Baca Light Novel Hataraku Maou-Sama Volume 10 - Final Chapter Bahasa Indonesia

[Translate] Hataraku Maou-Sama Volume 10 - Final Chapter


Baca Light Novel Hataraku Maou-Sama Volume 10 - Final Chapter Bahasa Indonesia


Final Chapter.

Tidur Nord Justina ternyata lebih lelap dibanding apa yang Emi pertama kira.

Sudah lebih dari seminggu semenjak Nord dan Ashiya diculik dari Villa Rosa Sasazuka oleh Gabriel.

Tubuhnya sangat lemah, dan bahkan tidur dua hari penuh setelah kembali dari Ente Isla, dia masih belum bangun.

Meski dia tahu bahwa Nord sebelumnya tinggal di Jepang, Emi tidak tahu di mana dia tinggal, dan tidak hanya alamat rumahnya, Emi juga tidak tahu registrasi rumah tangga ataupun asuransi Nord, jadi dia tidak bisa menemui dokter.

Walau mereka memiliki Acies....

"Alamat? Hm~ Mikata?"

Setelah mendapat jawaban dengan area pencarian seluas itu, semua orang langsung menyerah menyelidikinya.

Menurut diagnosa Suzuno, Nord tidak akan berada dalam bahaya asalkan dia bangun dalam tiga hari, jadi Maou dan yang lainnya membiarkan dia beristirahat di kamar 101 Villa Rosa Sasazuka yang Shiba bukakan untuk mereka.

Setelah kembali ke Jepang, Emi hanya kembali ke apartemennya di Eifuku sekali, dan setelah mengemas sebuah futon untuk ayahnya beristirahat di kamar 101 Villa Rosa Sasazuka serta beberapa kebutuhan sehari-hari, dia terus berada di samping sang ayah untuk merawatnya.

Berbicara soal merawat, kondisi Urushihara juga sama mengkhawatirkannya.

Meski Amane entah kenapa sangat kekeuh dan tidak mau membicarakannya, dari apa yang bisa disimpulkan dari kata-kata Chiho, sangat mudah menebak kalau Urushihara berakhir di rumah sakit karena ada hubungannya pemilik kontrakan Shiba.

Masalahnya adalah, sampai sekarang, mereka tidak memberitahu tentang lokasi rumah sakit tempat Urushihara dirawat.

Ashiya yang lebih khawatir dengan tagihan perawatan daripada kondisi fisik Urushihara, langsung memucat begitu ia kembali, tapi mengabaikan poin tersebut, Maou dan yang lainnya masih harus mengungkap semakin bertambahnya misteri yang dihasilkan dari perjalanan ke Ente Isla ini dengan bantuan Shiba.

Ngomong-ngomong, Gabriel yang berhenti bernapas akibat kekerasan yang dilakukan Maou secara tak sengaja, meski dia berhasil bertahan, menurut penjelasan Shiba, nyawanya berada dalam keadaan yang lebih berbahaya dibandingkan dengan Nord, karena itulah dia dirawat di rumah Shiba.

Meski Maou ingin secepatnya mengungkap misteri dunia, ketika ia memikirkan ritual-ritual mengerikan yang nantinya akan Shiba lakukan di rumahnya yang terletak di sebelah apertemen, dia langsung merasa merinding.

Selain itu, Ashiya, sebagai satu-satunya orang yang pernah memasuki rumah Shiba, seakan memastikan perasaan tidak enak Maou, dia dengan tegas tidak mau bicara mengenai interior rumah Shiba, dan perasaan tidak enak yang dimiliki Raja Iblis ini pun menjadi semakin dalam.

"Raja Iblis, bisa kita bicara?"

Saat Maou sedang merinding akibat teror misterius yang ia bayangkan sendiri, Suzuno menekan bel pintu Kastil Raja Iblis dan masuk ke dalam. Tentu saja, dia sudah berganti kembali memakai baju kimononya yang biasa.

Suzuno yang sebelumnya sudah membuat pengaruh besar di luar dan di dalam Gereja, alasan kenapa dia bisa kembali ke Jepang adalah berkat Emerada, Alberto dan Lumark.

Tindakan pengkhianatan yang dilakukan Olba, dan hubungan antara kesatria kerajaaan Saint Aire dengan Gereja, sebenarnya adalah sebuah kekacauan besar yang cukup untuk mengurangi otoritas Gereja secara signifikan.

Namun, orang yang mengungkap semua ini adalah Crestia Bell, atau bisa disebut, Dewan Pembenaran Ajaran yang juga merupakan bagian dari Gereja, jadi kebanyakan orang percaya kalau ini adalah tindakan pembersihan yang dilakukan oleh Gereja sendiri.

Meskipun Gereja bisa menghindari kehancuran fatal karena hal itu, di sisi lain, hancur atau tidaknya pihak Gereja, kini malah berada di tangan Crestia Bell.

Bagaimanapun juga, Crestia Bell mengerti betul sisi gelap Gereja, dan dia sudah membangun ikatan yang kuat dengan Kekaisaran Suci Saint Aire tanpa mengandalkan uang, melainkan dengan keadilan dan jiwa religiusnya.

Di antara para kesatria Hakin yang kembali bergabung dengan Aliansi Kesatria Lima Benua, beberapa dari mereka bahkan ada mengelompokkan nama Bell dengan Emerada Etuva dan Alberto Ende sebagai rekan sang Pahlawan. Jadi jika ada tindakan yang sekiranya menghalangi kebebasan Bell saat ini, siapa yang tahu konsekuensi mengerikan apa yang akan menimpa Gereja.

Suzuno masih menempatkan perlindungan kepercayaan masyarakat melalui Gereja sebagai prioritas utamanya, jadi dia tidak berencana melakukan sesuatu yang buruk terhadap pengorganisasian Gereja.

Tapi ketika Suzuno menghentikan pengadilan Emerada, dia sudah mengungkapkan hal itu pada Uskup Agung Servantes, dia juga sudah tidak berencana lagi mencari-cari petinggi yang menyalahgunakan keadilan dan kepercayaan.

Menurut Emerada, setelah pemimpin Uskup Agung Robertio mendengar hal itu dari Servantes, dia langsung beristirahat di ranjangnya, merasa lelah secara fisik maupun mental.

Intinya, tidaklah aneh menyebut Crestia Bell alias sebagai Kamazuki Suzuno sebagai Penyelidik terkuat di Ente Isla saat ini.

Sebagai seseorang yang telah memperdaya Olba dan membantu Emilia menyelamatkan dunia, kebebasannya di Ente Isla kini lebih aman dibandingkan siapapun juga.

"Aku sudah memberitahu Chiho-dono kapan pembicaraan dengan Shiba-dono akan dilakukan, dan dia menjawab lewat pesan kalau dia akan ikut."

"Hm? Sepertinya aku juga menerima pesan itu?"

Maou mengeluarkan HPnya, merasa sedikit bingung, dan membuka pesan yang Chiho kirim.

"Aku tahu. Karena itu adalah pesan yang dikirim ke banyak orang. Ada juga sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, tidakkah kau merasa sikap Chiho-dono belakangan ini sedikit aneh?"

"Hm?"

Chiho memang menangis ketika Maou dan yang lainnya kembali ke Jepang, tapi dari sudut pandang Maou, dia tidak berpikir ada perubahan yang signifikan.

"Emoticon yang dia gunakan rasanya lebih sedikit dari biasanya... tapi itu mungkin bukan sesuatu yang harus kita khawatirkan."

Maou menjawab demikian, dan HP yang dia keluarkan, masihlah HP yang sama yang rusak parah ketika berada di Cloud Detached Palace.

"... Sebaiknya kau menyerah, dan ganti model saja. Mengecas HP dengan keadaan seperti itu jelas sangat berbahaya."

"Aku juga ingin ganti, tapi aku tidak punya uang, dan orang yang bisa kumintai uang, sekarang berada dalam kondisi seperti itu."

Mengucapkan hal tersebut, Maou menunjuk ke arah tatakan tatami.

"Ah, aku paham."

Mengerti makna dibalik gestur itu, Suzuno mengangguk dengan ekspresi rumit di wajahnya.

"Tapi selain pesan, aku juga mencemaskan hal lain."

"Hm?"

"Di hari saat kita kembali... meski hanya sebentar, Chiho-dono terlihat sedih dan ketakutan."

"Benarkah?"

Chiho pada waktu itu, hanya nampak bahagia atas kepulangan Maou dan yang lainnya.

"Karena aku tidak punya bukti, makanya aku bertanya padamu. Kukira Chiho-dono membicakan sesuatu denganmu, atau kau sudah mengatakan sesuatu yang bodoh tanpa memikirkan perasaannya."

"..... Hey!!"

"Entah setuju atau tidak, sekaranglah saatnya kau memberi dia jawaban."

"Dari kemarin, kau mulai meributkan masalah ini terus...."

Bukan hanya imajinasinya, Suzuno kini benar-benar berbeda dari sebelumnya dan mulai ikut campur dengan hubungan Maou dan Chiho.

Meski Maou tidak tahu ke arah mana Suzuno ingin situasi ini berkembang, ditanyai hal tersebut di depan Ashiya, Maou merasa sangat malu.

"Huuuh, anggap saja tadi itu lelucon."

"Itu sama sekali terdengar seperti lelucon!"

"Emilia memintaku membeli beberapa barang yang dibutuhkan untuk merawat Nord-dono, tapi membawa barang sebanyak itu sendirian akan sangat susah. Maukah kau pergi denganku?"

"Eh? Kenapa kau memintaku?"

Maou tanpa sadar menggunakan suara yang terdengar seolah dia menganggap itu adalah hal yang merepotkan.

"Tak perlu juga kan kau sebegitu tidak sukanya?"

Suzuno entah kenapa menunjukan ekspresi sedih, tapi Maou langsung menggelengkan kepalanya dengan panik,

"Uh, bukan begitu, karena kudengar itu ada hubungannya dengan Emilia, makanya aku mengatakan itu secara refleks."

"Bukankah kau bilang ingin membeli hadiah ucapan terima kasih untuk teman-temanmu yang sudah bertukar shift denganmu? Aku hanya merasa kita bisa menggunakan kesempatan ini dan pergi bersama. Tak perlu juga menolak sampai sebegitunya."

"Bell, apa yang kau katakan?"

"Hm?"

Suzuno menunjukan ekspresi rumit, nampaknya dia benar-benar bingung dengan pertanyaan Ashiya.

"Sampai sekarang kau tidak pernah aktif ikut ambil bagian dalam kegiatan Maou-sama, kan? Wajar saja Maou-sama merasa bingung."

"Hm.... Be-benarkah...? Hm?"

Menghadapi pernyataan Ashiya, Suzuno mengambil satu langkah ke belakang merasa kalah, tapi kali ini, karena dia mendengar seseorang membuka pintu masuk lorong, dia langsung mengarahkan perhatiannya ke sana.

Maou dan Ashiya juga menoleh ke arah yang sama mengikuti pandangan Suzuno, mereka pun menemukan seseorang yang terlihat di pintu masuk utama lorong apartemen.

"Ah...."

Suzuki Rika yang menyadari keberadaan Maou, Suzuno dan Ashiya, membungkukan tubuhnya memberi salam dengan sebuah ekspresi rumit.


Suara bel pintu kamar 101 membuat Emi tersadar.

Dengan panik mengusap matanya, dia mendapati dirinya jatuh tertidur selagi sedang duduk.

Karena dia terus merawat ayahnya seharian penuh tanpa tertidur, kelelahannya kini sudah mencapai puncaknya.

Emi bingung dengan tubuhnya yang mampu terus bertarung selama lebih dari 10 jam, tapi sangat kelelahan setelah hanya terjaga lebih dari 24 jam.

Berdasarkan waktu saat ini, sepertinya dia sudah tertidur selama 30 menit.

Kali ini, bel pintu kembali berbunyi.

Dari waktunya, itu mungkin Suzuno yang dia minta pergi keluar untuk membeli sesuatu.

"Ah, Bell, maaf, akan kubuka pintunya sekarang!"

Emi merapikan rambut yang menutupi wajahnya....

"Terima kasih, pasti berat membawa barang-barang......"

Membuka pintu beranda, Emi menahan napasnya ketika melihat orang yang berdiri di sana.

"Hai, lama tak jumpa."

Teman Emi di Jepang yang sudah tidak dia temui selama sebulan, mengucapkan hal tersebut dengan santai dan menyerahkan beberapa kantong plastik kepadanya.

"Rika...."

Emi yang merasa kebingungan, ragu apakah harus menerima kantong itu atau tidak....

"Cepat, ini berat."

Dia pun didesak dengan begitu normal.

"Ah, ma-maaf..."

Emi dengan panik menerima kantong tersebut...

"Er-erhm, Rika, ngomong-ngomong...."

Emi yang tidak memeriksa isi kantong tadi dan membawanya dengan sebuah ekspresi aneh, nampak ingin membicarakan sesuatu ketika di tengah jalan ia berhenti dengan mulut terbuka, tapi orang yang menghentikannya bukanlah siapa-siapa melainkan Rika.

"Suzuno memintaku membeli barang-barang ini setelah menjelaskan situasinya padaku. Semuanya sekitar 3000 yen. Akan kuberikan tanda terimanya nanti."

"Ye-yeah... Erhm, Rika...."

"Tunggu dulu, ada sesuatu yang ingin kuberitahu padamu. Berita baik atau berita buruk, mana yang ingin lebih dulu kau dengar? Dari dulu aku selalu ingin bilang begitu."

Pembawaan Rika sama sekali tidak berubah.

Emi yang tidak tahu bagaimana harus merespon...

"Uh... kalau begitu, ayo kita mulai dengan berita buruk...."

...hanya bisa menjawab seperti yang ada di film Hollywood tua.

"Baiklah. Sayang sekali, kau dipecat. Meski para pimpinan berusaha membelamu, dan meski aku dan Maki juga sudah mengisi shift-mu sebanyak mungkin... kami tetap tidak bisa mentolerir situasi di mana seorang  karyawan mangkir selama sebulan tanpa kabar sama sekali."

"Be-begitu ya... sudah kuduga."

Meski dia sudah mencoba berpura-pura tenang, kabar buruk ini tetap memberikan syok yang lebih besar dari apa yang Emi bayangkan.

Bagaimanapun, itu adalah tempatnya bekerja untuk waktu yang sangat lama setelah terdampar ke Jepang.

Dia memang tidak bisa mengungkapkan kebenaran tentang dirinya, tapi fakta bahwa dia tak dapat kembali ke organisasi yang sangat dia sayangi di Jepang, merupakan sebuah beban berat di hatinya.

Anehnya, Emi bahkan menganggap syok ini jauh lebih berat dibandingkan saat motivasinya menjadi Pahlawan hancur.

Tapi ini adalah akibat dari semua kebohongan dan tindakan sembrononya yang sudah menumpuk.

"Lalu masih ada berita baiknya.... apa kau tidak ingin meletakkan barang-barang itu lebih dulu?"

"Eh, ah, ye-yeah... baiklah."

Emi meletakkan barang-barangnya di lantai, dan kembali menatap Rika.

Teman Jepang-nya yang satu ini memasang sebuah senyum seolah sedang melakukan perbuatan jail, dan menatap mata Emi.

"Aku akan membiarkanmu memutuskan bagaimana aku harus memanggilmu mulai dari sekarang, Emilia Justina-san."

"Ugh..."

Hati Emi terasa sesak.

"Ri-Rika, aku...."

Sudut matanya terasa panas, bibirnya gemetar.

Tapi Emi tidak bisa menangis. Jika dia menangis di depan Rika.. teman baiknya selama di Jepang yang terus dia bohongi, rasanya itu terlalu licik.

Namun, Rika tidak melewatkan perubahan ekspresi Emi.

"Hey, rasanya terlalu licik kalau kau yang menangis, karena dirimu lah aku menemui hal-hal yang sangat menakutkan, akulah yang seharusnya menangis di sini. Sebelumnya aku sudah menangis sih. Itu benar-benar menakutkan."

".... Yeah."

"Tapi apa yang benar-benar kuingin kau untuk minta maaf hanyalah hal itu."

"....Eh?"

"Uh, aku benar-benar terkejut, kau tahu? Bukan hanya di luar negeri, kampung halamanmu ternyata ada di dunia lain, kan? Dan kau bahkan merupakan seorang Pahlawan dengan kekuatan super. Kau juga punya nama yang berlebihan, seperti Emilia Justina."

"Kekuatan super...."

"Jika aku adalah seorang pria yang akan menikahimu, aku mungkin akan menghadapi banyak masalah... untungnya aku perempuan, dan aku adalah temanmu."

Walau Emi yang kehilangan ketenangannya tidak menyadari hal ini, logika Rika barusan memang sangat cocok untuk hubungannya dengan Rika.

Rika adalah seorang gadis, dia menyukai pria.

Rika menatap ke arah langit-langit dengan sebuah tatapan sedih, Emi tidak sadar kalau Rika sedang menatap tangga menuju kamar 201.

"A-apa maksudmu...?"

"... Ah, oiya, meski sekarang aku tinggal di Takadanobaba, aku pernah bilang kalau kampung halamanku itu ada di Kobe, kan?"

"... Yeah."

"Apa aku pernah memberitahumu kalau aku pernah dipilih menjadi salah satu perenang nasional ketika masih SMP?"

"E-eh? Na-nasional? Aku tidak pernah mendengarnya."

"Meski pada akhirnya aku tidak terpilih sih. Teman-temanku di SMP  memanggilku Rika-chin. Aku selalu merasa kalau nama itu bukanlah nama panggilan yang cocok untuk seorang gadis."

Usai mengucapkan hal tersebut dengan sebuah senyum, Rika memegang tangan Emi yang membeku di tempatnya dengan hangat.

"Benar kan? Jika kita tidak mengaku satu sama lain seperti ini, kita tidak akan punya banyak kesempatan untuk mengetahui masa lalu seorang teman, situasinya, dan hanya punya sedikit pengalaman."

".... Rika."

"Bagiku, hal paling penting adalah memiliki seseorang yang bisa diajak mengobrol santai membicarakan hal-hal bodoh, atau minum teh seusai bekerja.... mungkin yang ini akan sedikit sulit setelah kau dipecat... Pokoknya, seperti itulah menjadi temanku. Selain itu, bisa disebut tambahan."

".... Yeah."

"Karena itulah, aku tidak akan mengatakan sesuatu seperti, 'Sebelum besok, tulislah semua pengalaman hidupmu di buku catatan dan serahkan padaku!', jika kau punya keinginan seperti itu ke depannya, kau bisa mencari kesempatan lain untuk memberitahuku dengan santai."

"O....ke..."

"Hey! Jangan menangis! Hanya ini saja yang tidak akan kuterima."

"O...ke..!"

"Ah~ yang benar saja. Ayahmu belum bangun, kan? Simpan air matamu ketika kau bertemu lagi dengannya. Ah, ini gawat. Jika dia melihat anaknya yang sudah tidak dia temui selama bertahun-tahun memasang ekspresi seperti ini, khayalannya pasti akan hancur. Meski aku sudah merasakan perasaan ini ketika mendengar bahwa Maou-san adalah Raja Iblis, tapi ketika aku tahu bahwa kau juga Pahlawan, aku langsung merasa curiga."

Rika memeluk erat Emi yang punggungnya gemetar tak terkendali.

"Pasti sangat berat untukmu. Aku harap ayahmu segera pulih."

"Yeah!"

"Hey, aku memang sudah menyerah memintamu untuk tidak menangis, tapi sebaiknya kau tidak mengeluarkan ingus ya, atau aku akan sangat marah."

Rika terus memeluk Emi yang membenamkan wajahnya ke bahu Rika dengan sebuah senyum kecut.

"Lalu, bagaimana sebaiknya aku memanggilmu? Apa aku harus memanggilmu Emi seperti sebelumnya? Ataukah Emilia seperti bagaimana Suzuno memanggilmu?"

".... Dipanggil Emilia.... uu..... oleh Rika, rasanya sedikit aneh...."

Setelah mendengar Emi mengatakan hal itu dengan pelan, sebuah ekspresi jail muncul di wajah Rika.

Rika menepuk punggung Emi dengan hangat, lalu ia melepas pelukannya dan tersenyum ke arah Emi.

"Kalau begitu sudah diputuskan. Aku akan memanggilmu Emilia mulai dari sekarang."

"E-ehh??"

"Emilia, Emilia, itu terdengar keren. Mohon bantuannya, Emilia."

"Ri-Rika, tunggu..."

"Emilia bisa memanggilku Rika-chin juga, okay?"

"Bu-bukan itu masalahnya! Ri-Rika, tolong, seperti sebelumnya saja...."

"Jika kau menunjukan ekspresi seperti itu, itu malah hanya akan membuat orang lain semakin ingin membullymu. Hey, Emi, ah tidak, Emilia, sebenarnya apa yang kau lakukan satu bulan ini di Ente Isla? Aku juga ingin lebih tahu soal Emi, ah Emilia."

"Kau sama sekali tidak terbiasa memanggilku seperti itu!"

Padahal Rika sudah bertekad akan menggunakan nama Emilia untuk memanggil Emi, Emi perlahan menganggapnya lucu dan mulai tertawa sembari menangis.

"Tapi Emilia, kau bekerja untuk menyokong kehidupanmu, kan? Jika kau tidak secepatnya menemukan pekerjaan baru, kau tidak akan bisa terus merawat ayahmu, kan? Dan si Alas Ramus-chan itu, dia juga akan terus kau rawat, kan?"

"Ah, ye-yeah.... soal itu..."

Kalau dipikir-pikir, kehilangan pekerjaan dengan bayaran 1.700 yen perjam, jelas merupakan pukulan telak bagi kehidupan Emi di Jepang.

Meski Emi masih punya sedikit tabungan, jika dia tidak segera menemukan pekerjaan, bahkan sewa apartemennya di Eifuku pun akan berada dalam bahaya.

Dengan situasi sekarang ini, bahkan jika ayahnya sudah pulih, mereka takkan bisa langsung pulang ke kampung halaman mereka di Ente Isla.

Ditambah lagi, Maou sudah memintanya untuk membayar biaya pendaftaran ujian mengemudi serta biaya perjalanan ke Ente Isla sebagai ganti rugi, dan sebelumnya, biaya perjalanan yang Emerada sediakan ketika dia kembali ke Ente Isla, Emi juga sudah setuju untuk menggantinya.

Memang dia sendirilah yang menyebabkan semua ini, tapi situasi ini benar-benar terlalu parah.

"Maou-san dan Chiho keduanya bilang kalau MgRonald sedang kekurangan tenaga kerja karena layanan delivery, apa kau ingin mempertimbangkan melamar kerja di sana? Dan mumpung situasinya pas, kau mungkin juga bisa pindah ke apartemen ini. Bukankah biaya sewa di sini sangat murah? Kau juga dikelilingi oleh orang-orang yang paham situasimu, jadi pasti akan lebih mudah tinggal di sini."

Saran Rika memang sangat sesuai dengan realita saat ini, tapi mempertimbangkan semua yang telah terjadi hingga hari ini, Emi tetap merasa enggan dengan saran tersebut.

"Ugh... Aku perlu memikirkan kemungkinan itu lebih dari sebelumnya, aku akan menganggap dua cara itu sebagai pilihan terakhir...."

"Huuh, apa yang akan kau lakukan nanti adalah pilihan Emilia sendiri, jadi jangan paksakan dirimu, okay?"

"Ye-yeah... tidak, Rika, anggap ini sebagai permintaan, jangan panggil aku Emilia lagi!"

Karena dia sangat malu ketika Rika memanggilnya demikian, dan karena Rika jelas memaksakan dirinya, Emi benar-benar berharap Rika akan kembali ke cara memanggilnya yang dulu, dan kemudian,

"Emi.... lia...."

Sebuah rintihan pelan terdengar di dalam kamar.

Emi dan Rika melirik satu sama lain secara refleks.

"E-Emi, li-lihat!"

"Ye-yeah, ah Rika, masuklah dulu dan carilah tempat duduk..."

"Lupakan saja aku, cepat sana!"

Emi dan Rika yang bingung karena kejadian tiba-tiba ini, keduanya langsung bergegas menuju ke samping Nord yang sedang berbaring, dan menatap wajahnya.

Wajah Nord terlihat berkedut seperti sedang bermimpi, dan itu adalah reaksi yang sama sekali tidak terlihat sejak kemarin.

"Ayah.... ayah?"

Emi menggunakan tisu basah yang Rika bawa untuk mengelap keringat di dahi Nord.

"Emi, cepat, panggil dia lagi! Paman, Emilia tepat ada di sampingmu! Cepat, bangun!"

Rika juga ikut memanggilnya dengan suara yang tidak akan menyebabkan keributan.

Dan kemudian...

"Uh..."

""!!!!""

Mulut Nord jelas-jelas mengeluarkan sebuah suara.

Suara yang mencapai telinga Emi itu terdengar sedikit lebih tinggi dari apa yang ia ingat.

Meski begitu....

'Ayah.... apa kau bisa mendengarku?'

"Ah, ini dia! Itu bahasa dari dunia lain, kan?"

Emi memanggil-manggil ayahnya.

'Ayah... bangunlah, kumohon, ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu.'

"Meski aku tidak tahu apa yang kau katakan, tapi paman seharusnya juga bisa bahasa Jepang, kan? Emilia ada di sini sekarang, cepat bangun!"

"Uh.... Ugh...."

'Ayah, aku bisa tinggal denganmu lagi. Ayah ternyata tidak bohong, dulu kau bilang kalau kita pasti bisa tinggal bersama lagi suatu hari nanti, kan? Hari itu akhirnya datang. Ayah, aku....'

'Emi...lia...?'

'Aku.... pulang....!!'

Meskipun redup, Emi dan Rika jelas-jelas melihat seberkas cahaya di mata Nord saat dia sedang berbaring, Nord pun menggunakan suara seraknya untuk memanggil Emilia.

"Dia.... membuka matanya, a-aku akan memberitahu Maou-san dan yang lainnya, h-hey! Suzuno! Maou-san, Ashiya-san!"

Mungkin karena merasa terganggu oleh Rika yang tiba-tiba berlari dengan panik, Nord sedikit mengernyit, tapi melakukan hal demikian justru merangsang kesadarannya yang masih kabur.

Suaranya terdengar serak, Nord kini berusaha mendorong dirinya bangun dengan menggunakan kedua tangannya.

Emi dengan cepat mengulurkan tangannya ke arah punggung dan lengan ayahnya untuk membantu.

Sang ayah yang kini sedikit lebih tua dari apa yang Emi ingat, dan sang anak yang terlihat lebih dewasa dari apa yang Nord ingat, menatap satu sama lain selama beberapa saat.

Pada akhirnya, Nord tersenyum, lantas berbicara dengan suara serak.

'Ahh.. Emilia... Apa aku.... bermimpi?'

'Tidak.... ini... bukan mimpi.'

Apa sebelumnya Emi memang sangat mudah menangis?

Emi membiarkan air matanya terjatuh....

'Ayah.... ayah.... uu!!'

Dan memeluk ayahnya seperti saat dia masih kecil dulu.

Air mata di masa lalu itu adalah air mata perpisahan dan keputusasaan.

Namun, air mata yang ada di wajah Emilia sekarang, nampak berkilau hangat di bawah sinar matahari Jepang yang bersinar masuk melewati jendela, dan memancarkan cahaya harapan.

---End---





Translator : Zhi End Translation..

Previous
Next Post »
0 Komentar