempatan untuk bertemu Maou-sama. Pergilah kalau kau sudah paham. Apapun yang kau katakan saat ini, keinginan tuanku tidak akan berubah."

"Bagaimana bisa malah jadi seperti ini....."

Ekspresi dan suara wanita itu dipenuhi dengan kekecewaan.

"Sepertinya akan lebih baik kalau kita datang lain hari. Meski kau memaksa mereka, kau tidak akan mendapatkan tanggapan positif. Aku memang bisa menegosiasikan prosesnya, tapi aku tidak bisa memaksa mereka mengubah pikirannya."

Dengan saran Shiba, Lailah menganggukan kepalanya dan meninggalkan ruangan tersebut usai membungkuk pada Ashiya.

"Huuh~ mau bagaimana lagi. Maaf Mi-chan, membuatmu melakukan perjalanan yang sia-sia."

"Mengunjungi penyewa kan salah satu tanggung jawab pemilik kontrakan."

"Aku sangat berterima kasih kau bisa bilang begitu. Oiya, masih ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengam mereka, boleh aku tinggal lebih lama lagi?"

"Tentu saja, tak masalah. Tapi kembalilah sebelum makan malam."

"Aku mengerti."

Dari sudut pandang Ashiya, Gabriel nampak selalu bersikap jujur ketika dia berinteraksi dengan Shiba, dan setelah menyerahkan tas di tangannya kepada Shiba, Gabriel pun melambai kepada Shiba dan Lailah yang meninggalkan mereka.

"Benar-benar sikap yang dingin."

Kemudian, dia menoleh ke arah Ashiya dengan senyum mengejek di wajahnya.

"Kami ini iblis, dan berhadapan dengan malaikat, reaksi tadi itu masih bisa dianggap normal."

"Yeah, mungkin memang seperti itu."

Ucap Ashiya dengan tegas, Gabriel pun tidak melanjutkan perdebatan mengenai hal tersebut.

"Karena sebelumnya dia sudah bertindak dengan tingkat kesabaran yang begitu menakutkan, Lailah harusnya tahu kalau percuma saja meskipun dia khawatir sekarang, tapi dengan situasi saat ini, dia mungkin tidak akan bisa bertindak dengan cara seperti itu."


XxxxX


Setelah Maou dan yang lainnya berhasil menyelamatkan Emi yang ditahan di Ente Isla, apa yang menunggu mereka adalah fakta bahwa Urushihara masuk rumah sakit serta kebenaran dunia yang hendak diungkap oleh pemilik kontrakan Shiba Miki.

Berdasarkan penjelasan Shiba di kamar rumah sakit Urushihara;

Kedua dunia, Bumi dan Ente Isla, meskipun secara harfiah mereka adalah dunia yang berbeda, mereka sebenarnya masih berada di alam semesta yang sama. Walaupun fakta tersebut tidak memberikan efek langsung terhadap situasi yang ada, informasi itu cukup untuk membuat mereka memandang orang serta hal-hal yang ada di kedua dunia itu dengan sudut pandang yang baru.

Kedua dunia ini tidak berinteraksi secara lintas dimensi yang melampaui pemahaman manusia, melainkan ada di alam semesta yang sama dengan hukum fisika yang sama pula. Meskipun sekarang masih belum bisa, di masa depan nanti, kemungkinan untuk bisa saling berinteraksi selain menggunakan gate tidaklah nol.

Bahkan Dunia Iblis tempat para iblis tinggal pun bukan pengecualian.

Dunia tempat para iblis tinggal tidaklah berada di bawah tanah, juga bukan merupakan bagian dari sebuah legenda kuno, mereka tinggal di sebuah planet yang mengambang di alam semesta.

Lalu bagaimana dengan Surga? 

Eksistensi yang selama ini menghalangi Maou, Emi dan yang lainnya... para malaikat, di mana dunia mereka berada?

Saat penduduk Ente Isla yang terjepit di antara Surga dan Dunia Iblis mempelajari fakta tersebut, seorang malaikat tiba-tiba muncul di kamar rumah sakit di mana iblis, malaikat, dan manusia sedang berkumpul.

Malaikat Agung Lailah.

Penghuni Surga, eksistensi yang telah menyelamatkan Satan muda, dan ibu dari gadis-gadis yang terlahir dari pohon kehidupan.

Dan yang paling penting, dia juga merupakan ibu kandung Emilia Justina.

Si malaikat yang selama ini meninggalkan jejak-jejak samar di sekitar Maou dan yang lainnya akhirnya pun muncul, namun apa yang terungkap di sana bukanlah sebuah kebenaran baru soal dunia, bukan sebuah senjata legendaris yang bisa menyelesaikan masalah apapun, dan tentu bukan cara untuk membangun sebuah desa yang ideal. Melainkan jurang antara ibu dan anak yang sangat sulit untuk disatukan, yang mana hanya akan membuat seseorang merasa putus asa.

Emi tahu, semua tragedi dan masalah yang terjadi semenjak dia mulai tinggal di Jepang, sebagian besar dari mereka adalah disebabkan oleh ibunya.

Tapi ketika Lailah, sang ibu, muncul di hadapan Emi, emosi yang muncul di hati Emi bukanlah emosi negatif seperti amarah atau kesedihan terhadap pengalaman tak masuk akal tersebut.

Kepalanya yang terasa kosong, memerintahkan tubuhnya untuk menolak eksistensi yang ada di hadapannya.

Dari sudut pandang orang luar, meski apa yang Emi lakukan adalah berulang kali menampar Lailah dengan ekspresi kosong di wajahnya, Emi sebenarnya tidak sedikitpun melepaskan perasaan benci ataupun ketidakpuasan terhadap ibunya.

Dia tidak ingin mengakui kalau sebagian besar penampilannya adalah sesuatu yang dia warisi dari orang yang ada di hadapannya.

Di saat ia menampar pipi Lailah, dari luar, Emi memang nampak seolah menatap wajah Lailah, tapi kenyataannya tidaklah seperti itu.

Sampai akhirnya dia dihentikan oleh Maou, pandangannya mungkin sepenuhnya kosong.

Ketika dia tersadar, apa yang Emi lihat adalah ayahnya berdiri di samping orang asing dengan pipi bengkak dan memerah, dia juga melihat Maou yang berdiri di hadapannya seolah sedang melindungi ayahnya dan orang asing tersebut.

Melihat kaos UNIxLO berlengan panjang itu, Emi sadar kalau kini Emerada sedang memegangi tangannya.

Dia tahu kalau mereka berdua sedang berusaha menghentikannya, tapi dia tidak tahu kenapa dia harus dihentikan.

Meski begitu, Emi paham akan satu hal. Semua orang yang ada di sini tidak akan membiarkannya terus menolak orang itu.

Karena itulah, Emi tidak mau mendengar apapun lagi, dia mengambil Alas Ramus dari tangan Acies dan langsung meninggalkan kamar Urushihara bahkan tanpa menoleh ke arah Lailah.


XxxxX


"Paling tidak, dengarkanlah apa yang ingin dia katakan."

"Aku tidak mau. Kau tahu kan kalau aku ini orang yang benci hal-hal merepotkan. Huuh, akhirnya warna rambutku kembali juga."

Dengan kepergian Shiba dan Lailah, di kamar 201 yang hanya menyisakan Gabriel, Urushihara memeriksa rambut panjangnya untuk memastikan kalau warna rambutnya telah berubah kembali.

"Karena Raja Iblis dan Emilia tidak mau mendengarkannya, maka hanya kaulah yang tersisa. Dan kalau dipikir-pikir, kaulah satu-satunya orang yang berhubungan dengan kejadian pada waktu itu."

"Aku tidak peduli. Itu bukan berarti aku dengan senang hati ingin terlibat. Yaah, meski aku berterima kasih padanya karena sudah menciptakan kesempatan bagiku untuk kabur dari dunia yang membosankan itu. Tapi jujur saja, setelah sekian lama, banyak ingatanku yang menjadi samar. Dari awal, kalian pun sudah membuangku, jadi sebenarnya kami ini tidak saling berhutang budi apapun."

"Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan, tapi kenapa kalian memasuki apartemen ini seolah itu adalah hal yang paling wajar di dunia?"

"Bukan apa-apa. Aku hanya penasaran kenapa kalian kekeuh sekali tidak mau mendengarnya. Sementara untukmu, meski kau terlihat tidak senang, ternyata kau masih mau membuatkanku teh. Sepertinya Pasukan Raja Iblis memang sangat beradab ya."

Ashiya terus mempertahankan tatapan tajamnya dan meletakkan sencha di depan Gabriel.

(T/N : Sencha, sejenis teh.)

"Ini bukan untukmu, ini untuk pelayan pemilik kontrakan. Kalau kau tidak punya dukungan dari pemilik kontrakan, lupakan soal membuatkanmu teh, aku bahkan tidak akan membiarkanmu menghirup udara di apartemen ini."

"Kejam sekali. Yaah, itu masih lebih baik daripada dilemparkan oleh Raja Iblis. Kalau begitu, akan kunikmati suguhannya."

Gabriel tidak pikir panjang dan langsung meminum teh panas itu tanpa ragu.

"Maou memang punya sifat tidak menyimpan dendam begitu suatu insiden selesai."

"Aku juga tidak ingin dia punya dendam. Terakhir kali aku benar-benar dikalahkan itu sudah lama sekali, bahkan aku tidak ingat kapan itu terjadi."

Gabriel menanggapi perkataan Urushihara dengan sebuah senyum. Selama pertarungan di Benua Timur Ente Isla, Maou yang mendapatkan kekuatan Acies benar-benar membuat Gabriel terluka parah, bahkan dia harus dirawat oleh Shiba selama beberapa waktu usai dibawa ke Jepang.

Meski kondisi yang membuatnya bisa menjadi pelayan Shiba tidak diketahui, tak ada juga orang yang ingin mengetahuinya.

"Ketika kau bersama pemilik kontrakan, apa kau tidak merasa perubahan aneh di dalam tubuhmu?"

Urushihara yang warna rambutnya selalu berubah ketika berdekatan dengan Shiba, menanyakan hal tersebut,

"Hmm~ tak ada perubahan yang mencolok. Bagaimanapun juga, Mi-chan sangat mempedulikanku. Meskipun dia melarangku menggunakan sihir suci untuk menjaga kondisi tubuhku dan lingkungan di Jepang, asalkan aku hidup dengan normal, takkan ada banyak kesempatan untuk menggunakan sihir suci di negara ini. Kebanyakan alat elektronik bisa dioperasikan hanya dengan satu jari."

"Bahkan kau pun jadi seperti ini."

Urushihara duduk di atas tatami dengan suram.

"Ngomong-ngomong, kalau tidak salah tadi Alsiel bilang kalau Raja Iblis mengalami kesialan."

"Ugh....."

Kata-kata Gabriel membuat ekspresi Ashiya menjadi kaku.

"Aku tahu menanyakan hal ini pasti akan membuatmu tidak senang, tapi apa yang sebenarnya terjadi.... apa ini karena Lailah lagi?"

Semua fakta yang Lailah ungkap di kamar rumah sakit Urushihara pasti memberikan dampak yang besar bagi Maou dan yang lainnya.

Namun, dari sudut pandang Gabriel, mustahil Maou yang kuat secara fisik dan mental jadi terlalu gelisah karena hal tersebut.

"I-itu...."

Jarang sekali Ashiya menjawab dengan samar,

"Eh? Apa itu sesuatu yang sangat serius?"

Gabriel, terkejut oleh tanggapan Ashiya, menanyakan hal tersebut.

"Puuuahahaha..."

Urushihara pun tertawa terbahak-bahak merasa tidak tahan lagi.

"Ahahahaha! Ya ampun, Ashiya, kau pasti membicarakan hal itu, kan? Menyebutnya 'menyakitkan' itu terlalu berlebihan, bukankah hal itu sering terjadi?"

"Diam, Urushihara! Mana mungkin orang sepertimu bisa memahami rasa sakit yang dirasakan Maou-sama."

"Apa maksudmu dengan sakit, kan dia sendiri yang menyebabkan hal itu terjadi."

"Huh? Apa? Apa maksudmu dengan sesuatu yang sering terjadi? Apa pula maksudnya dia sendiri yang menyebabkan hal itu?"

Menanggapi pertanyaan Gabriel, Ashiya dan Urushihara menunjukan reaksi yang benar-benar bertentangan.

"Huuhh~ padahal dia sudah berusaha keras, tapi semuanya malah jadi seperti ini. Sungguh menyedihkan."

Ucap Urushihara dengan sebuah tawa.

"Maou akhirnya berhasil mendapatkan SIM."

"SIM? Apa maksudmu? Apa maksudmu SIM Moped?"

Jawaban tak terduga itu membuat Gabriel sangat bingung.

"Kalau tidak salah hari ini adalah batas pengajuannya, jadi dia pasti bekerja dengan sangat suram seharian ini."

".... Urushihara, hari ini kau bisa melupakan soal makan."

"Kenapa!? Aku kan bicara kenyataan!"

"Alasan kenapa kita bisa hidup seperti ini adalah berkat Maou-sama, jadi jaga ucapanmu! Meskipun itu adalah kenyataan, kata-kata seperti itu harus tetap jadi rahasia."

"Bukankah sudah pernah kukatakan sebelumnya, karena kita sudah punya sihir iblis, maka kita tidak perlu lagi bekerja!?"

"Jadilah lebih sadar akan pentingnya bekerja! Dengar, usaha dan kerja......"

"Bagiku, usaha dan kerja itu sama saja! Apapun yang kau katakan itu percuma!"

"Baiklah kalau begitu, Urushihara! Aku tidak akan melepaskanmu hari ini!"

"Hei.... kalian berdua."

Kedua Jenderal Iblis itu melupakan keberadaan Gabriel dan terus melanjutkan debat yang tak berguna, hingga malam tiba.


XxxxX


Mendekati jam 10 malam di MgRonalds depan stasiun Hatagaya, Kisaki menyapa pegawainya yang satu persatu pulang bekerja.

Kisaki yang membuka obrolan dengan Chiho di MdCafe lantai dua, menggumam pelan ketika ia melihat Maou yang membersihkan meja kosong di pojokan.

“Ekspresi Maa-kun hari ini terlihat agak suram ya, apa kau tahu apa yang terjadi?”

“Eh? Uh, erhm, bagaimana aku mengatakannya ya.”

Menanggapi pertanyaan Kisaki, Chiho hanya bisa menjawab dengan tawa garing.

Maou Sadao, sang raja Dunia Iblis sekaligus manager pengganti di MgRonalds depan stasiun Hatagaya, biasanya akan memasang sebuah senyum lebar, tapi hari ini, entah kenapa ekspresinya ditutupi dengan mendung yang hanya bisa disadari oleh orang-orang yang sudah mengenalnya dengan baik.

Senyumnya sedikit dipaksakan.

Kisaki Mayumi yang memiliki harapan tinggi pada Maou sekaligus memiliki pengamatan yang tajam, bisa tahu kalau kondisi Maou kini bukanlah kondisi terbaiknya.

Sasaki Chiho yang langsung bekerja sepulang sekolah, tahu jawaban dari pernyataan Kisaki.

Tapi meskipun Chiho tahu, itu bukanlah sesuatu yang akan dikatakan oleh orang-orang di sekitar Maou jika dia tidak mengatakannya lebih dulu.

“Aku kurang tahu, aku hanya tahu kalau Maou-san telah gagal.”

“Gagal? Jangan-jangan dia gagal mendapatkan SIMnya?”

“Aaahh, tidak, bukan begitu, dia berhasil kok mendapatkan SIMnya.”

Tak diketahui apakah suara keras Kisaki bisa didengar oleh Maou atau tidak, hal ini membuat Chiho sangat khawatir.

“Baguslah kalau begitu. Bagaimanapun, jika tenaga kerja utama kita terus menerus gagal mendapatkan SIM ketika layanan delivery sudah hampir dimulai, itu pasti akan berakibat pada moral mereka!”

“Be-benar juga....”

Dari hasil ini, berarti Maou telah gagal mendapatkan SIM dua kali.

Yang pertama adalah karena dia memang tidak mendapat poin yang cukup. Yang kedua adalah karena dia meninggalkan ujian.

Meskipun alasan untuk kedua kegagalan itu adalah alasan yang tak bisa dielakkan, bagi Maou yang membuang dua kesempatan tersebut, bisa dibilang kalau hal ini meninggalkan bekas luka yang dalam pada dirinya.

Meski begitu, Maou tetap ingin mengikuti ujian tersebut.

Membereskan kekacauan di Ente Isla, mendapatkan kembali kehidupannya di Jepang, menghadapi situasi di mana musuhnya Emi dipekerjakan sebagai pekerja di MgRonalds, serta reuninya dengan Lailah yang bisa disebut sebagai titik awalnya dalam menaklukan dunia; setelah mengalami semua itu, seharusnya dia sudah memasuki sebuah tahap baru.

Namun, di tahap terakhir ujian SIMnya, sebuah pedang tanpa ampun menebas sang raja para iblis.

“Yeah, aku akan sedikit menyemangatinya. Kalau Maa-kun seperti ini, dia tidak akan bisa menjadi panutan bagi orang-orang di sekitarnya. Bagaimanapun, Maa-kun adalah manusia, jika dia punya masalah, dia akan butuh seseorang untuk mendukungnya.”

“E-erhm, Kisaki-san... wah, dia sudah pergi.”

Meskipun si Maa-kun itu sama sekali bukan manusia, si supervisor yang mengkhawatirkan keadaan mental bawahannya pun berniat menanyakan sebuah pertanyaan tanpa ada niat jahat sedikitpun.

“Maa-kun, ada apa denganmu hari ini? Pergerakanmu tidak terlihat luwes. Apa kau punya masalah?”

“Aah, ti-tidak, aku tidak punya masalah kok.....”

“Benarkah? Kau ini bukan superman. Jika kau punya masalah, jangan dipendam saja ya.”

“Ba-baik.....”

“Ah, baguslah, sepertinya semuanya baik-baik saja.”

Chiho yang mendengar percakapan Maou dan Kisaki dari kejauhan, menghela napas lega begitu melihat Kisaki tidak bertanya mengenai masalah Maou terlalu mendalam....

“Ah, oh iya, nanti aku ingin melihat SIMmu. Catatan semua pegawai yang bertugas untuk layanan delivery harus diverifikasi lebih dulu.”

“Ah.....”

Chiho seketika membeku.

Dilihat baik-baik, wajah Maou juga nampak kaku.

Kisaki biasanya tidak akan melakukan sesuatu yang tidak bijaksana seperti mengurusi masalah pribadi orang lain, tapi adalah masalah yang berbeda jika itu berhubungan dengan pekerjaan.

Dengan posisinya sebagai manager, untuk menghindari situasi adanya pegawai yang tidak punya SIM, Kisaki punya tugas untuk mengelola informasi tersebut.

Tapi masalah SIM adalah alasan kesuraman Maou.

“A-apa kau benar-benar harus melihatnya?”

“Tentu saja, apa yang kau katakan? Sekarang sedang tidak ada pelanggan, jadi selagi Chi-chan masih ada di sini, pergilah ke bawah dan serahkan SIMmu!”

“Ba-baik.... huuh.”

Maou nampak sangat putus asa layaknya seorang kriminal yang menerima hukuman mati dan mengikuti Kisaki ke lantai satu.

“Maou-san....”

Chiho memperhatikan kondisi Maou dari kejauhan dengan wajah sedih.

Chiho tahu betul alasan kegelisahan Maou. Meski dia tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, Chiho pernah mengalami masalah yang sama.

Hanya saja, meskipun Chiho dan Maou memiliki masalah yang sama, waktu yang dibutuhkan keduanya untuk menyelesaikan masalah ini benar-benar sangat jauh berbeda.

Karena itulah, Chiho tidak bisa menghibur Maou dengan asal-asalan.

“Sepertinya memang ada yang aneh dengan Maa-kun.”

Di sisi lain, rekan kerja Maou yaitu Kawada Takefumi yang juga menyadari perubahan dalam diri Maou, menggumamkan hal tersebut begitu ia melihat Maou dibawa oleh Kisaki, tapi Emi, bekerja di lantai yang sama dengan Kawada, langsung membantah opininya.

“Aku tidak berpikir begitu.”

Emi dan Chiho selesai bekerja pada jam 10 malam, demi menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, Emi pun menangapi kata-kata Kawada bahkan tanpa mengangkat kepalanya.

“Benarkah? Tapi aku merasa kalau pergerakannya memang kurang luwes.”

“Dia pasti memakan sesuatu yang tidak bersih, jadi dia sakit perut.”

“Memakan sesuatu yang tidak bersih?”

Jawaban Emi membuat Kawada tersenyum kecut.

“Aku sudah mengira hal ini sejak awal sih, tapi Yusa-san mungkin tidak benar-benar membenci Maa-kun, iya kan?”

“Aku sudah bahagia dengan fakta bahwa aku tidak pernah menyukainya.” Ucap Emi secara blak-blakan, Kawada kembali tersenyum kecut.

Di antara jeda yang terjadi dalam percakapan mereka, Chiho pun turun dari lantai dua.

Jam menunjukan pukul 10 lewat.

“Hey, kenapa dia?” 

Emi pun berdiri dan bertanya pada Chiho dengan nada yang sedikit lebih hangat.

Dan Chiho menjawabnya dengan suara yang seolah tak mau kalah dengan ekspresi suramnya, “Masalah SIM.”

““SIM?””

“Lebih tepatnya, masalah foto yang ada di SIMnya.”

“Begitu ya.”

“Apa maksudnya itu?”

Kawada yang sudah memiliki SIM, menepukkan tangannya seolah menyadari sesuatu, adapun Emi yang belum memiliki SIM, dia menunjukan wajah bingung tidak mengerti.

“Jangan-jangan fotonya memiliki ekspresi aneh?”

“Benar....”

“Huh?”

Chiho mengkonfirmasi kesimpulan Kawada, sementara Emi memekik kaget.

“Dia nampak sangat tidak puas dengan foto yang ada di SIMnya.”

“Apa dia akan sebegitu depresinya hanya karena hal semacam itu?”

“Aku kurang tahu sih, tapi foto untuk SIM sepertinya diambil di pusat ujian. Kawacchi biasanya naik moped, kan? Apa semua foto SIM memang seperti itu?”

“Yeah, itu benar. Sebenarnya, proses pengambilan foto itu sangat mudah dan tidak butuh waktu lama.”

“Dan menurut apa yang Maou-san katakan, dia seperti 'diincar dalam keadaan lemah''.”

“Tapi kebanyakan foto untuk tanda pengenal memang seperti itu. Teman kuliahku juga banyak yang tidak menyukainya.”

Semua orang tahu kalau SIM itu bisa digunakan sebagai tanda pengenal, dan karena hal itulah, terdapat aturan ketat terhadap foto yang tercetak di atasnya.

Jika bagian alis tertutupi, atau jika gaya rambut, pakaian, dan latar belakangnya membuat ekspresi atau rona wajah tidak jelas, maka foto itu tidak akan diterima. Pada dasarnya, ketika diambil fotonya, seseorang haruslah berwajah datar, selain itu, sebuah foto yang tidak bisa dikenali oleh orang lain juga tidak akan diterima.

Sebaliknya, asalkan syaratnya terpenuhi, seseorang bisa menggunakan foto yang mereka bawa sendiri ketika memperpanjang SIM, tapi meski begitu, foto yang diambil di pusat ujian atau kantor polisi lah yang akan digunakan.

Dan ketika banyak orang baru pertama kali mendapatkan SIM atau memperpanjangnya, demi kemudahan, asalkan foto yang diambil di pusat ujian memenuhi syarat, maka mereka tak perlu lagi mengambil foto.

Alhasil, ketika mereka menerima SIMnya, foto yang ada di sana biasanya akat sangat berbeda dari apa yang mereka bayangkan.

"Erhm, foto di kartu tanda pengenal siswaku juga jelek karena jumbai rambutku, dan ketika aku menghibur Maou-san dengan mengatakan kalau hal itu sering terjadi, dia langsung menyuruhku melihat SIMnya...."

Chiho mengalihkan pandangannya ke kanan dan ke kiri merasa malu,

"Erhm, hidungnya...."

""Hidung?""

"Nampaknya foto Maou-san diambil saat lubang hidungnya sedang mengembang....."

Ucap Chiho merasa bersalah,



Karena Chiho yang biasanya tidak menyembunyikan perasan positifnya terhadap Maou bisa merasa sebersalah itu, pasti ada sesuatu yang aneh dengan foto itu dibandingkan dengan penampilan Maou yang biasanya.

Tentunya, karena petugas pembuatan SIM menilai bahwa foto itu sudah cukup bagus untuk digunakan di SIM, bagi orang yang tidak mengenal Maou, foto itu seharusnya hanyalah foto kartu tanda pengenal biasa.

Tapi bagi orang yang sehari-hari berinteraksi dengannya, itu pasti wajah yang sangat menarik.

Dan kebetulan, tepat pada saat itu, Maou yang baru saja menyerahkan SIMnya pada Kisaki, berjalan melewati counter.

Chiho dan Kawada tidak melewatkan senyum jahat Emi.

"Aku ingin melihatnya."

"Huh?"

"Foto SIMmu katanya sangat menarik. Aku ingin melihatnya."

Maou kemudian menatap ke arah Chiho dengan ekspresi putus asa bak melihat akhir dunia.

"Chi-chan, kau mengkhianatiku?"

"Ah, uh, ehm, ma-maaf."

Chiho, dengan memegang topi di tangannya, setelah menunjukan pandangan yang nampak goyah, dia langsung berbalik dan kabur menuju ruang karyawan.

"Itu bukan salah Chiho-chan, kami yang memaksanya. Aku tidak punya SIM, jadi aku benar-benar ingin melihatnya. Melihat kira-kira seperti apa foto itu."

"Kenapa aku harus menunjukannya padamu!? Kau sudah selesai bekerja, kan? Cepat pulang sana!"

"Apa urusanmu, kau juga tidak akan kehilangan apa-apa kan kalau aku terus berada di sini!"

"Kesabaranku, sisa umurku, semangatku, semuanya akan berkurang! Pulang sana! Enyah! Ketika kau mendapatkan SIMmu, aku harap wajahmu ketika difoto juga akan aneh!"

"Bagaimana aku mengatakannya ya?"

Melihat apa yang dilakukan ketiga orang itu, Kisaki yang keluar dari ruangannya setelah Maou pun langsung menegur mereka dengan tegas,

"Hey, apa yang kalian lakukan? Ini masih jam kerja!!"

Kawada yang ikut dimarahi meskipun dia tidak ikut-ikutan, hanya bisa mengehela napas tidak terima,

"Rasanya aku terus yang kena."


XxxxX


Jam 00:30 malam, Maou yang menyelesaikan tugasnya untuk menutup restoran hari ini, mengunci pintu otomatis restoran dari luar.

Maou yang biasanya akan meluruskan punggungnya merasa lega di depan Dullahan 2 begitu ia sampai di tempat parkir, entah kenapa tidak merasakan perasaan lepas atau lega apapun sepulang bekerja.

"Sialan, si Emi itu...."

Masih diejek oleh Emi soal foto yang ada di SIMnya, Maou mengucapkan hal tersebut dengan berkaca-kaca.

"Apa kau benar-benar merasa tidak puas dengan foto di SIM itu?"

Kawada yang masih berada di restoran bersama dengan Maou, menanyakan hal tersebut sambil menaiki mopednya, Maou pun menjawab dengan suram,

"Bahkan Kisaki-san pun ikut tertawa."

"Be-berarti itu sangat gawat. Tapi mendengarnya sejauh ini, sekarang bahkan aku pun ingin melihatnya."

Ucap Kawada sambil mengenakan helmnya.

"Tidak akan! Serius, semenjak Emi datang, hal-hal baik tak pernah terjadi!"

"Apa itu penting? Yusa-san akhir-akhir ini terlihat agak lesu, anggap saja itu memanfaatkan sebuah foto yang menarik untuk meningkatkan moral pegawai."

"Eh?"

Maou nampak terkejut mendengar apa yang Kawada katakan.

"Kau bilang siapa yang lesu?"

"Tentu saja, Yusa-san."

"Bagian mana dari dirinya yang terlihat lesu?"

"Aku tidak tahu, aku hanya samar-samar merasakannya."

Kawada pun mendongak seolah mengingat sesuatu sembari memeriksa kondisi helmnya.

"Tak lama setelah Yusa-san dipekerjakan, apa kau tidak sadar ada suatu hari di mana dia sangat depresi dan kurang bersemangat? Hari itu Kisaki-san sedang tidak ada, jadi seharusnya Maa-kun ada di restoran."

"Yeah."

Mengenai 'suatu hari' yang Kawada sebutkan, meskipun Maou tidak mengingat kondisi Emi saat sedang bekerja, dia tahu betul penyebab depresi Emi.

"Lalu, saat aku satu shift lagi dengannya tiga hari kemudian, meski dia sudah kembali ke performa kerjanya yang dulu, rasanya dia jadi sedikit gugup dalam beberapa hal...."

"Kawacchi, kau benar-benar memperhatikan Emi, ya."

"Jangan salah sangka!"

Kata-kata Maou membuat Kawada melambaikan tangannya dengan agak panik, bermaksud menyangkalnya,

"Itu karena Yusa-san sangat mencolok dalam berbagai hal. Kisaki-san juga punya ekspektasi yang tinggi padanya, dan karena dia adalah orang yang dekat denganmu dan Chi-chan, tentu aku akan memperhatikannya, kan?? Pandanganku tanpa sadar selalu tertuju ke arahnya."

"Kau sebaiknya menyerah, dia itu sulit ditangani."

"Bukankah sudah kubilang kalau maksudku bukan perhatian seperti itu?"

Walau saat ini sudah tengah malam, ekspresi panik Kawada bisa terlihat dengan jelas.

"Po-pokoknya Maa-kun, karena kau adalah orang bertanggung jawab atas pelatihan Yusa-san, kau harusnya lebih memperhatikan hal-hal seperti ini. Meski dia terlihat kuat, keadaan mentalnya mungkin saja sangat lemah."

Maou begitu terkejut sampai tak bisa berkata-kata.

"... Kawacchi, kau benar-benar punya kemampuan pengamatan yang bagus."

Waktu yang Emi dan Kawada habiskan bersama seharusnya baru beberapa hari setelah Emi mulai bekerja di MgRonalds, tapi dalam waktu sesingkat itu, dia sudah bisa melihat sifat Emi.

"Oi!"

"Tidak, aku benar-benar takjub ini. Kawacchi, meski baru mulai sekarang, tidak bisakah kau sungguh-sungguh mempertimbangkan menjadi seorang terapis?"

Usulan Maou sebenarnya cukup serius, tapi Kawada menggelengkan kepalanya usai menyalakan mesin moped yang ia naiki.

"Aku tidak mau. Aku tidak mau bertanggung jawab atas kehidupan orang lain. Jadi aku tidak akan pernah mengambil jalan tersebut."

".... Itu terdengar masuk akal."

"Memang beberapa orang sering mendiskusikan sesuatu denganku, akupun sering memberikan pendapat pribadiku kepada teman ataupun orang yang kukenal, tapi tak ada yang bisa menjamin kalau apa yang kukatakan itu benar, kan? Sebaiknya kau tidak memberi tahu apa yang kukatakan tadi pada Yusa-san."

"Aku tidak akan mengatakan apa-apa. Pokoknya, aku akan lebih memperhatikannya lagi nanti."

"Kuserahkan padamu. Kalau begitu, aku pergi dulu ya."

Kawada menatap Maou dengan ragu, tapi dia tidak mengatakan apapun lagi, lantas menyalakan lampu mopednya dan pergi. Melihat Kawada pergi dengan menaiki mopednya, Maou memanyunkan bibirnya.

"Tidak ingin bertanggung jawab atas kehidupan orang lain ya."

Apa yang Kawada ucapkan tadi terukir dalam di hati Maou.

"Benar juga."

Maou membuka kunci Dullahan 2 yang terparkir di parkiran mobil dan menggumamkan hal tersebut pada dirinya sendiri.

---End of Part 1---





Translator : Zhi End Translation..
Previous
Next Post »
0 Komentar