Re:Zero Kara Hajimeru Isekai Seikatsu (WN) Arc 4 - Chapter 44 Bahasa Indonesia

[Translate] Re:Zero Arc 4 - Chapter 44 : Terlarang




Chapter 44 : Terlarang.

…. Tubuhnya terbentuk kembali.

Dagingnya yang dilahap, kulitnya yang terkelupas, tulangnya yang digerogoti, uratnya yang dikunyah, darahnya yang diminum, dan jiwanya yang diinjak-injak serta dibinasakan dengan rakus..... kini telah kembali ke bentuk semula.

Sebuah sensasi terasa di ujung jarinya, dan dengan hal itu sebagai titik awal, seluruh tubuhnya mulai tersentak dan mengejang.
Menghamburkan debu dan menggeliat di atas tanah yang dingin nan keras, dia mengerang saat busa putih mengalir dari sudut mulutnya.
Tak ada rasa sakit. Maupun sensasi kehilangan. Kedua tangan dan kakinya masih melekat pada tubuhnya, kepala dan badannya pun tak mengalami cedera fisik. Namun pikirannya terasa samar seolah baru saja terbangun dari tidur, dan daripada segera menyelesaikan proses tersebut, tubuh dan pikiran Subaru terus menolak realita yang sekali lagi datang kembali.
Begitulah kengerian yang terjadi sebelum Subaru kembali.

Adakah orang yang bilang kalau mereka pernah mengalami mulut dimasuki dan usus dicabik-cabik serta dilahap dari dalam? Atau pernahkah mereka merasakan kulit dikelupas bak sebuah kompetisi, memperlihatkan daging berwarna merah gelapnya dan membiarkan lemak berwarna merah mudanya dijilat oleh lidah yang menggila?
Otaknya menolak untuk merasakan semua rasa sakit itu, dan seolah itu adalah sesuatu yang terjadi pada tubuh orang lain dan bukan tubuhnya, Subaru menganggap kenyataan bahwa dia telah dimakan, seperti baru saja bangun dari mimpi buruk.

“Bgh, bgh, bgh....”

Sebuah sensasi mual menyerang, namun hanya cairan empedu berwarna kuning yang keluar dari perutnya yang kosong.
Busa yang mengalir dari mulutnya bercampur dengan cairan asam, ketika Subaru terus mengejang dan terjatuh dengan posisi miring.
Layaknya seseorang yang mengalami sebuah serangan atau bak seekor ikan yang menggeliat di daratan, penolakan terhadap kenyataan ini bukanlah karena keinginan Subaru sendiri, melainkan pilihan dari jiwanya.
Siapa yang akan dengan senang hati menerima jiwa raganya dimakan dan dilahap? Dan siapa pula yang dapat menyalahkan Subaru karena mengartikan kenyataan bahwa dia telah dimakan seperti itu?

Apa yang dia lakukan sehingga pantas mendapatkan hal ini, atas keinginan siapa, dan apa tak ada cara supaya penderitaan ini bisa berakhir?

“.....”

Kesadaran Subaru mengkilat dan berkedip.
Apakah matanya tertutup, ataukah terbuka? Kendali atas tubuhnya belum juga kembali.
Jiwanya menolak untuk hidup dalam realita ini. Jauh dari kata membiarkan dirinya memilih, jiwa Subaru bahkan tidak memberinya pilihan.
Namun, dikuasai oleh rasa kehilangan akan eksistensinya sendiri, tubuh Subaru terus tenggelam ke dalam perasaan putus asa.

…..Kenapa.

Jika ada satu kalimat di dalam otak Subaru, tentu adalah kata tersebut.

…..Kenapa.

Apa yang terjadi? Apa ini? Kenapa hal ini terjadi? Kenapa hal ini harus terjadi? Apa yang terjadi padanya? Apa ada sesuatu yang sedang terjadi padanya? Apa yang harus dia lakukan sekarang?

…..Kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa.

Tak mendapatkan jawaban, yang mana bahkan pertanyaan itu sendiri tidak pasti, yang ada hanyalah jeritan dari jiwanya.

…..Kenapa! Kenapa! Kenapa!

Dia terus melontarkan pertanyaan yang tak memiliki jawaban tersebut, bak seorang figur menyedihkan yang tak tahu kapan harus menyerah.
Tenggelam dalam realita, disiksa oleh mimpi buruk, seseorang yang kehilangan pandangan hidup, seorang figur yang terus bertanya 'kenapa'.
Dan kemudian....

“Kau sekali lagi telah memenuhi syarat.”

Sebuah suara berbisik di telinga Subaru yang gemetar ketakutan.
Mulia nan agung. Sebuah suara, yang mana meskipun Subaru bisa mendengarnya, dia tidak bisa mengartikan maknanya. Akan tetapi, suara mengerikan tersebut menggema dalam diri Subaru....

“Kau telah diundang.... untuk menghadiri pesta teh Penyihir.”

Tak lama, kesadaran Subaru yang baru saja kembali, sekali lagi kehilangan seluruh realitanya.


XxxxX


Hembusan angin segar yang mengingatkan pada musim panas bertiup di bukit kecil yang subur nan hijau.

Angin dingin membelai poni Subaru, menggoyangkan rumput hijau yang tinggi di belakangnya, lalu, melewati bukit dan menyusuri dataran hijau, angin tersebut terbang menuju langit biru yang luas di mana awan putih sedang menari.
Menyentuhkan ujung jarinya pada poni yang digelitik oleh angin tak terlihat, Subaru memicingkan matanya ke arah sinar matahari yang terang sebelum merendahkan pandangannya melihat apa yang ada di depannya.

Tanpa tahu bagaimana dan kapan, dia sudah mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi. Dan di seberang sebuah meja putih kecil, duduk dengan kaki terlipat di kursi yang serupa, dengan kesan rambut serta kulit putih yang hanya dikontraskan dengan gaun pemakamannya, terdapat seorang gadis.... atau bukan, itu mungkin bukan kata yang tepat.

"Rupanya Penyihir-sama yang sudah ada di sini lebih dari 400 tahun...."

"Kasar sekali bilang begitu kepada seorang gadis. Aku ini mati di usia 19 tahun, kau tahu. Bukankah seharusnya aku terlihat seperti gadis cantik yang cukup serasi denganmu?"

"Bagian 'mati di usia 19 tahun' itu sangat serius lo... Dan juga, jangan gunakan pernyataan aneh semacam itu untuk mendekatiku. Serasi denganku.... itu akan membuat ingus keluar dari hidungku, kau tahu."

"Ara ara.... apa aku baru saja ditolak?"

"Tidak sama sekali. Aku hanya memberitahumu untuk tidak mengatakan hal-hal yang akan menjatuhkan derajatmu. Aku cukup sadar betapa rendahannya aku ini. Menyebut dirimu serasi denganku itu hanya akan menyeretmu jatuh daripada menarikku ke atas. Maksudku, aku..... tidak pernah melakukan sesuatu yang membuatku pantas mendapatkan hal seperti itu."

Tangan Subaru yang ada di atas lututnya terbuka dan mengepal saat dia mengucapkan kata-kata tersebut, ia mendongak ke arah langit dengan sebuah ekspresi getir.
Mendengar hal ini, sang Penyihir.... Echidona meletakkan sikunya di atas meja dan menyangga pipinya, mengamati Subaru dari atas ke bawah.

"Kau nampak terlalu menilai rendah dirimu ya."

"Ketika kau dikelilingi oleh orang-orang hebat sepanjang waktu, wajar saja jika kau punya kebiasaan mengangkat kepalamu ketika berbicara. Meskipun kurasa aku sudah mengatasi sikap rendah diri itu..."

Mengingat semua yang sudah dia lakukan sejauh ini, Subaru mengepalkan tangannya.
Kekuatan genggaman tersebut sampai membuat ruas-ruas jarinya bergemeretak, saat dia menarik sebuah napas dalam.

"Jadi... apa yang membuatmu mengundangku ke dalam pesta teh ini."

"Tak ada apa-apa. Aku ini Penyihir Keserakahan, Inkarnasi rasa haus akan pengetahuan. Rasa haus dan hati yang terus mendambakan sesuatu adalah kenikmatan bagiku, memiliki sesuatu yang ingin diketahui, merintih dan mengerang 'kenapa' adalah hal terhebat dari segala kenikmatan."

Mengatakan hal tersebut, Echidona membawa cangkir teh ke mulutnya.
Dibarengi suara isi cangkir yang melewati tenggorokannya, dia tersenyum kecil,

"Jika aku harus memberi sebuah alasan, kuharap kau bisa mengerti kalau itu adalah karena kau sendiri yang ingin memasuki Bentengku, sebuah lokasi yang begitu dekat dengan tempat ini."

"Jangan berikan alasan berbelit-belit begitu.... Yaah, untuk saat ini sih kita bisa mengabaikan kenapa kau mengundangku ke sini. Terlebih lagi, ada sesuatu yang ingin kutanyakan."

Mengabaikan kata-kata Echidona dengan lambaian tangannya, Subaru mencondongkan tubuhnya ke depan. Mengunci pandangannya ke arah makhluk putih di hadapannya,

"Apa yang... terjadi padaku?"

"Bukankah itu sesuatu yang seharusnya sudah kau ketahui sendiri?"

"Mengetahui dan memahami adalah hal yang berbeda. Aku kurang lebih bisa memahami situasi yang kualami, tapi pemahaman itu sama sekali tidak sesuai dengan situasiku saat ini."

"Kenapa bisa begitu?"

"Otakku jadi gila, dan aku tenggelam di dalam daratan yang dipenuhi busa dari tubuhku sendiri, tapi di sini, aku baik-baik saja dan kepalaku setidaknya bisa berfungsi dengan baik untuk melakukan sebuah obrolan. Jadi wajar kan aku merasa kalau kau ada hubungannya dengan ini."

Meski dia terus melakukan obrolan yang agak mengejek tersebut, pikiran Subaru kini mencoba memahami situasinya saat ini.
Diundang ke pesta teh yang ada di dalam mimpi Echidona ini paling tidak bisa memberinya ruang untuk bernapas.
Diberi ruang untuk menenangkan pikirannya, Subaru teringat keadaan mengerikan yang dialami tubuhnya l sebelum masuk ke dalam mimpi ini. Dia merasakan suatu perasaan gelisah karena meninggalkan tubuhnya dalam keadaan tersebut untuk datang ke sini hanya dengan jiwanya, namun,

"Terakhir kali aku menghadiri pesta tehmu, aku terbangun di kamar tanpa tahu bagaimana aku bisa sampai ke sana, jadi aku tidak tahu bagaimana jalannya waktu di tempat ini. Maksudku di dunia nyata di luar sana...."

Berpikir sampai ke poin ini, tiba-tiba terlintas di pikiran Subaru kalau sekarang bukanlah saatnya untuk bersantai dan minum teh.
.... Karena dikuasai oleh rasa syok, Subaru masih tidak tahu ke mana dia kembali.

Paling banyak dia bisa memastikan tempat di mana dia terbaring menggeliat dan memuntahkan busa dari mulutnya.
Terbakar oleh rasa sesal karena reaksi telat ini, Subaru berdiri, menjatuhkan kursi yang didudukinya,

"Echidona! Keluarkan aku dari sini sekarang!"

"Aku terkejut kau berniat meninggalkan pesta teh Penyihir tanpa meminum satu seruput teh pun. Kau benar-benar harus menghentikannya dan memikirkan eksistensi macam apa yang duduk di hadapanmu...."

"Aku tidak punya waktu untuk berbincang-bincang denganmu! Keluarkan aku sekarang! Selagi kita membuang-buang waktu di sini, di luar sana...."

"Kau sudah gagal sebelumnya dan tak berhasil mendapatkan apa-apa, apa kau masih ingin kembali dengan tangan kosong? Apa kau benar-benar ingin mengalami rasa sakit dan kehilangan yang sama itu lagi?"

Tak bisa menahan kegelisahannya, Subaru menaikkan suaranya menanggapi kata-kata tenang Echidona. Tapi, seolah memasukkan ketidaksabaran itu ke dalam air dingin, Echidona menanyakan hal tersebut dengan suara yang bisa membekukan semua emosi.

".....a"

"Terus mencoba demi mendapatkan hasil adalah sesuatu yang layak mendapatkan pujianku. Entah itu hasil yang paling kau inginkan ataupun hasil yang paling tidak kau inginkan, aku menemukan ada suatu keindahan dalam proses menuju hasil tersebut. Fakta bahwa kau terus mencoba tanpa kehilangan hatimu adalah hal yang sangat kukagumi. Namun.."

Mengacungkan satu jarinya di depan Subaru, Echidona melanjutkan dan memicingkan matanya,

"Jika kau tidak memperhatikan hasil percobaanmu sebelumnya, dan malah mengikuti jalan menuju akhir yang sama.... tindakanmu itu hanya akan menodai pengetahuan yang telah terkumpul, dan untuk orang yang melakukan hal seperti itu, aku benar-benar merasa jijik dan ingin sekali menyingkirkanmu."

"Kau....."

"Kebetulan, untuk menjawab pertanyaanmu... waktu saat ini di luar sana adalah tepat setelah kau menyelesaikan Ujian pertama di Makam. Untungnya, aliran waktu di sini berbeda dengan waktu di luar sana. Aku yakin kau tidak akan kehilangan banyak waktu hanya dengan minum secangkir teh bersamaku."

Apa yang ingin Subaru ketahui, bersama dengan setiap kekhawaatirannya, Echidona menjawabnya satu persatu.
Jika apa yang dia katakan bisa dipercaya, maka waktu di luar sana adalah tepat setelah Ujian pertama... kalau begitu, berarti titik awal Return by Death masih belum berubah.
Dan, jika ia keluar dari pesta teh ini, tubuh fisiknya akan berada di sebuah ruangan di dalam Makam, berada di samping Emilia saat dia bertarung melawan Ujiannya.

Meskipun dia tidak bisa menelan mentah-mentah semua yang Echidona katakan, adanya pihak ketiga yang mengkonfirmasi fakta tersebut paling tidak bisa sedikit menenangkan syaraf Subaru yang gelisah.
Dengan waktu luang yang diberikan oleh hatinya yang merasa tenang, pertanyaan pun mencuat...

"Echidona.... seberapa banyak yang kau ketahui?"

"Jika kau tanya seberapa banyak yang kuketahui, maka aku hanya tahu sebanyak yang kuketahui. Tapi untuk seberapa banyak yang ingin kuketahui, aku ingin tahu semua yang ada di dunia ini."

"Berhenti bercanda, ini penting. Kau barusan bilang kalau sekarang adalah tepat setelah Ujian pertama...."

Ujian pertama... kalimat tersebut kini terasa begitu jauh.
Usai mengucapkan selamat tinggal pada orang tuanya di alam mimpi, Subaru bertemu dengan Echidona di sekolah yang kosong. Dan setelah melakukan sebuah tanya jawab singkat, Subaru kembali ke dunia nyata.
Dari saat itu hingga masa-masa tenang sementara ini, banyak hal yang telah terjadi untuk sekedar diungkapkan dengan kata-kata....

"Maksudku, pertemuan ini seharusnya terjadi tepat setelah kita berpisah...."

"Memang iya. Dalam waktu yang sebenarnya, hal itu memang benar, dan bahkan dalam penilaian waktu seseorang pun, kau dan aku baru saja berpisah. Hal itu baru saja terjadi beberapa menit yang lalu sebelum kita bertemu kembali di sini."

'Seberapa besar kau merindukanku?' Echidona nampak menyiratkan hal tersebut dengan senyumnya. Tapi melihat leluconnya tidak dihiraukan oleh Subaru yang berwajah dingin, dia mengangkat bahunya kecewa.

"Kau tidak pernah memberikan reaksi yang kuinginkan ya. Tidak mendapatkan apa yang kuharapkan itu terasa sangat menyedihkan sekaligus menyenangkan, itu perasaan yang benar-benar rumit, serius."

"Aku pasti akan mengatur kencan yang menyenangkan dengan peraaaan gadismu yang rumit itu ketika aku punya waktu. Tapi untuk saat ini....."

"Oh, aku sangat bersemangat merayakan pertemuan kita yang cepat ini sampai-sampai aku membiarkan mulutku bocor. Yaah, kurasa memang tak bisa dielakkan lagi kalau aku merasa sedikit bingung. Lagipula...."

Di sini, Echodina memberi jeda pada kalimatnya.
Dalam kekosongan yang diciptakan oleh satu tarikan napas tersebut, pupil hitam gelap Echidona memberi Subaru sebuah lirikan yang memikat. Emosi macam apa yang sesaat nampak di matanya tadi? Bahkan sekarang pun, Subaru tidak yakin.
Namun, seolah menyambut kebingungan Subaru, Echidona memberikan sebuah senyum manis nan mempesona,

"Tidak seperti diriku yang baru berpisah denganmu beberapa menit yang lalu, bagimu ini pasti sudah berjam-jam, atau lebih tepatnya berhari-hari semenjak kita terakhir bertemu.... benar kan?"

Mengulangi kata-kata Echidona di dalam kepalanya, Subaru menelaah isinya yang hanya memiliki satu makna.

Dari apa yang dia bilang barusan, dan dari tatapan serta senyumnya yang penuh arti, Subaru tak mungkin salah sangka.
Dia... Penyihir ini tahu. Dia tahu beban yang membebani jiwa Subaru, tahu sisa-sisa dari masa depannya yang telah gagal, dan tahu potongan informasi yang seharusnya sudah tidak tersisa lagi di dunia.

“Bagaimana...!?”

“Akan kujawab pertanyaanmu begini. Ini adalah Bentengku, dan aku adalah seorang Penyihir Keserakahan. Aku belum pernah menunjukannya padamu, kan?”

Menanggapi pertanyaan Subaru, Echidona memiringkan kepala dan mengulurkan tangan kanannya. 
Cahaya yang menari turun di atas telapak tangannya, membentuk sebuah wujud.... sampai pada akhirnya terlihat sebuah buku yang bersampul putih bersih.
Tak ada judul yang tertulis di sampulnya, dan benda itu kira-kira seukuran kamus. Selain fakta bahwa warnanya yang putih bersih, bagi Subaru, bentuk buku itu membawa kembali berbagai ingatan buruk.

“Itu bukan.... Kitab, kan?”

“Ara, kau membuat ekspresi yang bisa kupahami bahkan tanpa melihat ke dalam buku ini. Ini seolah wajahmu coba bilang “Kau juga!?”. Hanya dari hal itu saja, kurasa aku sudah bisa menebak apa yang kau temui di luar sana.....”

Membaca hati Subaru hanya dengan melihat wajahnya saja, Echidona membuka buku berjilid putih yang ada di tangannya. Dan, menggerakkan matanya menelusuri isi buku tersebut, “Mhhmmhm”, dia mengangguk saat membaca tulisannya,

“Begitu ya, kurasa kurang lebih aku sudah paham. Meskipun masih ada bagian yang tidak kuikuti, aku seharusnya bisa mengisi bagian tersebut hanya dengan melihatmu.... mnn, ini memang sangat hebat. Sensasi saat potongan yang hilang kembali saling melengkapi, dan perasaan was-was yang tak terlukiskan saat jawaban semakin mendekat. Fakta bahwa perasaan semacam itu ada adalah apa yang membuat sebuah kehidupan menjadi layak....”

“.... tapi, bukankah kau sudah mati?”

Didorong hingga mencapai sandaran kursinya oleh tekanan dari Echidona, Subaru entah bagaimana bisa melayangkan serangan balik. Mendengar hal itu, Echidona memainkan rambut putihnya, cemberut,

“Ketika kau merusak kesenangan orang lain seperti itu, meskipun itu benar, itu tetap bisa membuat orang patah semangat, kau tahu. Pokoknya, akan kuhilangkan sedikit kekhawatiranmu... buku ini tidak sama dengan Kitab yang ada di dalam ingatanmu. Tercatat di dalam buku ini bukanlah masa depan ataupun solusi yang paling optimal. Melainkan kebenaran.”

“Kebenaran....?”

“Jika Kitab bisa disebut sebagai buku ramalan, maka buku di tanganku ini adalah buku sejarah. Buku ini tidak terikat oleh bentuknya, perwujudannya pun samar dan seluas lautan. Ini bukan buku apapun, namun ini bisa jadi buku apapun, atau buku yang bisa jadi apapun.... halaman kosongnya hanya mencatat kebenaran, dan empat ratus tahun yang lalu, orang-orang di dunia menyebutnya 'Buku Kebijaksanaan'. Tapi aku lebih suka menyebutnya.....”

“.....”

“.... Memori Dunia.”

Sebuah nama yang aneh.... untuk kekuatan yang sama anehnya.
Jika apa yang dia katakan adalah benar, maka tak peduli siapapun itu, tak peduli apa yang telah orang itu lakukan, asalkan hal itu ada di masa lalu dan sejarah, hal tersebut bisa dibaca dari buku ini. Untuk mengumpulkan informasi, benda ini adalah sebuah cheat yang bisa merusak keseimbangan game.

“Tapi jujur saja, aku tidak terlalu suka bergantung pada benda ini. Bagaimanapun juga, hanya hal-hal yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendirilah yang bisa kuukir ke dalam ingatanku. Sebuah buku sihir yang melewati langkah 'cara memperoleh' dan langsung menuju tahap 'telah diperolah'.... Karena aku senang mempelajari sesuatu, sulit bagiku untuk menilai buku yang melewati proses penemuan seperti ini.”

“Jika kau tidak menginginkannya, kau bisa memberikan benda itu padaku. Benda itu akan sangat bermanfaat untukku. Bahkan, jika aku punya benda itu, menemukan celah pada masalahku akan sangat.....”

“Kau sebaiknya melupakan ide itu jika kau tidak ingin jadi lumpuh.”

Echidona seketika menyela rencana mulus Subaru, dan mengulurkan buku 'Memori Dunia' bersampul putih itu di depan mata Subaru,

“Benda ini mungkin terlihat tidak berbahaya, tapi ini tetaplah alat seorang Penyihir. Jumlah informasi yang akan masuk ke dalam ingatan pembacanya saja sudah cukup untuk membakar otak manusia biasa. Sebaiknya kau tidak membacanya jika kau ingin tetap aman.”

“Kalau begitu jangan dorong-dorong benda itu ke wajah orang lain! Itu sangat menakutkan!”

Tahu bahwa rencana ini berada jauh dari jangkauannya, semangat Subaru langsung jatuh menukik.
Melihat Subaru mendorong kembali buku sihir tersebut, Echidona, dengan lambaian tangannya, merubah buku itu kembali menjadi partikel cahaya. Mengesampingkan kepraktisan buku yang bisa disimpan tanpa sebuah rak buku, Subaru akhirnya mengerti luasnya pengetahuan Penyihir ini.
Dengan memiliki buku sihir tersebut, seharusnya hampir 'tak ada sesuatu yang tak dia ketahui'. Tapi tidak menggunakannya hanya karena masala selera, mungkin hanya seorang Penyihir lah yang akan berpikir demikian.

“Tapi jika kau sudah tahu, itu akan membuat semuanya menjadi lebih mudah. Hey, Echidona. Kau tahu, aku bisa melakukan..... Return b...”

'Return by Death'. Ketika Subaru hendak mengucapkan kata itu, tenggorokannya membeku.
Tapi itu bukan karena hukuman yang selalu mendatanginya setiap kali dia mencoba mengutarakan kata terlarang tersebut.
Di hadapan Subaru yang membeku, Echidona menunggu kata-kata berikutnya, rambut putihnya melambai tertiup angin, diam menunggu.

Terduduk di sana, dia sama sekali tidak terlihat seperti seorang Penyihir. Ada sesuatu yang menyerupai kehangatan dan rasa simpati, dan semakin dia merasa demikian, semakin berat lidahnya dan semakin cepat jantungnya berdetak.
Apa yang membekukan suara Subaru adalah, emosi yang paling penting.....yakni rasa takut.

“Haa......haa.......”

Subaru sudah beberapa kali mendapat kesempatan mengutarakan kata-kata tersebut di masa lalu.
Mengutarakan nama Kekuasaan, 'Return by Death' yang mendiami tubuhnya.
Meski tak diketahui apakah benar menyebut kekuatan itu sebagai 'Kekuasaan', kapanpun dia mencoba memberitahu orang lain, ada sebuah kekuatan yang mencegahnya melakukan hal demikian. Sebuah rasa sakit akan mencengkeram jantungnya dan tak memberikan tempat untuk melawan, sebuah kekuatan yang tak terbendung dan tak punya ampun.
Dan pernah sekali taring beracun itu tidak menyerang Subaru, melainkan Emilia, orang yang coba dia tunjukan hatinya luar dalam. Kesedihan dan rasa kehilangan pada saat itu, Subaru tidak akan pernah bisa melupakannya.

Ada beberapa saat di mana Subaru sungguh-sungguh ingin mati dan menghilang begitu saja.
Saat-saat itu tidak hanya terasa pahit, bahkan rasa sesal akan kebodohannya pun terus membebaninya. Tapi meski mengesampingkan rasa sengsara dan sesal tersebut.... hatinya yang dicengkeram oleh rasa teror, tidak punya kekuatan untuk mengambil satu langkah pun.

Ini bukan karena dia takut dengan rasa sakit yang akan menyerang jantungnya. Tentu saja rasa sakit itu sangat menakutkan, tapi jika itu harga yang harus dibayar demi masa depan yang ia dambakan, maka dia akan menggeretakkan giginya dan menahan semuanya.
Namun, apa yang Subaru takutkan adalah, ketika dia mengutarakan kata-kata terlarang itu, tangan-tangan gelap tersebut akan menargetkan orang lain selain dirinya.

Tidak. Subaru menggelengkan kepalanya.
Dalam pertempuran melawan Paus Putih, dan di dalam pertarungan final dengan Petelgeuse, ketika tidak ada orang lain di sampingnya, Subaru berhasil mengutarakan kata-kata terlarang tersebut.
Sebaliknya, dia akan selalu berhenti sebelum bisa mengungkap rahasia itu pada orang lain, dan kata-katanya akan terbuang begitu saja dari dunia yang terhenti. Karena hal itulah, dia tidak pernah bertanya lebih jauh lagi.
Dan tangan-tangan hitam milik Penyihir itu juga tidak pernah mengorbankan orang lain yang ingin mendengar kelanjutan kata-kata tersebut.

….. Kecuali Emilia.

“.....”

Ingatan itu kembali, ingatan akan gadis berambut perak yang terbaring lemas di tangannya.
Jika dia merasakan perasaan kehilangan itu lagi, kali ini, dia pasti takkan bisa menahannya.

Untunglah dulu dia tidak jadi gila, pikir Subaru. Setelah membunuh Emilia, berkeliaran tanpa tujuan, membawa tubuh tak bernyawa itu dalam dekapannya, untunglah pada waktu itu dia tidak jadi gila.

Dosanya tak termaafkan. Kejahatannya begitu mengerikan.

Dan begitulah, dicengkeram oleh rasa takut, Subaru ragu untuk mengucapkan kalimat tersebut.
Di depannya adalah Penyihir Echidona.
Jujur saja, dia tidak bisa dibandingkan dengan Emilia, bagi Subaru, hubungan mereka begitu dangkal seperti hanya sekedar kenalan.
Meskipun jantung Penyihir itu diremukkan, dia mungkin tidak akan merasa kehilangan dan keputusasaan yang sama seperti waktu itu. Itulah prediksinya yang mengerikan.

Tapi, Subaru tetap tidak bisa bergerak.
Karena, selagi dia menghibur diri dengan pemikiran naif itu, Subaru sadar kalau kondisinya jauh berbeda, hasilnya pun tak bisa diprediksi.

Ketika menyebut 'Return by Death' kepada pendengar yang tak dikenal, kata-kata terlarang itu akan memberikan rasa sakit ke jantung Subaru.
Dan ketika Subaru menyebutkan 'Return by Death' kepada orang yang berharga baginya, kata-kata itu akan menghancurkan jantung orang tersebut.

Tapi apa yang akan terjadi jika Subaru mengutarakannya kepada seseorang yang sudah mengetahuinya dalam artian yang berbeda?
Akankah penderitaan itu akan jatuh pada Subaru, ataukah tangan-tangan iblis itu akan meraih orang yang ada di depannya.....

"Kenapa kau tidak mencoba dan melihatnya sendiri?"

"......"

"Mengambil tindakan untuk mendapatkan hasil yang kau inginkan, hal itu layak mendapatkan hormatku. Aku tidak akan membelok dari opini tersebut. Bahkan, aku percaya tindakan seperti itulah yang membuat suatu kehidupan menjadi layak untuk hidup."

Apa dia tidak sadar dengan kebimbangan Subaru, ataukah dia tidak tahu kalau dia bisa menjadi target..... tidak, itu mustahil.

Kemungkinan besar, Penyihir ini sudah melihat seluruh keraguan Subaru.
Meski Subaru tidak bisa menarik sebuah kesimpulan, Penyihir ini mengerti. Namun, terlepas dari semua itu, dia mendesak Subaru untuk melanjutkan kata-kata tadi bukan karena alasan apapun, melainkan karena keyakinan dari dalam hatinya.

"Kau mungkin tidak akan punya waktu untuk menyesalinya, kau tahu...?"

"Kalau begitu, biarkan aku menunggu saat kau menangis di sebelah mayatku."

Melihat Subaru mencoba menunda pilihan itu hingga menit-menit terakhir, Echidona dengan riang menjawab,
Sikap itu mungkin dimaksudkan untuk menghilangkan sisa-sisa kepedulian yang menghalangi Subaru untuk membuat keputusan.

Ketimbang melakukan hal itu karena rasa perhatiannya pada Subaru, itu mungkin adalah keinginan Echiona untuk melihat hasilnya nanti.... itulah dasar dari ketulusan kata-katanya.

Tanpa ekspektasi apa-apa, dan tanpa mengharap suatu apapun. 
Yang ada hanyalah kemungkinan. Dan demi hasrat melihat kemungkinan dari sebuah jawaban, Echidona mendorong Subaru untuk melanjutkan kata-katanya.

Gadis ini pasti hidup tanpa sedikipun keraguan akan alasan keberadaannya.
Meskipun Subaru tahu kalau tak mungkin seseorang bisa hidup seperti itu sendirian, dia merasa terselamatkan oleh kekuatan tersebut.

"Echidona. Aku bisa menggunakan Return by Death un...."

Kata-kata terlarang itu keluar dari mulutnya.
Dan seketika, dunia.....

---End---



Baca Semua Volume -> Index Re:Zero Arc 4


Translator : Zhi End Translation..
Previous
Next Post »
1 Komentar
avatar

wah dah update ya min tq.pdahal tdi siang bru slesai baca chapter 43 trpksa nunngu chap 44

Balas